Sebanyak tujuh petani asal Tulang Bawang, Lampung mendatangi Komisi Nasional Hak Azasi Manusi (Komnas HAM), Selasa (28/02). Mereka mengadu dan meminta keadilan karena lahan pertanian miliknya dicaplok oleh perusahaan perkebunan.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung adalah salah satu dari beberapa lembaga swadaya masyarakat yang turut prihatin dan memperjuangkan permasalahan yang dhadapi para petani tersebut.
Direktur LBH Bandar Lampung Alian Setiadi, mengatakan, persoalan yang dialami para petani tersebut adalah terenggutnya HAM mereka dan tanah perkebunan mereka. Masalah ini, kata Alian, sudah terjadi sejak 1991 atau 26 tahun silam.
"Mereka adalah warga transmigrasi tahun 1986. Tentunya program transmigrasi dari Pemerintah sangat baik, dengan menyediakam lahan pekarangan, perumahan dan pertanian. Nah lahan pertanian, kalau dirampas, masyarakat transmigrasi mau hidup dari mana?" kata Alian, di Kantor Komnas HAM, Jalan Latuharhari, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (28/02).
Alian menyebut, pelanggaran HAM yang dirasakan masyarakat di utara Bandar Lampung itu terjadi tahun 1991, saat salah satu perusahaan perkebunan, berusaha merampas lahan warga.
"Perusahaan mengosongkan 7 desa dengan paksa dan kekerasan. Menjadikan wilayah pertanian sebagai tempat latihan perang. Perusahaan juga melepas gajah liar agar masyarakat meninggalkan lahan yang menjadi sengketa hingga saat ini," terang Alian.
Tindak perusahaan tersebut, lanjut Alian, membuat warga hanya menempati dua desa yaitu Agung Jaya dan Indraloka II (belakangan dimekarkan menjadi tiga desa). Melihat hal tersebut, Menteri Dalam Negeri yang saat itu menjabat, membuat kebijakan dalam program transmigrasi swakarsa.
"Setiap korban penggusuran mendapat ganti rugi lahan seluas 2 hektare. 1/4 untuk pekarangan, 3/4 untuk lahan pangan dan 1 hektare untuk lahan usaha yang wajib disertakan," ujar Alian.
Lahan plasma adalah lahan yang dikelola warga bersama perusahaan dengan sistem bagi hasil. "Gubernur Lampung, saat itu, mengeluarkan penerbitan ijin lokasi kepada perusahaan seluas 6.600 hektare dengan perincian 5.100 hektare untuk lahan inti dan 1.500 hektare lahan plasma," ungkap dia.
Masih menurut Alian, perusahaan tersebut malah memaksa warga menandatangani blanko kosong demgan imbalan Rp100 ribu pertandatangan. Pada 1998, warga baru tahu blanko kosong tersebut berisi BAP Penyerahan Lahan Plasma dan Ganti Rugi.
"Artinya masyarakat kehilangan lahan plasma satu hektare dan diganti dengan uang Rp100 ribu. Masyarakat merasa jadi korban tipu daya dan menuntut balik lahan mereka sampai akhirnya konflik berkepanjangan," ucap Alian.
Dikatakan Alfian, kejadian belasan tahun lalu tersebut, berdampak panjang fatal terhadap kehidupan petani di Tulang Bawang. Ia menyebutkan, hingga saat ini masyarakat hidup di bawah garis kemiskinan, delapan warga meninggal dan 21 warga cacat permanen akibat mendapat kekerasan fisik dari pihak perusahaan. Sementara 18 orang lainnya dijebloskan ke dalam penjara.
Trauma itulah yang mengantarkan 7 perwakilan masyarakat petani Tulang Bawang, meminta pertolongan Komnas HAM untuk mendorong Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menyelesaikan masalah warga dengan perusahaan.
"Kami sangat-sangat sedikit keyakinan permasalahan ini dapat diselesaikan di tingkat daerah. Kami sudah menempuh jalur-jalur penyelesaian dengan melapor ke pemerintah terkait, Pemerintah Daerah Tulang Bawang, DPRD Tulang Bawang, Pemprov Lampung, DPRD Lampung, Pemerintah Pusat DPR RI dan Komnas HAM," terang Alian.
Alian menyebut, perusahaan tak memiliki tikad baik menemui warga atau menyelesaikan masalah ini meski warga sudah menempuh sekian banyak upaya penyelesaian.
"Karena itu kami minta adanya tindakan hukum atas pelanggaran HAM yang dilakukan perusahaan terhadap warga dan tuntutan masyarakat untuk mengembalikan 1.500 hektare lahan plasma yang hari ini dikuasai perusahaan," tandas Alian.
Atas pengaduan itu, Komisioner Komnas HAM Anshori Sinungan menyatakna, pihaknya akan menindaklanjuti pengaduan tersebut dengan upaya memediasi warga dengan perusahaan. Komnas HAM pun akan memberi penilaian atas itikad perusahaan menyelesaikan konflik dengan warga, setelah campur tangan Komnas HAM.
"Pengaduan ke kami, jadi perhatian dari Komnas HAM. Kami upayakan setiap pengaduan jadi benar-benar komitmen kami mendukung masalah ini, dalam arti penyelesaian. Mediasi adalah win-win solution, sejauh mana perusahaan bisa punya komitmen, keinginan untuk menyelesaikan masalah ini," tandas Anshori.
© Copyright 2024, All Rights Reserved