Saat rapat dengar pendapat umum Komisi I DPR dengan pihak Tempo, Tomy Winata dan Dewan Pers, 17 Maret 2003, hampir setahun lalu, PWI Reformasi – yang waktu itu diketuai Budiman S Hartoyo (mantan redaktur Tempo) – menganugerahkan award untuk Tomy Winata sebagai “Tokoh yang berbahaya bagi kebebasan Pers dan Demokrasi”. Award itu dititipkan ke saya sebagai pihak kuasa hukum Tomy Winata.
Benarkah Tomy Winata berbahaya atau mengancam kebebasan pers Indonesia? Sebuah pertanyaan yang mengusik, tentu!
Ancaman terhadap kebebasan pers dapat dilihat dari dua sudut: internal dan eksternal. Pers kita berteriak tentang ancaman eksternal terhadap kebebasan pers, dan seolah abai terhadap ancaman internal.
Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers menjamin kebebasan pers sebagai hak asasi warga negara dan wujud kedaulatan rakyat. UU Pers ini menyebut sejumlah ancaman eksternal terhadap kebebasan pers, yaitu:
a. Penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran (pasal 4 ayat (2));
b. Tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan hak pers untuk mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi (Pasal 4 ayat (3))
Kepada siapa saja melakukan ancaman terhadap pers, menurut Pasal 18 ayat (1) ia diancam hukuman paling lama dua tahun penjara atau denda paling banyak Rp500 juta.
Selain melindungi kebebasan pers, UU Pers juga harus melindungi konsumen media, termasuk narasumber, dan masyarakat, dari efek kebebasan pers yang disalah-gunakan oleh jurnalisnya. Karena itulah, UU Pers membatasi kebebasan pers nasional dengan beberapa kewajiban hukum, antara lain:
a. Memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah (Pasal 5 ayat (1));
b. Melayani hak jawab (Pasal 5 ayat (2)), hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya (Pasal 1 ayat (11));
c. Melayani hak koreksi (Pasal 5 ayat (3)), hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain (Pasal 1 ayat (12));
d. Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar (Pasal 6 ayat (c));
a) (Wartawan) memiliki dan menaati kode etik (Pasal 7 ayat (2)). Dengan dicantumkannya Kode Etik Wartawan Indonesia(KEWI) dalam ayat ini, maka KEWI berkekuatan hukum. “Setuju atau tidak setuju, KEWI berakibat atau berimplikasi hukum, siapa yang melanggarnya berarti melanggar hukum,” tulis S. Sinansari Ecip, pakar komunikasi dari Universitas Hasanuddin dan mantan redaktur ahli Republika.
Perusahaan pers yang melanggar Pasal 5 ayat (1) dan (2) serta Pasal 13, menurut Pasal 18 ayat (2), diancam pidana denda paling banyak Rp 500 juta.
Jadi, kebebasan pers untuk menyebarluaskan atau memberitakan gagasan (opini) dan informasi (peristiwa) dibatasi oleh koridor hukum untuk menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah dan berdasarkan informasi yang tepat , akurat, dan benar. Di samping itu juga harus menaati KEWI, yang berisi antara lain larangan kepada wartawan Indonesia untuk menyiarkan informasi yang bersifat dusta, fitnah, sadis dan cabul (KEWI Pasal 4).
Sedangkan ancaman internal bagi kebebasan pers, lebih pada sistem dan figur di sebuah media. Dominasi pemodal atau pemilik perusahaan dan ketergantungan redaksi pada pemodal, merupakan ancaman nyata bagi jurnalisme bermutu. Bagi praktisi bisnis media, uang harus masuk sebanyak-banyaknya. Tak peduli mutu ide dan isi media, yang penting mengundang konsumen untuk membelanjakan uangnya. Akibatnya, publik sekadar disuguhi infotainment, gosip, mistik, sensualitas, pornografi dan sensasionalitas.
