Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno menyayangkan tindakan kekerasan yang terjadi di dalam Kampus Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri, Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Mendagri menegaskan, STPDN akan digabung dengan Institut Ilmu Pemerintahan dan kemudian dikelola dengan sistem satu atap.
Hari Sabarno mengatakan hal itu hari Sabtu (20/9) di Bandar Lampung. Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN), menurut dia, tidak 100 persen mengadopsi sistem pendidikan militer. Bahkan, dalam pendidikan militer sendiri sejak tahun 1970 sudah dilarang menggunakan kontak fisik. "Tindakan senior terhadap yunior, seperti menendang atau memukul, sudah dilarang. Tetapi ini, kok, ada dan berlebihan," papar Hari.
Berkaitan dengan peristiwa kekerasan di STPDN, pihaknya telah membentuk dua tim untuk mengkaji kurikulum dan para pembina serta pengasuh di sekolah itu.
Kekerasan di STPDN telah menyebabkan meninggalnya salah satu praja (mahasiswa), Wahyu Hidayat. Beberapa mahasiswa seniornya kini telah mendekam di tahanan Kepolisian Resor (Polres) Sumedang untuk mempertanggungjawabkan perbuatan mereka.
Pada pertengahan Mei lalu juga terjadi peristiwa serupa di Kampus STPDN Jatinangor. Korbannya adalah Jurinata (21), praja madya (tingkat II). (Kompas, 20/9)
Pengamat manajemen pendidikan dari Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta, Dachnel Kamars, Sabtu, melihat upaya mereformasi STPDN terjebak pada pendekatan birokrasi, tanpa mengedepankan penegakan kultur akademis. Gejala itu tampak dari lambannya Departemen Dalam Negeri (Depdagri) mengambil langkah konkret meskipun telah berulang kali terjadi kasus penganiayaan yang mengakibatkan praja STPDN luka-luka hingga tewas.
"Departemen Dalam Negeri mengaku telah merencanakan penataan STPDN sejak tahun 1999. Akan tetapi, sampai sekarang, penataan lembaga itu masih saja terkatung-katung lantaran kentalnya paradigma birokrasi. Apakah harus menunggu sampai jatuh korban lagi," ujar Dachnel memberikan tanggapannya sehubungan dengan pernyataan Sekretaris Jenderal Depdagri Siti Nurbaya bahwa rencana pemulihan STPDN telah ada sejak tahun 1999 (Kompas 20/9).
Menurut Dachnel, penanganan kasus-kasus STPDN berikut strategi pembenahan lembaga tersebut tidak ada bedanya dengan penataan lembaga-lembaga lainnya di lingkungan pemerintahan. Pijakan pemikirannya sarat nuansa politik karena mempertimbangkan aspek-apek nonteknis, termasuk penempatan pejabat.
"Padahal, sebagai lembaga akademis yang gagal menanamkan kultur akademis di kalangan peserta didiknya, reformasi STPDN hendaknya tidak terjebak pada paradigma birokrasi. Jangan terlalu mencari kajian-kajian yang relevan dengan duduk masalahnya," paparnya.
Dachnel Kamars menilai ada kecenderungan kasus STPDN dibiarkan mengambang termakan waktu sampai publik melupakannya. Nanti, setelah ada kasus penganiayaan lagi, kemudian orang-orang kembali tersentak memikirkan perlunya mereformasi STPDN.
Praktik penyiksaan di Kampus STPDN yang ditayangkan SCTV dalam dua hari terakhir juga mendapatkan reaksi keras dari masyarakat yang sempat menyaksikan tayangan itu. Tayangan tersebut menampilkan sejumlah praja STPDN dianiaya seniornya saat berlatih drum band. Dada, leher, dan perut mereka ditendang dan dihantam dengan kepalan tangan sekuat tenaga.
Reaksi masyarakat terhadap tindakan kekerasan seperti ditayangkan televisi swasta tersebut umumnya marah dan sedih.
Banyak warga meyakini, model pendidikan dengan membiasakan kekerasan seperti di STPDN itu hanya akan melahirkan pejabat pemerintahan yang juga suka main kekerasan sehingga tidak mempunyai moral dan hati nurani, apalagi rasa empati terhadap kesulitan yang dialami orang lain. Pejabat yang dilahirkan dari proses seperti itu tak akan pernah bisa menghayati kesulitan rakyat yang seharusnya mereka layani.
