Kemerdekaan memperoleh informasi dalam kasus Parto, menurut pakar komunikasi UI, Ade Armando, memang dijamin UU Pers. Sayang, filosofi yang melatari kemerdekaan petrs tak dipahami. Substansinya bukan merdeka mencari informasi tanpa mengindahkan hak asasi orang lain. Karena kemerdekaan pers justru demi menegakkan semua prinsip penghargaan terhadap HAM. Jangan malah sampai kemerdekaan pers jadi kemerdekaan menteror, mengintimidasi atau mempressure nara sumber.
“Kita harap jangan ada lagi adegan di layar televisi, artis dikejar terus padahal sudah masuk ke mobil dan menolak diwawancara. Tapi masih digedor mobilnya oleh wartawan sambil mengancam. Mengungkap kehidupan publik figur boleh saja, Tapi cara memperoleh infonya, termasuk perkawinan atau perceraiannya, tetap harus sesuai standar etika yang benar,” katanya.
Sehingga, jika sudah dijawab No Comment, pers harus menghormati juga. Jangan mendesak, apalagi mengepung terus sumber berita, sampai menangis atau mau pingsan. Itu sudah aksi preman atau mob.
Namun kasus Parto, bagi praktisi hukum dan artis sinetron, Ruhut Sitompul, adalah produk situasi di era demokrasi ini. Karena privasi publik figur memang rawan, maka dituntut fleksibelitas saat menghadapi pers. Apalagi jika yang diberitakan justru soal rahasia. Karena, kalau publik figur berani berbuat, ya begitu disorot jangan berbicara rahasia lagi. Saat dikonfirmasi ya tak bisa ditutup-tutupi atau dibantah. “Analogi hukumnya, jika ada fakta, berarti harus siap divonis. Tapi jika salah, pers juga wajib minta maaf,” katanya.
Hak publik untuk tahu memang penting, tapi ada batasnya. Jangan sampai melanggar hak asasi orang dan selalu mengatasnamakan kepentingan publik. Sehingga anda tak boleh ke kamar pribadi orang atau merekam tanpa seizin yang berhak. Wartawan tak boleh mencuri atau mengutip pembicaraan orang. Atau menyorot orang dengan kamera tersembunyi, atau mencuri dokumen rahasia negara. Juga soal kawin cerai, jelas bukan kepentingan publik.
Jika praktek itu dibiarkan, pers bisa jadi preman yang menyalahgunakan kekuasaan yang dimilikinya. Padahal kemerdekaan pers untuk mengontrol kekuasaan, bukan menjadi tiran baru. Sayang selama ini tak terlihat upaya serius komunitas pers untuk berbenah mengkoreksi diri. Apa pernah ada pernyataan terbuka Dewan Pers, PWI, AJI atau IJTI yang menegur praktek tercela itu?
Peliput infotainmen, menurut pemilik Cek ‘N Ricek, Ilham Bintang, sebenarnya telah dibekali standar prosedur peliputan, termasuk saat bertugas mendapatkan suara dan gambar narasumber berita secepat mungkin. Namun saat ke lapangan ada saja kendala, nara sumber sedang repot atau tak mau diwawancarai. Dalam kondisi begini, kerap terjadi pemaksaan oleh pers. Padahal jurnalis tak bisa lepas dari nilai sosial di sekelilingnya, seperti tata krama.
“Saya usul televisi swasta mulai meletakkan dasar prinsip kerja jurnalis dengan mewajibkan Production House (PH) menggunakan jurnalis yang direkomendasi suatu organisasi kewartawanan, sebagai penanggung jawab liputan. Sehingga bersama PH bisa membuat pernyataan, siap memenuhi prinsip kerja profesional sesuai KEWI (Kode Etik Wartawan Indonesia), agar yang diproduksi PH, tak lagi dianggap komoditi infotainmen semata. Apalagi antar PH yang bersaing sengit merebutkan ceruk iklan di televisi, kini condong mengabaikan cara etis dalam peliputan,” saran Ilham.
Saran Ilham itu didasari fakta, sebagian besar ‘peliput infotainment’ ternyata bukan wartawan. Mereka kebetulan saja bekerja di suatu PH, bukan media massa. Mereka tak tertampung di organisasi pers seperti PWI, AJI maupun IJTI, sehingga tak faham apa itu kode etik jurnalistik sebagai tercantum di KEWI.
© Copyright 2024, All Rights Reserved