{“Serulah kepada manusia untuk beribadah haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, (atau) naik berbagai macam unta yang kurus, yang datang dari segenap penjuru yang jauh, supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah Allah berikan kepada mereka berupa binatang ternak, maka makanlah sebagian daripadanya dan (sebagian lagi) berikanlah kepada orang-orang yang sengsara lagi fakir.” (Al-Hajj : 27-28)}
Bila makna ayat di atas direnungkan lebih jauh, terlihat bahwa ibadah haji memiliki berbagai manfaat dan hikmah. Termasuk, rahasia yang terselimuti di dalamnya. Manfaat haji yang bersifat material, misalnya, dapat di rasakan dengan adanya tuntunan tentang kewajiban seorang muslim yang hendak menunaikan ibadah ke tanah suci ini atas saudaranya, sesama muslim. Yakni, tidaklah akan di terima pahala haji seseorang, ketika ternyata di antara tetangga muslim tersebut ada yang masih hidup dalam kemiskinan dan menghadapi penderitaan hidup.
Islam sangat menekankan kepada penganutnya untuk saling tolong menolong dan saling ingat mengingatkan serta rasa peduli seorang muslim yang mampu terhadap saudaranya yang hidup miskin dan menderita.
Kemudian seorang muslim itu terukur dari sifat-sifat kepeduliannya atas penderitaan orang lain, dan peka atas hal-hal yang menyebabkan timbulnya penderitaan itu sendiri.
Ada suatu cerita yang dapat di jadikan tauladan dalam kehidupan sehari-hari,
Pada suatu masa ketika Abdullah bin Mubarak berhaji, tertidur di Masjidil Haram. Tiba-tiba ia bermimpi melihat dua malaikat turun dari langit, lalu yang satu berkata kepada yang lain: “Berapa banyak orang-orang yang berhaji pada tahun ini?”. Jawab malaikat yang lain: “Enam ratus ribu”
Lalu malaikat yang satu bertanya lagi. “Berapa banyak yang diterima?”
Jawabnya: “Tidak seorangpun yang diterima, kecuali seorang tukang sepatu di Damsyiq bernama Ali bin Muwaffaq. Dia tidak dapat berhaji tahun ini, tapi diterima hajinya, sehingga semua yang berhaji pada tahun itu di terima, berkat di terimanya haji Ali bin Muwaffaq itu.”
Begitu Abdullah bin Mubarak mendengar percakapan itu, mendadak ia terbangun. Dia langsung berangkat ke Damsyid mencari orang yang bernama Ali bin Muwaffaq. Tak lama sampailah di rumah yang di tuju.
Usai mengetuk pintu, ke luarlah seorang laki-laki. Abdullah bin Mubarak segera bertanya siapa nama orang itu. Orang itu menjawab: “Saya Muwaffaq”.
Lalu Abdullah bin Mubarak bertanya: “Kebaikan apakah yang telah engkau lakukan sehingga mencapai derajat yang sedemikian itu?”
Jawab Muwaffaq: “Tadinya aku ingin berhaji, tapi tidak dapat karena keadaanku. Aku mendadak dapat rizki uang tiga ratus dirham dari pekerjaanku membuat dan menambal sepatu. Aku lalu niat berhaji pada tahun ini. Sementara istriku sedang hamil.
Suatu hari, istriku mencium bau makanan dari rumah tetanggaku, ia ingin makanan itu karena sedang ngidam. Istriku minta tolong kepadaku untuk memintakan sedikit makanan yang di masak oleh tetangga kami itu.
Akhirnya saya pergi ke rumah tetangga kami yang ternyata seorang janda miskin dan mempunyai tiga orang anak. Lalu saya meminta sepotong daging yang sedang di masaknya.
Tapi, si janda miskin itu tidak memberi jawaban apa-apa. Hanya air matanya yang meleleh di pipi.
Setelah berulang kali saya meminta, barulah keluar jawaban dari ibu miskin itu: “Maaf Tuan, saya terpaksa membuka rahasiaku, sebenarnya anak-anak yatimku sudah tiga hari tidak makan, karena itu aku ke luar mencarikan makanan untuk mereka.
Tiba-tiba bertemulah aku dengan bangkai himar (keledai) di suatu tempat, lalu kumasak. Maka, makanan itu halal untuk kami dan haram untuk tuan dan keluarga”.
Ketika mendengar jawaban itu, aku segera kembali ke rumah mengambil uang tiga ratus dirham dan kuserahkan kepada tetanggaku itu, dan akau katakan kepadanya: “Belanjakan uang ini untukmu dan anak-anak yatimmu.” Dan akau berkata pada istriku: “Hajiku di muka pintu rumahku (rumah tetanggaku) maka kemanakah aku akan pergi.”
Hikmah terpenting dari kisah di atas adalah betapa tingginya nilai seorang muslim di hadapan Allah. Ia merelakan apa yang menjadi obsesinya ditunda, demi memenuhi panggilan iman yang paling mendasar: mendermakan hartanya untuk orang yatim yang tengah kelaparan.
Muslim yang demikianlah, yang oleh Allah SWT layak mendapat predikat: “orang yang paling mulia di sisi Allah,“ selaras dengan firman Allah dalam surat Al Hujarat- 13: “Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa.”
