Ketua DPR RI Akbar Tandjung, salah satu tersangka dalam kasus penyalahgunaan dana nonbudgeter Bulog sebesar Rp 40 milyar, tampak pasrah sepulangnnya di tanah air setelah menunaikan ibada haji. Politisi ulung yang juga ketua umum Partai Golkar ini memang sedang menjadi sorotan, setelah mantan Menperindag Rahardi Ramelan di tahan di LP Cipinang, Kamis (28/02/2002).
Akbar hanya berharap, seandainya kejaksaan mengambil tindakan terhadap dirinya seperti halnya Rahardi Ramelan, maka itu harus berdasarkan alasan-alasan yang sesuai dengan aturan hukum.
“Kalau seandainya seseorang itu diambil tindakan yang seperti itu, tentu harus ada alasan-alasan. Jadi tentu kita harus berpegang kepada hukum dan yang penting soal alasannya apakah itu sesuai hukum," ujar Akbar Tandjung di Gedung DPR/MPR, Jakarta, Jumat (01/03/2002). Akbar tiba di Tanah Air pagi tadi setelah hampir dua minggu menunaikan ibadah haji.
Sebelum berangkat ke Tanah Suci, Akbar sudah dua kali memberikan keterangan ke Kejaksaan Agung. “Saya kan telah diperiksa dan Pak Habibie telah diperiksa sebagai saksi. Karena itu saya serahkan sepenuhnya kepada Kejaksaan Agung. Kalau seandainya masih dibutuhkan saya diperiksa, tentu saya siap-siap saja,” papar Akbar.
Pada kesempatan itu, Akbar membantah telah melakukan deal politik dengan Wakil Ketua DPR RI AM Fatwa yang juga Ketua DPP Partai Amanat Nasional (PAN) ketika bertemu di Padang Arafah. Akbar mengaku memang bertemu dengan Fatwa, namun sama sekali tidak membicarakan soal politik, terutama yang menyangkut penolakan pembendungan pembentukan Pansus {Bulogate} II yang akan diputuskan dalam rapat paripurna DPR 7 Maret mendatang.
Mengenai pembentukan pansus itu sendiri, menurut Akbar, merupakan kewenangan fraksi-fraksi yang ada di DPR sesuai dengan mekanisme yang ada.
Tentang kesiapan Fraksi Partai Golkar dalam menghadapi rapat paripurna tanggal 7 Maret tersebut, Akbar mengatakan telah disiapkan tim untuk menyusun pendapat akhir yang bertugas mengumpulkan berbagai bahan untuk disampaikan dalam rapat paripurna.
Sementara itu, menilai langkah Kejagung menahana Rahardi Ramelan, Koordinator Investigasi {Indonesian Corruption Watch (ICW)} Irfan Muktiono berpendapat, Kejagung tidak konsisten dengan pola penyidikannya, terutama terhadap kasus dana nonbujeter Bulog sebesar Rp 54,6 miliar. Dia menganggap tindakan kejaksaan menahan Rahardi sekadar langkah politis pemerintah.
'Saya melihat hal itu sebagai langkah politis pemerintah untuk membuat pandangan bahwa mereka serius menangani kasus-kasus KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme),' katanya seperti dikutip {Suara Pembaruan}, Jumat (01/03/2002).
Tidak terlihatnya keseriusan kejaksaan, kata Irfan, karena tersangka lain yang jelas lebih patut untuk ditahan justru tidak diperlakukan seperti Rahardi. 'Seharusnya Kejagung melakukan tindakan serupa terhadap Akbar Tandjung, tersangka Winfred Simatupang dan Dadang Sukandar,' tukasnya.
Sedangkan penasihat hukum Rahardi, Yan Juanda Saputra menganggap janggal keputusan Kejati DKI menahan kliennya itu. Selama ini, tuturnya, tersangka yang juga mantan Menteri Perindustrian dan Perdagangan itu bersikap kooperatif selama diperiksa Kejagung.
Dia menambahkan, penasihat hukum telah mengajukan penangguhan penahanan atas diri tersangka namun permintaan itu ditolak. Yan telah meminta kliennya agar menerima hal ini sebagai realita yang tidak terelakan.
© Copyright 2024, All Rights Reserved