Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) rutin mengutus petugasnya memantau kegiatan legislatif maupun eksekutif di Riau setiap pekan. Ini untuk membantu perbaikan sistem pengelolaan keuangan di lingkungan Pemerintahan Provinsi Riau, Banten dan Sumatera Utara.
"Setiap pekan kami utus orang ke Riau untuk memantau kegiatan pengelolaan keuangan daerah," kata Ketua Tim Koordinasi Supervisi Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Wawan Warduana, dalam Loka Karya, Media Lawan Korupsi, di Pekanbaru, Selasa (17/05).
Menurut Wawan, Riau merupakan salah satu daerah paling korup yang menjadi perhatian KPK. Selain Riau ada dua daerah lainnya yakni Banten dan Sumatera Utara.
Riau dan dua daerah itu menjadi pantauan KPK menyusul tingginya kasus korupsi ditangani komisi anti rasuah itu. Wawan mengatakan lebih dari dua puluh tersangka korupsi yang terdiri dari gubernur, legislator maupun swasta berasal dari ketiga daerah itu.
KPK berharap pendampingan ini akan mengurangi jumlah pejabat Riau yang menjadi tersangka kasus korupsi hingga nol. "Tentunya kami tidak ingin lagi gubernurnya atau legislatif berikutnya diambil oleh KPK," ujar Wawan.
Menurut Wawan, tingginya kasus korupsi di Riau dampak dari komitmen menjalankan pemerintahan yang bersih sangat kurang. Ini juga didorong sikap apatis masyarakat Riau. "Pengawasan dari masyarakat kurang efektif.”
Upaya pencegahan korupsi di Riau sebenarnya sudah jauh hari dilakukan. Berbagai program anti korupsi telah berulang kali dilaksanakan, seperti program pengendalian gratifikasi, tunas integritas bagi Satuan Kerja Perangkat Daerah, dan Laporan Harta Kekayaan Pejabat Daerah. Namun tindak pidana korupsi masih saja terjadi di Riau.
"Ternyata langkah itu tidak mempan mencegah korupsi di Riau," kata Wawan.
Selama melakukan pendampingan di Riau, KPK menemukan banyak faktor penyebab korupsi tumbuh subur di Riau. Di antaranya kuatnya intervensi pihak luar yang ikut campur urusan pemerintahan yang dijalankan eksekutif dan legislatif. Sebanyak 70 persen perizinan masih berada di tangan SKPD.
"Korupsi tampak pada pengadaan barang dan jasa. Penganggaran tidak sesuai dengan rencana. Tidak berjalannya sistem badan perizinan," kata Wawan.
Selain itu, kegiatan fiktif yang kerap dilaksanakan di SKPD hanya untuk mendapatkan honor tambahan sehingga penghasilannya berkali-kali lipat dari gaji sebenarnya. "Banyak kegiatan fiktif yang sebenarnya hanya honorarium," ujar dia.
Wawan berharap melalui koordinasi supervisi pencegahanan korupsi ini,pengelolaan keuangan daerah di Riau dapat berjalan lebih baik. Sehingga tidak ada lagi pejabat mendekam di balik jeruji besi. Untuk itu KPK telah membuat beberapa rekomendasi yang dituangkan dalam rencana aksi pencegahan korupsi yang disepakat seluruh pejabat daerah di Riau.
© Copyright 2024, All Rights Reserved