Masyarakat dan pemerintah di Indonesia harus mengupayakan pelurusan pengajaran sejarah etnis Tionghoa di Indonesia, sehingga terjadi pemahaman yang benar dan tepat bagaimana sebenarnya mereka datang ke Indonesia. Pendapat itu dilontarkan Benny G Setiono, penulis buku Tionghoa dalam Pusaran Politik, dalam peluncuran bukunya itu di Jakarta, akhir pekan lalu.
Ia mengingatkan, suku bangsa Tionghoa datang ke Indonesia tidak pernah berkeinginan untuk menjajah, apalagi menindas. Persepsi mengenai etnis Tionghoa tidak pernah lepas dari pengaruh budaya dan politik yang dijalankan penjajah Belanda. Pembantaian terhadap etnis Tionghoa bukan dimulai dari tahun 1965, tetapi sejak tahun 1740.
Pada acara peluncuran buku tersebut juga dilakukan bedah buku dengan pembicara Asvi Warman Adam, Didi Kwartanada, Mely G Tan dan Mohamad Sobary.
Menurut Benny, buku yang dia tulis bukanlah pembelaan diri bagi etnis tersebut. "Saya tidak bermaksud seperti itu. Saya hanya mau meluruskan sejarah bahwa orang Tionghoa berbeda dengan yang dipersepsikan selama ini. Saya juga tidak menutup mata bahwa ada beberapa yang tidak baik, tetapi itu bukan semua," katanya.
Dalam bukunya dia mempermasalahkan bila dikatakan Tionghoa bukanlah orang asli Indonesia. Menurut Benny, pengertian penduduk asli hanyalah masalah siapa yang tiba terlebih dulu di Indonesia. Buku setebal 1.000 halaman itu ia kerjakan selama tiga tahun dengan penelitian yang cermat menggunakan data sekunder.
"Sudah banyak orang yang meneliti, sehingga saya memilih untuk menulis dengan data sekunder. Itu sebabnya mengapa buku itu banyak catatan kaki," katanya.
Menurut Asvi Warman Adam, dalam sejarah tercatat beberapa kali etnis Tionghoa menjadi sasaran pembunuhan massal atau penjarahan.
"Pesan yang saya tangkap dari buku ini adalah sebelum kedatangan Belanda, hubungan etnis Tionghoa dan penduduk setempat berlangsung harmonis. Setelah Belanda masuk, kolonialis memanfaatkan etnis Tionghoa sebagai kepentingan ekonomi di tanah jajahan. Hal itu membuat citra kelompok tersebut di mata pribumi menjadi kurang sedap," katanya.
Mohamad Sobary menyatakan bahwa etnis Tionghoa di Indonesia mempunyai dua posisi sekaligus, powerful dan powerless. "Dalam sejarah tertentu mereka begitu kuat. Tetapi dalam konteks kepentingan politik, mereka sangat dipojokkan. Begitu ada ketegangan, pasti mereka menjadi sasaran," katanya.
Sobary melihat kehadiran Tionghoa di Indonesia tidak terlepas dari peradaban mereka yang lebih maju. Hanya dengan kemampuan yang tinggi mereka dapat melakukan perpindahan.
Sementara Didi Kwartanada menyebutkan kehadiran etnik Tionghoa di Indonesia sebagai minoritas perantara. Dalam masyarakat multietnis, terdapat kelompok-kelompok tertentu yang menduduki status perantara di antara kelompok dominan. Mereka melayani kelompok dominan dan subordinat, dan mengerjakan tugas-tugas ekonomis yang dianggap tidak bermartabat bagi mereka yang berada di elite kekuasaan.
Sementara pada masa-masa tegang mereka menjadi kambing hitam. "Tanpa memahami hakekat orang mereka sebagai etnis perantara, orang akan berpendapat bahwa mereka adalah oportunis. Sudah saatnya pendangan seperti itu dihapuskan," katanya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved