Kasus Miranda juga menyeret-nyeret institusi Bank Artha Graha. Otto Hasibuan, kuasa hukum bank milik Tomy Winata mengatakan, yang terjadi pada Artha Graha dalam kasus ini bisa terjadi pada bank manapun.
Kepada wartawan di Jakarta, Minggu (21/03), Otto Hasibuan menjelaskan, dalam kasus tersebut, Bank Artha Graha hanya menjalankan salah satu fungsi perbankan. Yaitu, melayani PT First Mujur Plantation and Industry (FMPI) sebagai nasabah yang membutuhkan cek pelawat (traveller's cheque). Karena tak menerbitkan fasilitas itu, Bank Artha Graha membeli ke BII.
Nah, kalau akhirnya cek perjalanan itu sampai ke tangan para anggota DPR, seperti yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Otto menegaskan, bukan urusan Bank Artha Graha lagi. Karena itu, tidak adil kalau masalah itu dikait-kaitkan terus dengan Bank Artha Graha.
Jika terjadi penyalahgunaan produk perbankan, menurut Otto, pihak perbankan tidak bisa dilibatkan, apalagi diminta untuk turut bertanggung jawab. Dengan begitu, Otto yakin pihak KPK memahami hal tersebut.
"Satu hal lagi, FMPI bukan bagian dari Artha Graha Group. Tidak ada saham Artha Graha di FMPI," tegasnya.
Dengan begitu, Otto berharap semua pihak menghormati proses hukum yang tengah berlangsung di Pengadilan Tipikor, Jakarta. Dalam persidangan, kata dia, keterangan saksi, keempat terdakwa (Endien Soefihara, Dudhie Makmun Murod, Udju Djuhaeri dan Hamka Yandhu), termasuk dakwaan Jaksa Penuntut Umum, tidak ada keterangan yang mengkaitkan kasus ini dengan kliennya.
Kalau kemudian ada saja suara yang mengait-ngaitkannya dengan Bank Artha Graha, Otto Hasibuan berani menyimpulkan, tuduhan yang dilontarkan murni konspiratif, untuk tujuan tertentu. Isu keterlibatan
Artha Graha dalam kasus Miranda, kata Ketua Umum Persatuan Advokat Indonesia (Peradi) ini, sangat merugikan kliennya. Sebab basis bisnis perbankan, kepercayaan nasabah, yang gampang goyah karena isu tertentu.
Menurut Otto, jika masalah seperti itu dibiarkan berlarut-larut, akan sangat buruk akibatnya. Karena, kasus yang menimpa Bank Artha Graha itu, urai advokat senior ini bisa menjadi preseden buruk bagi iklim usaha perbankan nasional. Dan pada gilirannya, akan mengganggu pertumbuhan ekonomi nasional.
Sekedar diketahui Kasus Miranda terjadi pada 2004. Sejumlah politisi dituding menerima uang suap untuk memenangkan Miranda Gultom sebagai Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia. Besarnya uang tersebut antara Rp250 juta, Rp500 juta, sampai Rp1 miliar lebih per orang.
© Copyright 2024, All Rights Reserved