Kementerian Pertanian (Kementan) optimis Indonesia mampu mencapai swasembada kedelai, walau pun hingga saat ini Indonesia masih mengimpor kedelai untuk memenuhi kebutuhan nasional. Syaratnya, semua pihak membantu perluasan lahan untuk membudidayakan bahan baku tempe-tahu itu. Hanya dengan perluasan lahan dan kerja keras bersama maka swasembada kedelai bisa dicapai.
Demikian diungkapkan Direktur Budidaya Aneka Kacang dan Umbi, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian, Maman Suherman kepada politikindonesia.com, usai mengelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Gakoptindo) dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) di Kantor KPPU, Jakarta, Kamis (05/09).
Menurutnya, kebutuhan ideal lahan kedelai saat ini mencapai 1 juta hektar (ha). Tapi saat ini luas lahan untuk kedelai hanya 600.000 ha dan masih kurang 400.000 ha. Sehingga pihaknya pun sudah merencanakan optimalisasi lahan sebanyak 220.000 ha. Di mana, lahan seluas 80.000 ha di antaranya sudah terealisasi.
"Sebenarnya lahan petani luas. Namun, kami masih memiliki ganjalan karena banyak petani yang mengganti kedelai dengan tanaman lain yang lebih menguntungkan. Jadi banyak petani yang beralih fungsi menanam padi dan jagung yang hasilnya lebih menguntungkan," ujarnya.
Dijelaskan, kalau kondisi saat ini tak bisa dibandingkan dengan masa swasembada kedelai pada tahun 1992. Sebab, saat itu Indonesia memiliki luas lahan kedelai sebesar 1,8 juta ha. Sementara saat ini, stok nasional kedelai tersisa 315.000 ton. Sampai akhir tahun, masih perlu tambahan impor dari Amerika maupun Brasil.
"Walau saat ini harga kedelai masih cukup tinggi, kita harus tetap memenuhi kekurangan pasokan melalui impor. Karena tingginya harga kedelai terjadi akibat melelamahnya nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika (USD)," paparnya.
Sementara itu, menanggapi tingginya harga kedelai Komisioner KPPU Munrohim Misanam mengungkapkan, pihaknya tidak mau menerima begitu saja penjelasan tersebut. Pihaknya mengaku sedih tingginya harga kedelai, menyebabkan rakyat kecil susah mendapatkan tahu dan tempe berharga murah.
"Katanya harga kedelai naik karena nilai tukar dan kedelai didominasi impor bergerak karena fluktuasi internasional mempengaruhi harga di Indonesia. Mayoritas kita impor dari Amerika yang saat ini bergejolak," katanya.
Diungkapkan, saat ini pemerintah harus bisa memfokuskan harga kedelai yang terus melambung tinggi. Bahkan, saat ini harganya bisa mencapai Rp10.000. Selain itu, harga daging sapi yang juga tak turun. Kalau, rakyat kecil tak makan daging sapi tidak. Tapi kalau sampai tidak bisa makan tempe, ini namaya keterlaluan.
"Sepengetahuan kami, kebutuhan kedelai Indonesia mencapai 2,5 juta ton per tahun. Saat ini sudah dikonsumsi 1,9 ton. Bahkan, hingga saat ini kami juga tidak mengetahui, apakah beban kedelai ini demand dan supply," tegasnya.
Ketua Gakoptindo Aip Syarifudin menambahkan, kenaikan harga kedelai saat ini membuat pengrajin tahu-tempe menjerit. Karena harga yag ditawarkan ke pengrajin saat ini dinilai tidak masuk akal sekitar Rp10.000 per kg. Sehingga menyusahkan pengusaha dalam menjual produk turunannya.
"Dengan tingginya harga bahan baku, kami pun merasa kebinggungan untuk menjual produk olahan dari kedelai ini. Karena tempe dan tahu ini banyak digemari masyarakat. Sehingga masyarakat banyak protes dengan ukuran yang kami kurangi dan membuat kami cepat gulung tikar," tandasnya.
Pada kesempatan ini, Aip juga bercerita tentang kejayaan kedelai Indonesia di zaman orde baru pada kepemimpinan Presiden Soeharto. Saat itu kedelai masih dikuasai dan dimonopoli oleh Badan Urusan Logistik (Bulog) sejak tahun 1979 hingga 1998.
"Hampir 20 tahun masalah kedelai diatur pemerintah yang dikelola dan monopoli oleh Bulog. Jadi selama 20 tahun itulah kehidupan petani dan pengrajin baik-baik saja. Sehingga pada tahun 1992- 1993 kita sudah bisa swasembada kedelai di Indonesia. Itulah zaman keemasan kami," tuturnya.
Sayangnya, lanjut Aip, mulai tahun 1998, kebijakan distribusi tunggal kedelai diubah. Karena pemerintah menuruti saran Dana Moneter Internasional (IMF) sebagai bagian dari paket penyehatan ekonomi nasional yang terpuruk akibat krisis ekonomi. IMF menuntut Indonesia membuka akses pada perdagangan bebas.
"Sejak saat itulah Bulog, tidak lagi menangani kedelai dan negara membebaskan siapapun yang ingin mengimpor bahan baku tahu tempe ini. Imbasnya, pasokan tetap terjaga. Tapi harga lebih fluktuatif sehingga merugikan pengusaha. Hingga saat ini, kita pun tetap melakukan impor kedelai," pungkasnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved