Kamis siang pekan lalu, ruang sidang 4 lantai II Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat terasa panas. Dua buah kipas yang tergantung pada eternit ruangan sidang itu tidak mampu mengusir hawa itu.
Di antara puluhan wartawan yang hadir, pada deretan kursi pengunjung paling depan, Fikri Jufri, pemimpin umum PT Tempo Inti Media Tbk terlihat serius mendengarkan Ketua Majelis Hakim yang mengadili sidang pencemaran nama baik itu berbicara. Sesekali ia terlihat kipas-kipas dengan selembar koran yang dipegangnya. Kali lain, Fikri yang mengenakan kemeja krem dan celana abu-abu itu tampak melepaskan kacamata lalu memejamkan mata. Entah apa yang dipikirkan pemimpin perusahaan PT Tempo Inti Media Tbk. Raut wajahnya sedikit tegang. Mungkin, sidang ini teramat penting.
Siang itu Majelis Hakim membacakan putusan atas gugatan perdata Tomy Winata melawan delapan pihak Tergugat dari Majalah Berita Mingguan Tempo. Para pihak itu adalah, PT Tempo Inti Media Tbk, Zulkifly Lubis (Pemimpin Perusahan), Bambang Harymurti (Pemimpin Redaksi), Fikri Jufri (Pemimpin Umum), Toriq Hadad (Wakil Pemimpin Redaksi), Ahmad Taufik (wartawan), Bernarda Rurit (wartawan), dan Cahyo Junaedy (wartawan).
Gugatan yang terdaftar dengan Nomor perkara 223/PDT.G/2003/PN.JKT.PST itu diajukan Tomy Winata–pengusaha Artha Graha Group–atas pemuatan berita di majalah Tempo edisi 03 – 09 Maret 2003 yang berjudul “Ada Tomy Di Tenabang?”. Bagi Tomy, pemuatan berita itu telah mencemarkan nama baiknya.
Pukul 12.30 wib majelis hakim membuka persidangan. Sebelum pembacaan putusan, ketua majelis hakim sempat menanyakan apakah kedua pihak (Tomy dan Tempo) ingin berdamai. keduanya menjawab “tidak”. Akhirnya putusan pun dibacakan.
“Persidangan ini bukan mengadili kebebasan pers,” kata Ketua Majelis Hakim Sunarjo SH. Sidang ini, katanya, semata-mata bersumber dari gugatan Penggugat yang merasa dirugikan oleh pemberitaan Tempo yang berjudul “Ada Tomy Di Tenabang?”
Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim menolak dalil para Tergugat bahwa gugatan Tomy terlalu dini diajukan (prematur) karena belum ditempuh mekanisme hak jawab dan dewan pers. Selain itu Tergugat beralasan, dengan adanya proses pidana yang sedang berjalan seharusnnya tuntutan perdata mengenai ganti rugi ditunda sampai perkara pidananya selesai.
Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers tidak mengatur secara limitatif mekanisme penyelesaian yang harus ditempuh apabila terdapat seseorang atau sekelompok orang yang merasa dirugikan nama baiknya akibat suatu pemberitaan pers.
Pasal 5 ayat (2) UU tersebut hanya mewajibkan kepada pers untuk melayani hak jawab. Digunakan atau tidaknya, hak tersebut tergantung yang bersangkutan. Dengan kata lain, “Orang atau sekelompok orang tersebut dapat tidak menggunakan hak jawabnya, karena tidak ada keharusan untuk itu,” kata Sunarjo.
Tentang Dewan Pers, Majelis Hakim berpendapat lembaga itu hanya berfungsi memberikan pertimbangan dalam penyelesaian kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers, sebagaimana diatur dalam pasal 15 ayat (2) huruf (b) UU No. 40/1999. Dewan Pers bukanlah institusi pemeriksa atau pemutus persengketaan orang yang merasa dirugikan nama baiknya oleh pemberitaan pers. “Dewan Pers bukan lembaga peradilan,” kata Sunarjo.
Sedangkan tentang proses pidana yang sedang berjalan, Majelis Hakim menilai sebagai hal berbeda karena tidak menyangkut seluruh Tergugat dalam perkara ini. Lagi pula, gugatan yang diajukan Penggugat adalah perbuatan melanggar hukum dan tuntutan ganti rugi. Sedangkan proses pidana akan diakhiri dengan pemidanaan seperti diatur dalam pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Atas dasar itu, Majelis menolak eksepsi yang diajukan Tergugat.
Dalam pokok perkara Majelis Hakim menilai, dari seluruh bukti yang diajukan para Tergugat, ternyata tidak ada proposal senilai Rp53 miliar yang diajukan Tomy seperti yang diberitakannya itu. Karena itu, para Tergugat dianggap tidak dapat membuktikan adanya proposal tersebut. Sedangkan Gubernur dalam suratnya membantah adanya proposal dari Tomy Winata. Sebagaimana tertulis dalam berita itu, “Konon, Tomy Winata mendpat proyek renovasi Pasar Tanah Abang senilai Rp53 Miliar. Proposal sudah diajukan sebelum kebakaran.”
