Mahkamah Konstitusi (MK) menyampaikan pernyataan terkait Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang kembali memasukkan pasal penghinaan terhadap Presiden. MK meminta pasal yang pernah dibatalkan tersebut tidak dimuat lagi dalam RKUHP.
"Dalam upaya pembaruan KUHP, MK menyatakan tidak boleh lagi ada norma-norma yang serupa dengan pasal 134, 136, 137 KUHP," terang juru bicara MK, Fajar Laksono, kepada pers di Gedung MK, Jakarta, Selasa (06/02).
Seperti diketahui, MK dalam putusannya telah membatalkan sejumlah pasal terkait penghinaan Presiden dalam UU KUHP saat ini, yakni pasal 134, pasal 136, dan pasal 137.
Meski demikian, pasal tersebut tetap akan sah sebagai sebuah produk legislasi jika DPR dan pemerintah tetap berkukuh memasukkannya dalam RKHUP.
Fajar berpendapat bakal ada masalah konstitusionalitas dalam pasal tersebut. "Jadi sudahlah, jauhi problem konstitusionalitas. MK sudah membuat rambu-rambu," ujar dia.
Dikatakan Fajar, masalah konstitusionalitas tersebut akan membuka peluang MK untuk kembali membatalkan pasal penghinaan Presiden jika ada pihak yang mengajukan gugatan uji materi ke MK.
Oleh karena itu, menurut Fajar, akan lebih baik jika pembuat undang-undang bisa mengikuti putusan MK dengan tidak menghidupkan kembali pasal penghinaan Presiden.
Saat ini, Panitia Kerja RKUHP di DPR tengah menggodok pasal penginaan kepala negara. Naskah awal dari Pemerintah mengakomodasi pasal yang pernah dibatalkan oleh MK tersebut.
Salah satu opsi dalam pembahasannya, menyematkan delik umum dalam pasal itu. Jika disahkan, penghina Presiden bisa diproses hukum tanpa perlu ada aduan dari kepala negara.
Sebelumnya, melalui putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006, MK pernah membatalkan pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden dalam KUHP. MK menilai, tiga pasal itu bisa menimbulkan ketidakpastian hukum karena tafsirnya yang rentan manipulasi.
© Copyright 2024, All Rights Reserved