Pengurus harian Partai Demokrat menggelar emergency meeting tadi malam. Rapat darurat tersebut membahas hal penting. Demokrat merasa kadernya diperlakukan tidak adil dan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum.
"Perlakuan tidak adil terhadap Partai Demokrat ini bukan pertama kali, tetapi yang kesekian kali," ujar Sekretaris Jenderal DPP Partai Demokrat Hinca Panjaitan di kantor DPP Partai Demokrat, Jakarta, Rabu (03/01) malam.
Kata Hinca, semula partainya memilih diam dan menahan diri terhadap perlakuan tersebut. Namun, sambung Hinca, nyatanya perlakuan seperti itu justru terus berulang terjadi.
“Semula Partai Demokrat memilih untuk mengalah dan menahan diri dengan harapan hal-hal semacam ini tidak terjadi lagi. Ternyata perlakuan tidak adil ini terjadi lagi dan terjadi lagi," kata dia.
Hinca pun menerangkan perlakuan-perlakuan yang diangpapnya merugikan partai dan kadernya. Pertama, pada saat Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu. Ketika itu pasangan yang diusung partai Demokrat bersama PPP, PKB dan PAN yakni Agus Harimurti Yudhoyono dan Sylviana Murni diperiksa pihak Kepolisian.
Sylviana diperiksa atas dua kasus yakni dugaan korupsi pembangunan Masjid Al Fauz di kompleks kantor Wali Kota Jakarta Pusat dan dugaan korupsi pengelolaan dana hibah DKI Jakarta untuk Kwarda Pramuka Jakarta.
“Diperiksa penyidik pada saat Pilkada sudah berproses sampai selesai yang pada waktu itu terpaksa harus menggerus citra pasangan ini," ujar dia.
Hinca mengatakan, kasus itu kemudian mengambang tak ada kejelasan. “Pada akhirnya, ujungnya, tidak diketahui kasus ini kapan berakhirnya, yang kita tahu hanya kapan mulainya," tambah dia.
Ditambahkan Hinca, suara AHY-Sylviana juga tergerus oleh tuduhan dari mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar kepada Ketua Umum Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono.
“Pada waktu itu kalau ingat, pasangan AHY-Sylviana menempati survei paling tinggi. Tetapi kemudian tergerus," ujar Hinca.
Saat itu Antasari berbicara mengenai dugaan kriminalisasi terhadap dirinya. Antasari menuding SBY yang saat kasus itu terjadi menjabat sebagai Presiden, tahu persis kriminalisasi yang menjeratnya.
“Sudah kami laporkan ke penegak hukum yang sampai saat ini masih belum diproses secara tuntas," kata Hinca.
Hinca mengaku, partainya memiliki bukti-bukti atas perlakuan tak adil tersebut. "Kami telah melakukan investigasi dan telah memiliki buku putih yang pada waktunya akan kami buka, agar tidak terulang lagi di masa-masa yang akan datang," terang dia.
Perlakuan tidak adil lainnya, disebut Hinca, terkait proses Pilkada Papua 2018. Pasangan calon yang didukung Demokrat, Lucas Enembe dan Klemen Tinal, gubernur dan wakil gubernur petahana yang akan maju Pilkada kembali dipaksa bercerai. Lucas dipaksa menerima wakil lain yang bukan atas kehendaknya pada kisaran Oktober 2017 lalu.
“Lucas Enembe dipaksa menerima wakil yang bukan atas keinginannya. Kemudian (diminta) menandatangani untuk memenangkan partai tertentu. Padahal Pak Lucas adalah Ketua DPD Partai Demokrat Papua," ujar Hinca.
Atas dasar itu, Demokrat membentuk tim pencari fakta (TPF) guna mengusut fakta yang sebenarnya. Hasilnya pun sudah diserahkan kepada Presiden Joko Widodo. "Terima kasih kepada Presiden Jokowi akhirnya kasus itu selesai. Tetapi pengalaman itu adalah pengalaman Pilkada kedua yang diganggu. Itu yang kami sebut tidak adil," ujar Hinca.
Kasus ketiga dan terbaru, yang membuat Demokrat menggelar rapat darurat adalah terkait dalam kasus Pilkada Kalimantan Timur 2018. Hinca mengatakan, Wali Kota Samarinda, Syaharie Jaang yang akan maju Pilkada Kaltim bersama Wali Kota Balikpapan, Rizal Effendi, dipaksa pihak tertentu untuk berpisah.
Jaang, ujar Hinca, sempat dipanggil oleh partai politik tertentu sampai 8 kali, dibujuk agar mau menggandeng Kapolda Kaltim, Irjen Pol Safaruddin sebagai wakilnya. Safaruddin sendiri diketahui telah mendaftar sebagai bakal calon gubernur di Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).
“Maka secara etika politik tidak baik kalau sudah berjalan. Kalau tidak, maka akan ada kasus hukum yang akan diangkat," kata dia.
Meski sudah ditolak, Jaang pun kembali diminta untuk berpasangan dengan Safaruddin. "Pada 25 Desember 2017, Syaharie Jaang dapat telepon diminta bertelepon kepada Kapolda dan kemudian dinyatakan apakah dimungkinkan berpasangan lagi untuk bersama, dijawab tidak mungkin karena ada pasangan," ujar Hinca.
