Islah dalam tubuh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), seperti apa yang diharapkan Kyai Langitan tampaknya hanya sebatas wacana. K.H.Hasyim Muzadi, Ketua PB NU akhirnya menyerah atas upayanya untuk mempertemukan kubu Matori dan Kubu Alwi Shibab.Kedua kubu ini saling ngotot dan berkeras diri.
Akhirnya, pentas politik nasional diwarnai pertarungan politik dua kubu yang mengklaim diri pemilik sah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Matori Abdul Djalil yang dipecat secara tidak demokratis oleh Ketua Dewan Syuro PKB Abdurrahman Wahid (Gus Dur), tengah mempersiapkan Muktamar PKB di Jakarta. Sementara kubu Alwi Shihab yang didukung Gus Dur akan mengadakan perhelatan yang sama di Yogykarta.
Langkah Matori memang mendapat tantangan yang maha berat. Penggebosan terhadap langkah Matori pun mulai bergulir. Antara lain tuduhan bermain politik uang dan memanfaatkan jabatan sebagai Menteri Pertahanan untuk mendukung Muktamar PKB di Jakarta tanggal 14-16 Januari mendatang.
Namun, berbagai manuver penggebosan ini tampaknya tak menyurutkan langkah Matori. Diakuinya, lebih baik dirinya mengalah dan membiarkan hujatan-hujatan itu. “Saya mencoba konsisten ke arah jalan yang benar.”
Sikap konsisten Matori untuk membangun suasana demokrasi tampaknya tak pernah surut. “Kita bertekad untuk membangun organisasi partai (PKB) sebagai partai yang demokratis Karena itu, jika kita menawarkan demokrasi, maka tidak bisa saban hari justru menginjak-injak demokrasi,” ungkap Matori.
Pernyataan yang cukup tegas ini, tampaknya sengaja diungkapkan Matori untuk mengingatkan perilaku lembaga Dewan Syuro PKB di bawah kendali Gus Dur yang memang sangat berkuasa, feodalistik dan bisa berbuat apa saja. Termasuk memecat Ketua Umum PKB tanpa memberikan kesempatan untuk membela diri.
Apa yang diingatkan Matori, tampaknya diamini oleh A.S Hikam, Ketua SC Muktamar PKB versi Gus Dur, sehingga Hikam bertekad untuk menggembosi kekuasaan Dewan Syuro pada Muktamar di Jogjakarta.
Kembali pada niat Matori yang ingin membangun institusi partai politik modern dalam kultur demokratis melalui Muktamar PKB tampaknya sudah di depan mata. Sebuah kerja politik yang maha berat, di tengah gempuran pendukung Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang berada di barisan PKB Alwi Shihab.
Sejak awal, komitmen untuk memperjuangkan tegaknya demokrasi dan menghancurkan kultur feodal di tubuh PKB (Dewan Syuro) memang menjadi pilihan politik Matori. Sekadar perbandingan, budaya feodal pernah begitu kuat melekat dalam tubuh Golkar (Dewan Pembina) dibawah kendali mantan Presiden Soeharto. Model kekuasaan seperti ini mensejajarkan secara negatif sosok Gus Dur dan Soeharto.
Lebih jauh lagi, perjalanan bangsa ini memberikan pelajaran yang mahal ketika praktek-praktek kultur feodalisme penguasa Orde Baru, secara sistemik menghancurkan budaya demokrasi dan nilai humanisme dalam masyarakat. Jika tak ingin mengulang sejarah buruk masa lalu, maka tak ada pilihan lain kecuali menghancurkan kultur feodalisme yang berakar di manapun. Partai politik, sebagai pilar demokrasi harus dijauhkan dari praktek budaya feodal yang menyesatkan kehidupan demokrasi.
Bila dicermati, komitmen memerangi budaya feodal dan menjujung tinggi nilai-nilai demokrasi itu juga yang mendekatkan Matori dengan Megawati Soekarnoputri, sebagai Ketua Umum PDIP, pemenang Pemilu 1999.
Sikap Matori ini cukup asing dan aneh di internal elite PKB yang ketika itu tengah dirayu dan condong ke poros tengah, yang mendorong Gus Dur tampil sebagai presiden.
Ketika itu, pilihan Matori lebih ke Megawati yang berlandaskan pada hak politik Megawati, dimana PDIP tampil sebagai pemenang pemilu yang sewajarnya diberikan kesempatan menjadi presiden.
Bahwa sikap politik Matori yang demikian ini, bagi Gus Dur maupun elite PKB tetap dianggap sebagai cacat politik, bahkan hingga ketika Gus Dur menjadi RI-1. Karena itulah, Matori dinistakan oleh kelompok Gus Dur.
Sisi lain menujukan renggangnya Matori-Gus Dur adalah kenyataan bahwa Matori termasuk petinggi PKB yang relatif tidak cawe-cawe disekitar kekuasaan Gus Dur. Sangat kontradiktif dengan orang-orang PKB lainnya.
Akibat sikap yang demikian, Matori sebagai Ketua PKB semakin dikucilkan bahkan ditinggalkan oleh rekan-rekannya di partai, termasuk oleh Gus Dur. Karena itulah Matori bersuara lantang ketika Gus Dur dijatuhkan melalui skandal Bulog. “Orang-orang yang dekat dan membisiki Gus Dur seharusnya yang paling bertanggung jawab atas kejatuhan Gus Dur.”
Apalagi mereka inilah bersama sejumlah “LSM kiri” yang mendorong agar Gus Dur mengeluarkan dekrit pembubaran parlemen, suatu senjata mematikan yang justru berbalik ke arah Gus Dur sendiri. Malah dengan tudingan bahwa dekrit tersebut melanggar haluan negara, maka MPR memiliki alasan untuk mempercepat kejatuhan Gus Dur. Dan untuk hal yang satu ini belum di follow-up, baik secara politik maupun hukum.
Atas dorongan dan desakan orang-orang di sekelilingnya ini pulalah Gus Dur sebagai Ketua Dewan Syuro memecat Matori sebagai Ketua PKB. Bagi Matori tiada lain kecuali orang-orang yang mendorong dekrit, mendorong pemecatan dirinya, yang harus bertanggung jawab atas kekisruhan PKB saat ini.
Perlawanan Matori dengan menyelenggarakan Muktamar adalah dampak kesalahan dari sebagian elite PKB yang dekat Gus Dur. Lewat Muktamar kali ini, semua kesalahan akan dibenahi secara konstitusional.
Nah, sebagai politikus yang matang dan memiliki jam terbang yang cukup, tentu Matori sangat menghitung langkahnya. Berdasarkan perhitungan yang matang dan tekadnya ingin membangun demokrasi itulah yang menghantarkan ajang Muktamar PKB di Jakarta kali ini.
Bagaimana masa depan PKB di 2004 nanti? Tentu sangat tergantung kepada hasil Muktamar. Bukan hasil keputusan Ketua Dewan Syuro yang feodalistik dan otoroiter itu.
© Copyright 2024, All Rights Reserved