Bila ditarik dalam kehidupan bangsa saat ini, kisah Muwaffaq adalah tokoh masyarakat yang langka. Jarang sekali pemimpin di negeri yang gemah ripah loh jinawi ini yang memiliki kepedulian yang tinggi terhadap rakyat yang sedang menderita.
Yang terjadi malah sebaliknya, banyak para pejabat yang berpesta pora menikmati sebagian hak rakyatnya.
Meski bertubi-tubi negeri ini di dera dengan berbagai bencana, namun tetap saja para elit politik kita seolah masih buta dan tuli, buta mata hatinya, dan tuli kepeduliannya.
Kondisi ini hampir mirip dengan ramalan seorang sahabat Rasulullah yang bernama Utbah Bin Ghazwan. Seorang pemimpin pasukan perang di masa Rasulullah yang tinggi wibawanya, namun sederhana dalam hidupnya.
Ketakutan akan harta benda yang berlebihan yang bisa membuat dirinya di siksa di neraka kelak menjadi pegangan selama hidupnya.
Utbah sangat menakuti dunia yang akan merusak agamanya. Dan ia selalu menakuti hal-hal serupa terhadap kaum muslimin. Karena itu, sahabat Rasulullah ini selalu membimbing kaum muslimin atas kesederhanaan dan hidup bersahaja.
Tidak sedikit orang yang hendak mengubah pendiriannya dan membangkitkan jiwanya kesadaran sebagai penguasa, terutama di negeri-negeri yang rajanya belum terbiasa dengan {zuhud}.
Namun, Utbah tidak bergeming sedikit pun terhadap badai rayuan itu, ia tetap rela berkorban jiwa, raga dan hartanya demi tegaknya satu kalimat: {Laa ilaa haillallah} (tiada tuhan selain Allah)
Baginya, semua yang melekat pada ruhnya adalah milik Allah, karena itu tidak ada kata ragu untuk berkorban demi kebenaran.
Di bagian lain, di masa Rasulullah, ada seorang yang bertanya kepada beliau. “Ya Rasulullah, tunjukkanlah pada kami amal perbuatan yang bila kami amalkan akan masuk surga?”
Jawaban Rasulullah saw : “Jadilah kamu orang yang baik”. Orang itu bertanya lagi: “Ya Rasulullah, bagaimanakah akan kami ketahui bahwa kami telah berbuat baik itu?”
Jawaban Rasulullah: “Tanyakan kepada tetanggamu, maka bila mereka berkata: engkau baik, maka engkau benar-benar baik. Bila mereka berkata, engkau jelek, maka engkau benar-benar seorang yang jelek”.
Kisah terakhir ini menunjukkan bahwa cermin hidup di dalam bermasyarakat, bila dilihat dati sisi hidup bertetangga.
Hanya saja, bila di aktualisasikan dengan kondisi yang berkembang saat ini, rasanya kaum muslimin Indonesia akan miris dan kecewa.
Bagaimana tidak, disaat sebagian besar umat Islam melaksanakan ibadah qurban, ternyata bangsa ini masih dihadapkan pada penderitaan saudara-saudara seiman ditempat pengungsian akibat bencana alam, mulai dari banjir, longsor hingga kerusuhan di berbagai tempat.
Keprihatianan dan kekecewaan kaum Muslimin Indonesia semakin mendalam ketika musibah itu datang, namun masih ada pemimpin yang mengaku muslim dan beriman, tapi kurang peduli. Yang terlihat justru hal-hal yang jauh dari harapan rakyat.
Barangkali, inilah puncak predikat yang Allah berikan kepada mahluknya: “Buta (mata hatinya) dan tuli (kesombongan)”.
Dalam Al-qur’an, Allah SWT menjelaskan, bahwa kebanyakan penghuni neraka adalah dari bangsa jin dan manusia karena mereka tak menggunakan segala indera yang di berikan.
Punya akal tapi tak berfikir, punya mata tapi tak melihat. Punya hati tapi tak merasa. {Naudzubilla tsuma nauzdubilla mindaalik}. Semoga kita terlindung dari julukan yang mengerikan ini.
Sungguh adalah waktu yang tepat di hari Raya Idhul Adha 1422 H ini, bangsa Indonesia melakukan perenungan dan koreksi atas apa yang telah dilakukan selama ini. Apakah sudah berada pada penyikapan yang benar ataukah malah telah jauh terbenam dalam kebohongan-kebohongan yang diciptakan oleh kelompok tertentu.
Bahkan, mungkin malah asyik dengan kebohongan-kebohongan yang kemudian berkembang menjadi upaya-upaya pembodohan rakyat, melalui simbol-simbol keagamaan.
Jangan heran, bila saat ini banyak orang dengan jubah-jubah keulamaan dan dalil-dalil agamanya mengorbankan perasaan rakyatnya yang sudah sejak lama hanya dapat menerima dengan pasrah. Dan dalam kepasrahan itu, sesungguhnya rakyat sudah memberikan pengorbanan yang besar.
Di sisi lain, pengorbanan, sejatinya bukan hanya dilakukan rakyat, pemimpin pun seyogyanya juga berani berkorban demi kepentingan bangsa, negara dan kemaslahatan ummat.
Pemimpin seperti ini akan di kenang sepanjang masa karena kemuliaannya. Kasih sayangnya mengalahkan ambisinya untuk berkuasa. Lebih dari itu, ia di yakini bakal memperoleh derajat mulia di sisi Allah, {Wallahu ‘alam.}
© Copyright 2024, All Rights Reserved