Dalam kaitan itulah, informasi yang bersifat dusta dan fitnah atau informasi yang tidak tepat, akurat dan benar, disuguhkan kepada publik. Jurnalisme bermutu mati. Koran atau majalah tetap bisa terbit, tetapi isinya hanya tuduhan (misalnya: pengadilan atau hakim disuap, tanpa bisa memberikan bukti), penghinaan, fitnah, dan pencemaran nama baik.
Berita Majalah Mingguan Tempo edisi 3-9 Maret 2003 berjudul “Ada Tomy di ‘Tenabang’?” adalah contoh jurnalisme tak bermutu. Ini bukan kata saya saja, tapi pendapat beberapa pengamat media, antara lain Sirikit Syah dan Andreas Harsono, serta Ade Armando. Akibat pendapatnya, Sirikit dan Andreas dipojokkan habis-habisan oleh solidaritas sempit jurnalis pro-Tempo.
Informasi tentang proposal tergolong dusta, tidak akurat dan tidak benar. Pernyataan bahwa proposal diserahkan Tomy Winata tiga bulan sebelum kebakaran dan kebakaran memudahkan proyek renovasi, sehingga Si Pemulung Besar Tomy Winata akan menangguk untung besar, adalah dusta dan fitnah, ditulis tanpa didasarkan pada informasi yang tepat, akurat dan benar.
Mendapatkan dirinya dihinakan demikian oleh Tempo, melalui kuasa hukumnya, Tomy Winata mengirim somasi (teguran) ke Pemimpin Redaksi Tempo pada 7 Maret 2003. Langkah damai yang ditempuh Tomy Winata ini dijawab oleh Bambang Harymurti dan Fikri Jufri pada 10-11 Maret 2003 bahwa Tempo tak akan meminta maaf. Karena jawaban inilah, Tomy lalu mengadukan Pemimpin Redaksi Tempo ke Kepolisian Daerah Metro Jaya.
Langkah hukum Tomy Winata mendapat tanggapan positif dari Komisi I DPR dalam RDPU 17 Maret 2003. Komisi I merekomendasikan agar Kepolisian meneruskan pengaduan Tomy tersebut. Disamping itu, Komisi I juga meminta Kepolisian untuk memproses unjuk rasa 8 Maret 2003 di kantor redaksi Tempo secara tegas sesuai proses hukum yang berlaku. Sebagaimana diketahui, RDPU itu sendiri terselenggara atas lobby pihak Tempo kepada Pimpinan Komisi I dan AM Fatwa, Pimpinan DPR yang piket saat reses.
Tapi mengapa PWI Reformasi menganugerahkan award “Tokoh yang Berbahaya bagi kebebasan Pers dan Demokrasi” kepada Tomy? Di sini lah terjadi kerancuan pandangan sebagian jurnalis kita, yaitu: Mereka tidak membedakan Tomy Winata dari para pengunjuk rasa. (Unjuk rasa itu sendiri mereka sebut dengan penyerbuan, penyerangan, hingga premanisme dan terorisme). Padahal, Tomy Winata sendiri telah membantah memerintahkan unjuk rasa tersebut. Ia bahkan baru mengetahui adanya unjuk rasa tersebut dari David ketika unjuk rasa itu sedang terjadi. Ketika tahu itu, ia pun langsung meminta agar unjuk rasa tidak berkembang negatif.
Sebab itu, menuduh Tomy mengancam kebebasan pers, atau berada di belakang unjuk rasa tersebut, adalah mudah. Tapi jurnalis harus melakukannya dengan fakta yang akurat dan benar, melalui investigasi, kerja jurnalistik yang serius. Bukan sekadar omong atau menggunakan mulut satu dua tokoh untuk menuduh. Kapan kita mau belajar menghormati hukum?
