Kemahiran politisi di Partai Golkar untuk melakukan manuver dan lobi-lobi politik dalam upaya menggagalkan pembentukan Pantia Khusus Bulog (Pansus Bulog) II mulai tampak. Penilaian ini tidak berlebihan, jika menengok hasil akhir pandangan fraksi-fraksi dalam Sidang Paripurna DPR di Jakarta, Kamis (07/03/2002), dengan agenda mendengarkan pandangan fraksi tentang pembentukan Pansus Bulog II untuk menyelidiki penyelewengan dana non bujeter Bulog sebesar Rp 54,6 milyar yang melibatkan Ketua DPR Akbar Tandjung.
Peta politik di DPR menunjukkan, empat fraksi menolak, empat fraksi mendukung dan dua fraksi meminta ditunda pembentukan Pansus. Untuk diketahui, fraksi yang menolak Pansus adalah Fraksi Partai Daulat Umat (FPDU), Fraksi Parta Golkar (FPG), Fraksi TNI/Polri dan Fraksi Partai Bulan Bintang (FPBB). Fraksi yang setuju pembentukan pansus adalah Fraksi Kesatuan Kebangsaan Indonesia (FKKI), Fraksi Partai Demokrasi Kasih Bangsa (FPDKB), Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB) dan Fraksi Reformasi (FR). Sedang fraksi yang meminta ditunda adalah Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (FPPP) dan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP).
Dari konstalasi politik seperti itu, nasib pembentukan Pansus untuk menyelediki penyelewengan dana non bujeter Bulog boleh dibilang kian sulit terealisir. Realitas politik ini memang sungguh tragis. Karena upaya untuk memberantas KKN semakin kehilangan arah. Dan yang menyedihkan lagi, aspirasi publik untuk memberantas KKN ditanggapi secara ragu-ragu, justru oleh dua fraksi besar (FPDIP dan FPPP).
Sikap ragu-ragu ini, di sisi lain dimanfaatkan oleh politisi di Partai Golkar untuk membendung arus yang bisa menyeret ketua umummnya dan bisa berujung pada pembubaran Golkar. Akhirnya, semua tergiring untuk menyerahkan kasus tersebut pada proses hukum yang sedang berlangsung di Kejaksaan Agung. Sementara proses politik dianggap tidak perlu lagi.
Dalam pemandangan akhirnya yang dibacakan oleh Dwi Ria Latifa, keragu-raguan fraksi PDIP sangat jelas terlihat. FPDIP mengaku mendukung sepenuhnya pembentukan pansus, tapi tidak dapat menafikkan proses hukum di Kejaksaan Agung, dimana saat ini Akbar Tandjung, Rahardi Ramelan, Ahmad Ruskandar, Dadang Sukandar dan Winfried Simatupang sudah dijadikan sebagai tersangka.
Sehingga, lanjut Latifa, diperlukan waktu untuk mendalami kasus tersebut agar pansus mempunyai landasan yang kuat. Sehingga F-PDIP mengusulkan DPR menugaskan Komisi II memantau dan meminta laporan akhir dari Kejaksaan Agung. F-PDIP meminta keputusan final pembentukan pansus diputuskan pada Rapat Paripurna tanggal 18 Maret 2002, menunggu laporan akhir Kejaksaan Agung kepada Komisi II.
Seperti halnya Fraksi Partai Demokrasi Perjuangan (F-PDIP), sikap Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP) terhadap usulan pembentukan Pansus Bulog II sangat tidak jelas. F-PPP menolak intervensi mekanisme politik terhadap penyelesaian hukum yang sedang berjalan.
Dalam pemandangan umum F-PPP yang disampaikan juru bicaranya Thahir Saimima dalam sidang paripurna DPR, Kamis (7/3/2002), menyatakan sangat mafhum terhadap usulan pembentukan Pansus Buloggate untuk mengusut penyimpangan dana non-bujeter Bulog sebesar Rp 54,6 miliar yang melibatkan Ketua DPR Akbar Tandjung.
Menurut pengamatan F-PPP, kata Thahir, usulan pembentukan pansus merupakan usulan positif dan konstruktif dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan DPR. “Ini bisa menjadi tonggak pemberantasan KKN di bumi Indonesia. Oleh karenanya, pembentukan Pansus menjadi suatu keniscayaan,” lanjut dia.
Pertimbangan terhadap manfaat dan mudharat itu menjadi hal mendasar dalam menanggapi usulan pembentukan Pansus Buloggate. “Akan menjadi sesuatu yang mubazir jika lebih banyak mudharatnya, tanpa mendatangkan manfaat sedikitpun,” kata dia.
Mengenai sikap F-PPP sendiri terhadap penyelidikan kasus penyimpangan dana non-bujeter Bulog itu harus didasarkan pada asas manfaat dan mudharat terhadap bangsa dan negara. “Akan sia-sia jika penyelidikan kasus penyimpangan dana non-bujeter Bulog didasarkan pada pertimbangan yang kurang jernih dan hanya berdasarkan dorongan emosional saja,” sambung Thahir.
Namun ada juga beberapa catatan F-PPP terhadap usulan pembentukan pansus. F-PPP khawatir bila DPR hanya berkutat pada penyelesaian kasus Bulog secara politik maka hal itu akan menguras energi DPR sehingga berakibat DPR akan mengabaikan tugas utamanya untuk membuat undang-undang.
Selain itu, ujar Thahir, pembentukan Pansus hanya akan menyelesaikan masalah politik dan tidak menyelesaikan substansi hukumnya. “Hal itu akan berdampak besar terhadap masyarakat karena masyarakat akan menjadi tidak percaya lagi pada hukum di negeri ini,” tegas dia.
Lebih lanjut, F-PPP juga menyoroti tentang kemungkinan penyelesaian kasus Bulog secara politik akan mengintervensi penyelesaian hukum yang sedang berjalan. “Akibatnya situasi dan kondisi yang sudah mulai membaik ini akan kembali menjadi kurang kondusif,” imbuh Thahir.
Sementara itu Fraksi Partai Golkar melalui juru bicara M Akil Mochtar dengan tegas menolak usulan pembentukan Pansus Buloggate II dan menilai ada unsur politis untuk memojokkan Partai Golkar. “Dengan pembentukan pansus bisa dipastikan akan mengganggu proses hukum di Kejaksaan Agung,” tandasnya. Fraksi Partai Golkar menilai proses hukum di Kejaksaan Agung telah berjalan dan sudah ada upaya-upaya untuk menuntaskannya, sehingga bila pansus dibentuk, maka hal itu adalah intervensi DPR terhadap hukum.
Sidang Paripurna DPR memang masih akan dilanjutkan dengan pemungutan suara atau musyawarah untuk menentukan nasib pembentukan Pansus Bulog II. Pilihannya, menolak, mendukung atau ditunda. Melihat komposisi suara di DPR, tampaknya pilihan menolak dan menunda akan lebih besar berpeluang untuk menang. Kecuali ada keajaiban.
© Copyright 2024, All Rights Reserved