Mahkamah Konstitusi menyatakan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, cacat prosedural dalam pembentukannya. Meski demikian, MK tidak membatalkan UU tersebut. Demi asas kemanfaatan hukum, UU tersebut dinyatakan tetap berlaku.
Demikian sebagian petikan amar putusan MK atas permohonan uji materi terhadap UU Nomor 3 Tahun 2009 dalam persidangan konstitusi, Rabu (16/06). Majelis Hakim Konstitusi pada sidang tersebut di ketuai Mahfud MD, yang juga Ketua Mahkamah Konstitusi.
Adapun, permohonan uji materi ini diajukan oleh Mantan Direktur LBH Jakarta Asfinawati, Ketua Harian Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia FH UI Hasril Hertanto, Koordinator ICW Danang Widoyoko, dan Direktur Pusat Kajian Anti (PuKAT) Korupsi FH UGM Zainal Arifin Mochtar.
Para pemohon meminta UU MA dibatalkan karena proses pembentukannya bertentangan dengan UUD 1945. Ada yang salah dengan prosedur pengambilan keputusan atas RUU itu dalam rapat paripurna DPR periode 2004-2009 yang dipimpin Ketua DPR Agung Laksono. Keputusan atas UU dinilai tidak sah, karena paripurna DPR tidak mencapai kuorum.
Seperti tertulis dalam nota permohonan, para pemohon menilai prinsip proses pembentukan UU yakni yaitu terbuka, transparan dan partisipatif telah dilanggar. Salah satu pelanggaran adalah persidangan paripurna dimulai padahal belum quorum. Dari perhitungan pemohon, anggota DPR yang hadir saat UU ini disahkan hanya berkisar 90-96 orang, sementara tatib mewajibkan minimal hadir 50% anggota DPR, atau sekitar 275 orang ditambah 1.
Contoh lainnya, putusan pengesahan tetap dilakukan oleh pimpinan sidang meskipun ada beberapa fraksi yang masih keberatan dan bahkan tidak menyetujui pengesahan UU tersebut. Seharusnya yang dilakukan, pembahasan dilanjutkan, jika masih tidak ada titik temu barulah diadakan voting.
Pada bagian konklusi, majelis hakim kosntitusi sependapat dengan pemohon bahwa proses pembentukan UU tersebut, telah melanggar peraturan tata tertib DPR Nomor 08/DPR RI/ 2005-2006. Majelis juga menegaskan, peraturan tatib DPR itu sangat penting dalam penentuan pernyataan persetujuan terhadap suatu Rancangan Undang-Undang (RUU).
Dikemukakan anggota hakim konstitusi Ahmad Fadhil Sumadi, adanya cacat prosedural yang ditemukan oleh MK, hendaknya dipahami sebagai bentuk koreksi terhadap proses pembuatan Undang-Undang. Namun, demi asas kemanfaatan hukum, UU MA tersebut tetap diberlakukan. Selain itu, MK berpendapat secara materiil UU itu tidak menimbulkan persoalan hukum. “UU ini sudah diterapkan dan kalau dibatalkan akan menimbulkan akibat hukum dalam sistem kelembagaan,” tambah Mahfud.
Atas dasar itu, MK menolak permohonan uji materi atas UU MA tersebut. "Mengadili, menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya," ujar Mahfud.
Sementara itu, kuasa hukum para pemohon, Taufik Basari, menilai ada ketidak-tegasan dalam putusan MK tersebut. Seharusnya, UU MA itu dinyatakan batal. "Kalau sudah cacat prosedural, seharusnya dinyatakan batal.”
Taufik berpendapat, dengan adanya putusan MK ini, menjadi kewajiban bagi DPR untuk menjelaskan kepada publik tentang proses pembuatan UU MA tersebut. “DPR seharusnya menggunakan putusan ini untuk menjelaskan kepada masyarakat tentang proses pembuatan UU MA ini,” ujar dia.
© Copyright 2024, All Rights Reserved