Berbekal rekomendasi Komisi I DPR itu, melalui kuasa hukumnya, Tomy Winata mengajukan gugatan perdata di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat terkait dengan berita, Tempo edisi 3-9 Maret 2003 tersebut. Gugatan perdata (di PN Jakarta Pusat) juga dialamatkan pada Ahmad Taufik yang menulis “Kronologi Penyerbuan Tomy Winata ke Tempo” - yang telah memvonis Tomy Winata berada di balik unjuk rasa 8 Maret 2003. Goenawan Mohamad yang telah menyatakan, agar negeri ini tidak jatuh ke tangan preman dan ke tangan Tomy Winata, juga digugat di PN Jakarta Timur.
Berita Koran Tempo edisi 6 Februari 2003, seputar desasdesus Tomy Winata akan membuka usaha judi di Sulawesi Tenggara, juga digugat di PN Jakarta Selatan. Vonis Majelis Hakim PN Jakarta Selatan pada Selasa, 20 Januari 2004 lalu memenangkan penggugat Tomy Winata dan menghukum para tergugat secara tanggung renteng membayar kerugian immateriil sebesar US$ 1 juta dan meminta maaf secara terbuka kepada penggugat di delapan media massa harian, enam majalah, dan 12 stasiun televisi selama tiga hari berturut-turut.
Putusan itu menetapkan bahwa artikel Koran Tempo edisi 6 Februari 2003 dimaksud tidak faktual dan tidak jelas sumbernya sehingga bertentangan dengan KEWI. Berita Koran Tempo itu, menurut Majelis Hakim, tidak ada narasumbernya, hanya berdasarkan desas-desus, tidak mengandung unsur chek and recheck, termasuk tidak mewawancarai Tomy Winata, serta lebih banyak berisi opini pribadi wartawan penulisnya.
Putusan itu patut menjadi pembelajaran berharga bagi pers nasional agar lebih profesional dalam menyajikan berita sesuai dengan KEWI dan UU Pers. Berita yang didasarkan pada desas-desus, disebut-sebut, kabarnya, dan konon, sudah seharusnya ditinggalkan. Kini saatnya pers Indonesia mengeluarkan kepada publik berita-berita yang benar-benar sudah diverifikasi kebenarannya, serta berdasarkan laporan investigatif.
Kemenangan gugatan Tomy Winata itu bukanlah lonceng kematian bagi kebebasan pers. Bukan pula belenggu yang dapat menakutkan insan pers Indonesia. Pers Indonesia akan tetap bebas memberitakan kebenaran demi kepentingan publik.
Apakah ganti rugi immateriil yang ditetapkan Majelis Hakim sebesar US$ 1 juta akan membangkrutkan Koran Tempo? Di sini perlu kami tegaskan, sejak awal Tomy tak bermaksud membangkrutkan Kelompok Tempo Media. Banyaknya gugatan perdata yang diajukan semata karea pertimbangan hukum, dan besaran ganti rugi yang dituntut juga didasarkan pada aturan hukum tentang harkat dan martabat serta kemampuan Penggugat (Tomy Winata adalah konglomerat) dan Tergugat (Kelompok Tempo Media adalah perusahaan pers terkemuka di Indonesia).
Pada titik ini pula perlu ditarik batas yang jelas, Koran Tempo dan Majalah Tempo bukanlah pers nasional. Koran Tempo adalah salah satu perusahaan media, yang boleh terkena hukum alam tentang perusahaan, yaitu untung dan rugi, bahkan bangkrut karena salah manajemen (baik di bidang usaha maupun redaksional), hingga berali kepemilikannya. Kebangkrutan Koran Tempo, atau Kelmpok Tempo Media, seandainya nanti terjadi, bukanlah karena perbuatan penggugat, tetapi karena perbuatan Tergugat sendiri yang melawan hukum. Kesalahan jurnalistik jurnalis media ini merupakan ancaman internal bagi perushaan media itu sendiri.
© Copyright 2024, All Rights Reserved