Kehadiran Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi diharapkan bisa meluruskan sejarah. Anggotanya harus memiliki jiwa seorang negarawan.
Sekitar 1,8 juta warga Indonesia eks tahanan politik (ET) sampai sekarang belum bisa bernafas lega. Di KTP-nya masih tertera inisial ET yang memberi makna, bahwa si pemegang KTP kurang bersih lingkungan. Belum jelas kapan inisial itu akan lenyap.
Itu baru sebatas KTP berlabel ET. Belum lagi korban saling bantai diantara sesama warga dalam peristiwa di tahun 65-an. Kini, semua peristiwa kelam itu dianggap sebagai sebuah pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Kemudian banyak dugaan terjadinya pelanggaran HAM berat yang terus memanjang selama tegaknya Orde Baru. Diantaranya tercatat dalam peristiwa Talang Sari (Lampung), Tanjung Priok, peritiwa 27 Juli 1996, dan peritiwa Timor Timur, pasca jajak pendapat.
Penyelesaian kasus-kasus tersebut, hingga kini masih belum menemukan titik kesepahaman. Utamanya dalam menempatkan posisi kasus di dalam termonilogi pelanggaran HAM.
Jika tak segera diselesaikan, bukan tak mungkin, kasus-kasus tadi ibarat “api dalam sekam”, yang setiap saat bisa berkobar. Bisa dari sisi korban maupun dari sisi orang yang dituduh sebagai pelaku pelanggaran HAM. Rasa kebencian secara sepihak barangkali tak berkesudahan. Obatnya hanya satu, rekonsiliasi.
Untuk mengungkap kebenaran di balik kasus-kasus tadi bukanlah hal gampang. Dengan begitu, pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang saat ini sedang gencar-gencarnya dibahas pada tingkat DPR RI, tampaknya merupakan sebuah gagasan cemerlang.
Soalnya kemudian, keanggotaan di dalam KKR, harus benar-benar sosok anak bangsa yang memiliki jiwa besar dan memiliki pandangan yang bijak, ‘bak seorang negarawan. Para anggota KKR diharapkan mempunyai semangat meluruskan sejarah. Bukan malah memperlebar masalah.
“Pengungkapan kebenaran untuk rekonsiliasi membutuhkan tokoh besar seperti Uskup Desmond Tutu di Afrika Selatan,” ujar mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin ketika memberikan pandangannya pada rapat dengar pendapat umum Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-undang KKR di Gedung DPR, Senayan, awal pekan lalu.
Tokoh Pokja Petisi 50 ini mengajak warga bangsa belajar pada Korea Selatan yang secara berani mengadili para koruptor tanpa kecuali. “Mantan presiden sekalipun harus tetap diadili, lalu kemudian diampuni. Padahal di sana tidak dikenal Pancasila,” papar Ali Sadikin.
Dalam pandangan mantan Gubernur DKI Jakarta ini, pelurusan sejarah bisa dimulai pada rehabilitasi sekitar 1,8 juta penduduk eks tahanan politik –termasuk para mantan perwira TNI AL dan TNI AU.
Senada dengan Ali Sadikin, mantan Kapolri Awaluddin Djamin menegaskan agar orang-orang yang selama 35 tahun itu didiskriminasi harus segera mendapat penanganan oleh negara. “Cukup DPR mengusulkan kepada pemerintah agar dengan keputusan presiden masalah itu diselesaikan. Maka satu tahap rekonsiliasi nasional dapat diselesaikan.”
Menurut Awaluddin, pembahasan RUU KKR jangan dipaksakan untuk mengejar target waktu. Apalagi, akhir-akhir ini banyak bermunculan kasus-kasus pelanggaran HAM di masa silam yang minta diselesaikan. Setidaknya ada rehabilitasi dan amnesti.
Jika RUU KKR ini terlalu cepat dibahas dan lantas disetujui sebagai UU,
Franz Magnis-Suseno merasa khawatir bakal disalah-gunakan oleh para pelanggar HAM. Para pelanggar HAM bisa cepat-cepat menyatakan diri mereka bersih seketika setelah melakukan rekonsiliasi atau islah dengan korban.
Sebab itu, guru besar Filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Dryarkara ini menyarankan RUU KKR harus disusun secara cermat dan hati-hati. “Tugas KKR nanti adalah mencari kebenaran dan yang dimaksud kebenaran adalah menentukan siapa pelaku dan siapa yang menjadi korban,” kata pakar Etika dan Filsafat ini. Dengan demikian, lanjut Franz Magnis, kendati sudah ada rekonsiliasi, para pelaku pelanggaran HAM berat tetap harus diajukan ke meja hijau.
Apa yang disarankan Romo Franz Magnis, mantan Kapolri Awaluddin Djamin, memang mendapat tanggapan positif Pansus RUU KKR yang diketuai oleh Sidharto Dhanusubroto. Bagaimanapun pelanggaran HAM harus dipertanggungjawabkan secara hukum meski sudah ada perma’afan sosial dari para korban.
Pertanyaannya kemudian, dengan hadirnya KKR, bangsa ini ingin mencari solusi demi kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi lebih harmonis di masa depan, atau ingin menimbulkan korban-korban baru? Masih perlu perenungan yang lebih mendalam.
© Copyright 2024, All Rights Reserved