Ternyata, tak lama setelah penolakan itu, tanggal 26 Desember 2017 Jaang dilaporkan ke Bareskrim Mabes Polri. Hari berikutnya, tanggal 27 dan 29 Desember 2017, Jaang mendapatkan surat untuk pemeriksaan.
Jaang yang juga Ketua Demokrat Kaltim itu diperiksa sebagai saksi dalam kasus pemerasan dan pencucian uang dengan terdakwa Ketua Pemuda Demokrat Indonesia Bersatu (PDIB), Hery Susanto Gun alias Abun, dan Manajer Lapangan KSU PDIB, Noor Asriansyah alias Elly.
Jaang diduga diperiksa terkait terbitnya Surat Keputusan (SK) Nomor 551.21/083/HK-KS/II/2016 tentang Penetapan Pengelola dan Struktur Tarif Parkir pada Area Parkir Pelabuhan Peti Kemas, Palaran, atas nama KSU PDIB.
“Tentu mengagetkan, kita minta (tanggal 27 Desember 2017) untuk ditunda. Tanggal 29 Desember 2017 keluar lagi surat panggilan kedua untuk diperiksa tanggal 2 Januari 2018," ujar Hinca.
“Hari ini, bersama penasehat hukum kami mendampingi. Padahal perkara ini sudah disidangkan dan diputus untuk terdakwa lain dan sudah tidak ada kasusnya. Kami merasa ini ketidakadilan," ujar Hinca.
Terkait kasus Jaang ini, Hinca menegaskan, pihaknya memiliki bukti-bukti yang cukup. "Kalau ditanyakan adakah rekaman dan percakapannya, tentulah kalau kami sampaikan secara terbuka ini, kami mempunyai cukup untuk bukti-bukti percakapan yang diminta tadi," ujar Hinca.
Demokrat, kata Hinca, mengerti segala macam hal tentang kasus Syaharie Jaang. Pihaknya juga telah melaporkannya kepada Presiden Jokowi. "Partai Demokrat melakukan tugasnya dan paham betul situasi ini. Kami melaporkannya dengan baik, tinggal menunggu waktu saja. Bahkan kami melaporkan kepada Presiden Joko Widodo," tuturnya.
Hinca menyebut Jaang telah menjalani pemeriksaan di Bareskrim Polri pada Rabu (3/1) pukul 20.00 WIB kemarin. Dijelaskan Hinca, Jaang menjalani pemeriksaan polisi lantaran bukti kuat yang dijabarkan di atas. "Dan karena (bukti kuat) itulah kami sudah memenuhi panggilan penyidik Bareskrim," sebut Hinca.
Hinca meminta agar ketidakadilan dan kesewenang-wenangan yang dialami partai dan kadernya dihentikan. Ia khawatir kasus serupa akan kembali terulang pada gelaran Pilkada 2018. “Kami pun ragu (khawatir) ada lagi, karena akan ada 171 Pilkada," keluh Hinca.
Demokrat meminta agar Presiden Jokowi bertindak. “Kami harap Presiden Jokowi memastikan pilkada fair, adil, jujur, dan demokratis," ujar dia.
PD, ujar Hinca, sangat serius menyikapi upaya penjegalan Jaang untuk maju dalam Pilgub Kaltim. Menurut dia, tindakan ini dapat merusak demokrasi di Indonesia. Hinca berharap Pilgub Kaltim 2018 dapat berjalan dengan adil, termasuk bagi Jaang, yang menolak berpasangan dengan Safaruddin.
“Kompetisi kan fair, bertanding secara baik. Ini merusak rasa keadilan, merusak netralitas lembaga negara," ujar dia.
Ditegaskan Hinca, aparat penegak hukum dan keamanan seharusnya netral dalam politik. Disebutnya, tidak boleh ada intervensi apa pun yang dilakukan penegak hukum terkait pesta demokrasi di negeri ini.
"Kita sepakat TNI-Polri tak ikut berpolitik. Perilaku ini tak bisa dibiarkan. Oleh karena itu, kami mengajak kader di Indonesia dan masyarakat cinta demokrasi agar tindakan tidak adil dan sewenang-wenang ini dihentikan," ujar dia.
Terkait upaya kriminalisasi terhadap Jaang, Hinca mengatakaa, Demokrat meyakini ini tak ada kaitannya dengan pemerintah saat ini, yakni Presiden Joko Widodo. Hinca menyebut partainya yakin Jokowi secara pribadi tak terlibat langsung.
“PD yakin Jokowi tidak mengetahui perilaku tak sepatutnya oleh elemen negara. Karena itu, dengan kewenangan Jokowi, sesuai tugas dan tanggung jawabnya, diharapkan Jokowi melakukan sesuatu, yaitu kita rawat demokrasi, khususnya pilkada, menghentikan proses tidak fair agar pilkada berjalan baik dan menyenangkan kita semua," tandas Hinca.
© Copyright 2024, All Rights Reserved