Selain kelangkaan beras dan BBM (Bahan Bakar Minyak) di sejumlah daerah, pemerintah kembali mengundang masalah dengan para pengusaha melalui kebijakan UMP (Upah Minimum Propinsi). Bagaimana tidak pusing. Bagi pengusaha, tuntutan kenaikan upah dari buruh sangat menekan margin profit mereka yang sudah hampir-hampir tidak ada. Sedangkan bagi pemerintah, tuntutan kenaikan upah buruh menjadi pelor efektif untuk meminta mereka lengser keprabon.
Bola UMP ini mulai menggelinding. Tuntutan itu setidaknya sudah diteriakkan para buruh di Batam. Dibawah koordinasi Ketua Serikat Buruh Seluruh Indonesia (SBSI) Cabang Kota Batam Bambang Yulianto, mereka meminta agar Walikota Batam Nyat Kadir dan Kepala Dinas Tenaga Kerja (Kadisnaker) mundur saja. Alasannya, karena mereka berdua dianggap tidak peduli pada nasib buruh. Bahkan, para buruh itu juga meminta agar seluruh anggota DPRD Batam tidak tidur terus, tapi peduli dengan nasib mereka.
Aksi protes semacam itu dipicu karena rendahnya kenaikan UMP yang ditetapkan pemerintah daerah. Untuk upah buruh di Batam yang diputuskan naik 5 persen, dinilai tertalu kecil. Sehingga ini sangat tidak memuaskan bagi para buruh. Di Jakarta juga ada tuntutan serupa, yaitu datang dari kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang meminta agar upah buruh di ibukota tidak sebesar Rp590 ribu. Upah sebesar itu tidak cukup menghidupi para buruh. Karena kenaikan kebutuhan bahan pokok, transportasi, listrik maupun kebutuhan lainnya, sudah terlalu jauh meninggalkan mereka. Makanya, mereka minta agar agar pemerintah DKI Jakara menetapkan UMP sebesar Rp1 juta per bulan.
Nah, rasionalitas soal besarnya UMP memang sulit dicari. Jika berada di posisi buruh, tentu ingin mendapatkan UMP yang sebesar-besarnya. Alasan pembenarannya adalah adanya kenaikan berbagai harga yang terjadi selama ini, diantaranya akibat adanya kebijakan menaikkan BBM, Listrik,Telpon.
Sebenarnya, ada beberapa formula jalan tengah menghitung UMP. Seperti yang diusulkan bos Garudafood, Sudhamek AW. Menurutnya, kenaikan UMP itu harus diikuti dengan kenaikan insentif. Perbandingan antara upah dan insentif idealnya adalah 60 banding 40 persen. Sebab, jika nilai insentif terlalu kecil, itu akan dilecehkan oleh buruh.
Atau, bagi pengusaha yang benar-benar lagi berat di cash-flow perusahaan, bisa langsung memanfaatkan jalan pintas yang ditawarkan Menaker. Yaitu, membuat pernyataan tertulis tidak sanggup bayar upah sesuai dengan UMP, beres! Paling-paling urusannya setelah itu adalah negosiasi dengan “tim audit” yang terdiri dari Menaker, Apindo dan kalangan buruh. Tinggal pandai-pandailah pengusaha itu mengarahkan hasil akhir dari pertemuan dengan tiga pihak itu.
Kalau tarik ulur antara kepentingan pengusaha dan tuntutan upah buruh ini tidak dicarikan jalan tengah, bisa jadi ini akan jadi pemicu paling jitu untuk menggoyang pemerintah. Selain itu, tuntutan yang melebihi kemampuan itu akan menjadi alasan paling masuk akal bagi pengusaha untuk segera menggulung tikar. Apalagi bagi calon pengusaha baru, boro-boro mau berinvestasi, melirik saja sudah ogah. Makanya, kondisi suram inilah yang dijadikan salah satu pelor jitu untuk menggoyang pemerintah, baik di pusat ataupun di daerah.
Setelah gejolak demo soal upah buruh ini mengkristal di berbagai daerah, bola salju tinggal digelindingkan ke pusat. Maka, siap-siaplah Jakarta untuk menampung ribuan buruh yang tidak puas kerena keringat mereka dihargai terlalu murah. Jika itu terjadi, pemerintahan Mega boleh menghitung-hitung daya tahannya. Tentu ini bukan pilihan gampang. Tapi jika Mega salah pilih, lihat saja akibatnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved