Lembaga {recall} (pencopotan anggota DPR sewaktu-waktu oleh partainya), yang sudah tiga tahun dikubur, kini ramai dibincangkan dan mau dihidupkan kembali. Menariknya lagi, usul untuk menghidupkan lembaga recall itu datang dari kalangan LSM dan intelektual kampus yang dulu sangat menentang keberadaan lembaga recall itu.
Publik di Indonesia tentu masih ingat dengan lembaga {recall} yang pernah begitu populer di masa Orde Baru. Ketika itu, hak {recall} yang dimiliki partai politik memang sangat ampuh untuk membungkam dan mencopot anggota DPR sewaktu-waktu. Anggota DPR yang kritis menjadi korban recall, disingkirkan dari DPR. Bisa dimaklumi, rezim Soeharto memang sangat efektif mengendalikan kehidupan kepartaian untuk mengamankan kekuasaannya melalui lembaga recall tersebut.
Ketika itu, DPR dan partai politik tidak lebih dari abdi kekuasaan. DPR tak lebih sebagai pengabsah kebijakan pemerintah. Semua praktek kekuasaan yang represif berjalan mulus, aman, tanpa kritik, sebagaimana diharapkan kepada sebuah lembaga wakil rakyat. Kiprah lembaga perwakilan ketika itu memang jauh dari harapan.
Ketika era reformasi bergulir di penghujung tahun 90-an, yang ditandai dengan kejatuhan Soeharto, lembabaga ini dibubarkan. Semua pihak menyambut gembira. Ini demi reformasi dan meningkatkan peran lembaga legislatif. Seiring dengan itu, banyak perubahan terjadi, anggota dewan pun mulai berani bersikap kritis dan juga berani melakukan kritik secara terbuka kepada pemerintah. Ini tentu fenomena baru, yang tak pernah dijumpai di masa sebelumnya.
Memang patut disayangkan. Setelah terjadi perubahan sistem politik yang memberikan kebebasan penuh bagi anggota dewan, ternyata tidak diikuti perubahan kultural yang menyangkut perilaku politik. Anggota DPR masih saja malas bersidang, tapi banyak menuntut fasilitas, bergaya preman, tak bisa dikendalikan, bersikap seperti taman kanak-kanak sebagaimana disindir mantan Presiden Abdurrahman Wahid. Realitas politik itu kemudian mendorong untuk kembali menghidupkan lembaga {recall}.
Seorang pengamat politik menilai, ada kegamangan di kalangan anggota dewan dalam merespon perubahan yang terjadi. Diberikan kebebasan yang besar, namun secara mental tidak siap dengan tuntutan perubahan itu sendiri. Anggota dewan yang bersikap preman, KKN memang harus disingkirkan, tapi implikasi hadirnya lembaga recall bisa menjadi preseden buruk bagi demokratisasi. Ibaratnya, kita boleh saja mengejar tikus, tapi tak perlu merusak gudang.
Kenapa? Masih ingat keluhan Aberson Marle Sihaloho dari PDIP. Anggota DPR itu mengeluhkan sikap otoriter DPP PDIP yang mewajibakan kepatuhan mutlak anggotanya di DPR dengan menandatangani meterai. Dalam kasus ini terlihat bahwa partai politik ternyata mengintervensi begitu jauh hak dan kewajiban anggota DPR sebagai wakil rakyat. Jika lembaga {recall} dihidupkan kembali, kita akan kembali mengulang kesalahan sejarah masa lalu.
Kepada Politikindonesia.com, seorang anggota DPR mengeluh, jika lembaga {recall} dihidupkan maka anggota DPR tak akan lagi bebas menyuarakan aspirasi rakyat. "Kita tak akan lagi menjadi wakil rakyat tapi hanya wakil partai politik," ujarnya, sambil menambahkan bahwa beberapa anggota DPR akan berupaya untuk menolak usulan DPR dan KPU untuk menghidupkan lembaga {recall} itu.
Tentu saja, wakil rakyat harus diingatkan untuk tetap menjadi wakil rakyat dengan moralitas yang benar. Tapi di era transisi, kita juga perlu memberikan kesempatan berekspresi secara sehat.
Perlu dipikirkan sanksi moral dan saksi politis secara proporsional bagi anggota dewan yang memang berperilaku dan berperangai buruk. Tak perlu lagi, menghadirkan lembaga represif semacam lembaga {recall} yang pernah membungkam anggota dewan itu.
© Copyright 2024, All Rights Reserved