"Sebagai pembayar pajak, saya tidak rela uang saya dipakai untuk mendidik tukang-tukang pukul seperti itu. Saya juga tidak percaya pimpinan dan para pembimbing di STPDN tidak tahu adanya praktik-praktik seperti itu. Itu kebohongan mereka kepada publik yang harus dipertanggungjawabkan secara hukum," ujar seorang warga Jakarta yang sedang berlibur di Bandung.
Skandal penganiayaan senior terhadap yunior di STPDN menjadi perbincangan masyarakat di mana-mana, di sela-sela makan siang dan bekerja.
Kepala Polres Sumedang Ajun Komisaris Besar Yoyok Subagiono mengungkapkan, praja yang mereka tahan sebagai tersangka pelaku pembunuhan terhadap Wahyu Hidayat malah menyatakan yang ditayangkan di televisi itu belumlah apa-apa. "Yang sebenarnya lebih dari itu, Pak," kata praja tersebut seperti ditirukan Yoyok.
Gubernur Jawa Barat Danny Setiawan yang juga lulusan Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN, sekarang STPDN-Red) mengaku terkejut dengan tayangan kekerasan itu. Pasalnya, menurut Danny, ketika kuliah di APDN, ia tidak pernah mengalami tindakan kekerasan seperti yang dilakukan di Kampus STPDN sekarang.
Danny mengaku akan segera memanggil kontingen Jawa Barat dalam waktu dekat. Akan tetapi, ketika ditanyakan mengenai pemecatan Sutrisno sebagai Ketua STPDN, Danny menolak menjawab. "Itu tergantung Menteri Dalam Negeri," katanya singkat.
Kepala Polres Sumedang menegaskan, pihaknya akan segera mengungkap semua kasus kekerasan yang terjadi di STPDN. Meskipun penyelidikan terhadap kasus penganiayaan di STPDN masih terfokus pada kasus tewasnya Wahyu Hidayat dan cederanya Jurinata, Yoyok berjanji akan mengungkap kasus lainnya.
"Penyelidikan kasus ini berlaku surut. Bukan tidak mungkin nantinya dari kasus ini akan terungkap kasus-kasus lain," ungkapnya ketika dihubungi hari Senin.
Menurut dia, tayangan video mengenai kekerasan terhadap praja STPDN oleh SCTV dapat dijadikan sebagai petunjuk. Untuk itu, Yoyok mengaku pihaknya akan memanggil beberapa pembina STPDN, terutama di bidang pengasuhan.
Dia menambahkan, di STPDN banyak tradisi kekerasan yang terjadi. Tradisi itu tidak hanya terjadi saat penerimaan anggota baru drum band-seperti ditayangkan televisi tersebut-tetapi juga tradisi pembinaan antarkontingen.
Untuk memutus tradisi kekerasan itu, pihaknya segera melakukan penyelidikan. Bahkan, Ketua STPDN Sutrisno pun bisa menjadi tersangka. "Itu tergantung hasil penyelidikan kami selama ini," tambahnya.
Apa yang dijelaskan Kepala Polres Sumedang itu selaras dengan tuntutan banyak warga Bandung, yang juga menginginkan semua "borok" di STPDN dibuka saja.
Pada kesempatan terpisah, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) AM Fatwa mengatakan, semestinya Mendagri Hari Sabarno segera menarik atau memberhentikan sementara Sutrisno dari jabatannya sebagai Ketua STPDN. Pemberhentian itu untuk memberikan shock therapy dan menimbulkan kepercayaan rakyat kepada pemimpin.
"Kalau pemerintah melakukan tindakan tegas, rakyat kan semakin percaya bahwa kasus ini diungkap dengan tuntas. Tindakan riil yang harus dilakukan Mendagri adalah mencopot Ketua STPDN, kemudian melakukan pemeriksaan intensif," kata Fatwa seusai melakukan inspeksi mendadak di STPDN, Sabtu malam.
Dia juga menegaskan perlunya peninjauan ulang status STPDN. Sekolah tinggi ini, menurut Fatwa, sebaiknya disatukan dengan Institut Ilmu Pemerintahan (IIP). Selain itu, Fatwa beranggapan tidak dibutuhkan lagi sekolah-sekolah yang menghasilkan jabatan tertentu di pemerintahan.
Menanggapi hal itu, Pembantu Ketua III STPDN Burhanuddin Dalil mengatakan, sejak tahun 2001 pihaknya telah mempersiapkan penggabungan STPDN dengan IIP. Pihaknya, kata Burhanuddin, menganggap tidak ada masalah dengan penggabungan itu.
© Copyright 2024, All Rights Reserved