Mantan Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Jenderal (Purn) Wiranto yang kini menjadi calon presiden dari Partai Golkar harus bertanggung jawab atas terjadinya kerusuhan Mei 1998. Oleh karena itu Dewan Perwakilan Rakyat harus membentuk Panitia Khusus Kerusuhan Mei 1998 agar masalahnya betul-betul tuntas.
Hal itu diungkapkan Direktur Eksekutif Institute for Policy Studies Fadli Zon ketika acara peluncuran buku karangannya berjudul Politik Huru-Hara Mei 1998 di Jakarta, Jumat (23/4). Buku tersebut dibahas oleh mantan Ketua Tim Investigasi Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Kerusuhan Mei Hermawan Sulistyo dan mantan Presiden Mahasiswa Universitas Trisakti Andre Rosiade.
Ditemui terpisah oleh Kompas, Wiranto enggan mengomentari buku Fadli. Alasannya, dia belum membaca buku tersebut dan terkesan sangat tendensius. Ia juga khawatir ada motif politik di balik berbagai tudingan yang menyudutkan dirinya tersebut.
"Tidak ada juntrungannya, tiba-tiba ada peluncuran (buku) seperti itu. Saya juga sudah sering menghadapi (hal) semacam itu," ucap Wiranto. Untuk lebih jelasnya Wiranto hanya meminta agar bukunya berjudul Bersaksi di Tengah Badai dibaca.
Fadli mengungkapkan, buku tersebut ditulis setelah ia membaca buku karangan Wiranto berjudul Dari Catatan Wiranto: Bersaksi di Tengah Badai (2003), yang dinilainya ada yang tidak benar dan tidak akurat. Sebetulnya buku Fadli tersebut akan diluncurkan sebelum berlangsungnya Konvensi Nasional Partai Golkar, tetapi batal karena ada intimidasi dan ancaman terhadap dirinya.
Dalam diskusi tersebut Fadli banyak menyinggung soal sepak terjang Wiranto ketika kerusuhan Mei 1998 terjadi. "Tetapi buku ini tidak dimaksudkan untuk menjegal seseorang menjadi presiden. Jadi atau tidak jadi Wiranto sebagai capres Partai Golkar, buku ini tetap akan saya keluarkan agar didiskusikan," katanya.
Di halaman 36 bukunya, Fadli Zon antara lain menulis, "...Sementara Wiranto cenderung tidak mau mengambil alih tanggung jawab anak buahnya. Ditanya siapa yang harus bertanggung jawab dalam penembakan mahasiswa Trisakti, Wiranto menjawab bahwa itu adalah tanggung jawab orang yang menggerakkan demonstrasi brutal. Ia juga tak mau disalahkan dalam kerusuhan Mei 1998 karena semua kendali operasional pengendalian huru-hara bukan di tangannya sebagai Panglima ABRI."
Fadli juga mengkritik pernyataan Wiranto yang selalu mengatakan punya dua kali kesempatan jika mau kudeta, tetapi tidak dilakukannya. Padahal, kalau waktu itu mau mengambil alih kekuasaan, Wiranto tidak akan bisa karena akan digulingkan kawan-lawan politiknya di militer. "Kalau Prabowo (Panglima Kostrad) yang mengambil alih, pasti bisa. Tetapi dia tidak mau. Saya terus terang waktu itu mengusulkan diambil alih dulu sementara, serahkan kepada presidium kepemimpinan sipil," tuturnya.
Fadli sepakat dengan Hermawan Sulistyo bahwa yang bertanggung jawab dalam kerusuhan Mei adalah pemegang komando. "Tidak ada kesalahan anak buah. Yang ada kesalahan komandan. Panglima ABRI jelas harus bertanggung jawab," kata Fadli seperti dilansir Kompas (24/4/2004).
© Copyright 2024, All Rights Reserved