Sistem peringatan dini tsunami yang bersifat end-to-end dianggap belum berjalan efektif di Indonesia. Masih ada perbedaan interpretasi di kalangan pejabat pemerintah daerah dan masyarakat ketika menerima pesan dan peringatan bencana tsunami yang dikeluarkan oleh Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG).
Setidaknya, demikian pendapat yang dikemukakan Koordinator Program Komunitas Persiapan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Irina Rafliana, di Jakarta, Senin (18/07).
Pejabat daerah terkait seperti Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) harus meningkatkan pemahamannya tentang rantai peringatan dini tsunami ke masyarakat. Sebenarnya, ujar Irina, peringatan dini tsunami yang dikeluarkan BMKG sudah komprehensif dan sesuai prosedur. Sayangnya, pihak BPBD belum tentu memahami pesan yang dikeluarkan BMKG, sehingga terdapat perbedaan interpretasi dalam hal tersebut.
Dikatakannya pula, peringatan dini merupakan salah satu faktor utama dalam pengelolaan bencana, khususnya dalam mengurangi resiko bencana alam. Selain dapat mencegah jatuhnya banyak korban jiwa, peringatan dini juga dapat mengurangi dampak kerugian ekonomi dan material dari sebuah bencana.
Untuk meningkatkan kapasitas pejabat daerah terkait hal ini, LIPI mengadakan Semiloka Peningkatan Kapasitas Daerah (Kabupaten/Kota) dalam Pengambilan Keputusan Ancaman Bencana Tsunami.
Diharapkan, dengan Semiloka tersebut, BPBD dapat bereaksi secara efektif ketika menerima peringatan dini tsunami dan dapat menyelamatkan masyarakat di daerah yang terkena dampak bencana. Setidaknyam terbentuk kriteria minimal yang dibutuhkan untuk pengambilan keputusan ancaman tsunami oleh BPBD.
Semiloka ini diikuti oleh dua orang perwakilan pejabat BPBD dari 9 daerah yang rawan tsunami yaitu Kota Palu, Kabupaten Sikka, Kabupaten Buleleng, Kabupaten Pacitan, Kabupaten Bantul, Kabupaten Cilacap, Kota Bengkulu, Kota Padang dan Kabupaten Mentawai.
© Copyright 2024, All Rights Reserved