Sejumlah ahli sudah sejak lama memburu sisa kapal penyelamat Nabi Nuh dari banjir besar tersebut. Apakah sudah ditemukan bukti yang konkret?
Kisah Nabi Nuh yang diperintahkan Tuhan membangun bahtera untuk menyelamatkan dirinya, kaumnya, hingga satwa-satwa yang ada di seluruh dunia, dari bencana banjir besar, air bah, merupakan cerita paling menarik dalam kitab agama-agama samawi.
Narasi di kitab-kitab lintas agama itu intinya sama. Tuhan murka dengan kaum yang durhaka meski sudah mengutus Nabi Nuh untuk berdakwa. Lantas Tuhan mengirimkan banjir besar untuk memusnahkan mereka.
Nabi Nuh dan pengikutnya kemudian diperintahkan membuat bahtera raksasa. Meski awalnya proyek itu ditertawakan kaumnya, Nabi Nuh akhirnya dapat menyelamatkan orang-orang yang beriman dan pasangan satwa-satwa dari air bah.
Sejumlah legenda di banyak negara mengklaim lokasi terdamparnya bahtera itu usai air bah kering. Salah satunya, lereng Gunung Agri di Turki.
Lokasi sisa bahtera
Dikutip dari National Geographic, pencarian arkeologis bahtera Nabi Nuh ini setidaknya sudah berlangsung selama lebih dari satu abad.
Penelusuran ilmiah bermula dari bukti keberadaan banjir besar. Kisah tentang air bah itu, jika merujuk bagian tertua dari Alkitab, berasal dari abad 8 SM. Sementara, kisah sejenis dari era Mesopotamia jauh lebih tua lagi.
Arkeolog di Universitas George Washington, Eric Cline, mengatakan, kemungkinan ada bukti geologis soal banjir bah tersebut.
"Tampaknya memang ada bukti geologis bahwa pernah terjadi banjir besar di wilayah Laut Hitam sekitar 7.500 tahun yang lalu," kata Eric Cline, dikutip dari CNN, Jumat (22/3/2024).
Para ilmuwan masih berdebat soal banjir besar itu. Sejumlah teori menyebut bahwa yang lebih memungkinkan adalah banjir besar yang dialami di lokasi yang berbeda dan pada waktu yang berbeda.
Peristiwa terpisah itu kemudian secara alami masuk ke dalam pengetahuan lisan dan tulisan peradaban dunia.
Penelusuran selanjutnya adalah soal titik pendaratan Bahtera Nuh usai banjir besar. Para ilmuwan pun berbeda pendapat soal lokasinya.
Dalam Kitab Kejadian di Alkitab, bahtera itu terdampar "di atas pegunungan Ararat" yang terletak di kerajaan kuno Urartu, sebuah wilayah yang sekarang mencakup Armenia, sebagian Turki timur, dan Iran.
"Tidak mungkin kita bisa menentukan di mana tepatnya di Timur Dekat (Near East) kuno itu terjadi," kata Jodi Magness, arkeolog di University of North Carolina.
Selanjutnya pada 1876, pengacara dan politisi Inggris James Bryce mendaki Gunung Ararat, Armenia. Gunung itu disebut-sebut sebagai lokasi terdamparnya bahtera Nuh berdasarkan Alkitab.
James Bryce mengklaim sepotong kayu yang "sesuai dengan semua persyaratan kasus" bahtera itu.
Klaim lainnya datang dari dokter mata yang melihat formasi batuan di atas gunung pada 1940-an, hingga klaim pendeta soal temuan kayu yang membatu di puncak gunung pada 2000-an.
Terbaru, tim dari Universitas Teknik Istanbul (ITU) dan Universitas Agri Ibrahim Çeçen (AIÇÜ) meneliti di area yang diduga jadi sisa-sisa Bahtera Nuh di Gunung Agri, Turki.
Hal itu berdasarkan temuan insinyur peta Kapten Ilhan Durupinar pada 1959 selama penerbangan untuk memetakan wilayah timur Anatolia. Daerah ini dalam bahaya karena terancam tanah longsor dan ceruk raksasa yang terbentuk di dekatnya.
Mereka memeriksa sampel fragmen tanah dan batuan yang diambil dari lapangan.
"Pemeriksaan laboratorium ahli mungkin akan selesai setelah satu setengah sampai dua bulan. Berdasarkan hasil ini, kami akan menentukan peta jalan," kata profesor Faruk Kaya, wakil rektor AICU melansir Arkeo News.
Bukti autentik
Cline dan Magness sepakat jika pun artefak dari bahtera itu ditemukan, akan sulit untuk mengaitkannya secara meyakinkan dengan peristiwa sejarah.
"Kami tidak memiliki cara untuk menempatkan Nuh, jika dia benar-benar ada, dan air bah, jika memang ada, dalam ruang dan waktu. Satu-satunya cara Anda dapat menentukannya adalah jika Anda memiliki prasasti kuno yang otentik," kata Magness.
Terlepas dari beragam riset dan klaim itu, para arkeolog menyebut belum ada yang bisa menunjukkan bukti otentik arkeologis temuan sisa bahtera Nuh.
"Tidak ada arkeolog sah yang melakukan [pencarian] ini," kata Magness.
"Arkeologi bukanlah perburuan harta karun," tambahnya. "Ini bukan tentang menemukan objek tertentu. Ini adalah sains di mana kami mengajukan pertanyaan penelitian yang kami harap dapat dijawab dengan penggalian."
Meski demikian, ketiadaan bukti arkeologis tak selalu berarti suatu kisah atau seseorang itu tak pernah ada.
"Kurangnya bukti tidak berarti seseorang pada saat itu tidak ada. Itu berarti bahwa dia, seperti 99,99% orang lain di dunia pada saat itu, tidak memberikan dampak pada catatan arkeologi," kata profesor studi agama dari Universitas North Carolina, Bart D Ehrman. []
© Copyright 2024, All Rights Reserved