Majelis berpendapat judul dan lead berita Tempo itu menyesatkan pembaca. Judul tidak sesuai dengan isi beritanya. Walau lead berita itu diawali kata “konon” yang artinya katanya atau kabarnya yang artinya belum ada kepastian. Namun, dihubungkan dengan kalimat “Proposalnya sudah diajukan sebelum kebakaran” lead berita itu menjadi kalimat positif yang artinya proposal itu ada. Sehingga, dihubungkan dengan nama Tomy Winata berita itu memperjelas keberadaan Tomy di balik kebakaran itu.
Padahal, para Tergugat hanya mengembangkan informasi itu dari seorang narasumber – kontraktor arsitektur yang tidak disebutkan namanya. Tergugat, kata majelis, tidak melakukan cek dan ricek agar mendapatkan informasi yang tepat, akurat dan benar. Memutar-balikkan fakta, mencampur-adukkan fakta dan opini wartawan. “Pemberitaan itu telah melanggar azas praduga tak bersalah,” kata Sunarjo.
Majelis Hakim menilai, Tergugat telah melanggar peranannya sebagai media, seperti diatur pasal 6 huruf (c) UU No. 40/1999 yang berbunyi: Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar. “Para Tergugat terbukti telah menyiarkan berita yang tidak benar dan menyesatkan pembaca,” kata Sunarjo.
Menyangkut penyebutan “pemulung besar”, Majelis Hakim sependapat dengan saksi ahli bahasa Rahayu Sutiarti Hidayat yang menyatakan bahwa kalimat itu mengibaratkan Penggugat sebagai pemulung. Jika dihubungkan dengan berita tentang proposal renovasi yang diajukan Tomy, akan timbul presepsi bahwa Tomy akan menangguk keuntungan besar dan lebih banyak dari terbakarnya atau dibakarnya Pasar Tanah Abang.
Pada bagian lain, majelis menilai bahwa berita-berita yang bersifat tendensius dan menjelek-jelekkan nama Tomy Winata telah dilakukan Tempo secara terus menerus. Hal itu dihubungkan dengan berita-berita majalah itu sebelumnya yang berjudul, “Mafia” bisnis Tomy Winata, “Mafia” itu Tomy Winata, dan Tomy Winata: Anatomi Kolusi Pengusaha – Militer.
Majelis menilai, Para Tergugat telah mendiskreditkan Penggugat dan sehingga menimbulkan kecurigaan, presepsi yang salah dan prasangka buruk masyarakat terhadap Penggugat. Jadi wajar, kata Sunarjo, jika penggugat merasa telah dicemarkan nama baiknya oleh pemberitaan-pemberitaan para Tergugat yang bersifat tendensius dan menjelekkan martabatnya sebagai pribadi dan pengusaha.
Walau Tergugat berdalih telah melakukan cover both side, pada kenyataannya apa yang diberitakan berisikan informasi yang tidak benar dan tidak akurat, tendensius dan mencemarkan nama baik penggugat.
Majelis menyimpulkan berita “Ada Tomy Di Tenabang?” telah melanggar hak subjektif Tomy Winata dan mencemarkan nama baiknya. Majelis mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian bahwa para Tergugat telah melakukan perbuatan melanggar hukum.
Majelis memerintahkan kepada Tergugat untuk mencabut berita berjudul “Ada Tomy Di Tenabang?” serta menyampaikan penyesalan atas pemuatan berita tersebut melalui Koran Tempo, Media Indonesia dan Warta Kota dan melalui Majalah Berita Mingguan Tempo sebesar setengah halaman yang dimuat dalam tiga kali penerbitan secara tiga kali berturut-turut. Majelis menetapkan uang paksa sebesar Rp 300 ribu per hari keterlambatan.
Disamping itu, menyangkut kerugian materil dan immateril yang diderita Penggugat, Majelis menetapkan ganti kerugian Rp 500 juta yang dibebankan kepada kekayaan PT Tempo Inti Media Tbk.
Terhadap putusan itu, kuasa hukum Tempo Todung Mulya Lubis langsung menyampaikan ketidakpuasannya. “Kami menyatakan sangat tidak puas dan keberatan dengan putusan yang baru dibacakan. Pihaknya, menyayangkan dari semua pertimbangan majelis hakim itu tidak mempertimbangkan argumentasi yang diajukan pihaknya. “Kami menyatakan banding” katanya.
“Itu hak saudara, silahkan saja. Bagi Majelis putusan ini adalah hasil maksimal yang dicapai majelis hakim.” kata Sunarjo. Sidang pun ditutup.
© Copyright 2024, All Rights Reserved