Para aktivis gerakan feminisme di Indonesa tak pernah berhenti bergerak. Tak sekadar bicara soal perjuangan RA Kartini, kesetaraan dan memberi kesempatan yang sama pada perempuan, gerakan feminism di Indonesia kini semakin progresif.
Melalui acara Kartini Conference on Indonesia Feminism (KCIF) 2024, gerakan feminisme di Indonesia terus meluaskan area demi menciptakan ruang gerak yang lebih memiliki perspektif feminisme.
Tahun ini adalah tahun kedua penyelenggaraan KCIF. Seperti tahun sebelumnya, rangkaian acara diadakan secara daring dengan menghadirkan pembicara dari dalam dan luar negeri. Banyak harapan yang tertumpu melalui acara ini. Bagi pegiat isu feminisme, acara ini menjadi kesempatan untuk mengecek ulang sejauh mana gerakan feminism di Indonesia mampu memberi pengaruh dalam penentuan kebijakan negara yang harapannya, tentu saja, berpihak pada perempuan, anak dan kelompok minoritas.
Endah Lismartini dari politikindonesia.id mewawancarai Luviana Arianti, seorang penggagas KCIF dan pegiat isu-isu feminisme di Indonesia.
Ini kali kedua pelaksanaan Kartini Conference on Indonesian Feminisms. Apa latar belakang diadakannya acara ini?
Kartini Conference on Indonesian Feminisms (KCIF) 2024 ini memang yang kedua kalinya, setelah KCIF pertama pada tahun 2023. KCIF ini diadakan secara online, gratis dan dilaksanakan atas dasar kerja suka rela.
KCIF ini diadakan sebagai ruang pertemuan pemikiran tentang feminism untuk bertukar pengetahuan hasil riset dan kajian berbagai tema feminisme Indonesia, berbagi pengalaman advokasi, juga refleksi personal. KCIF 2024 dilaksanakan secara virtual melalui Zoom pada 24-30 Juni 2024 oleh A Consortium for Plural and Inclusive Indonesian Feminisms yang terdiri dari dua lembaga, yaitu LETSS Talk (Let’s Talk about SEX n SEXUALITIES) dan Konde.co.
Mengapa memilih tema tersebut dan terkait dengan oligarki nasional?
Jadi tema KCIF 2024 ini “Menguatkan Sinergi Kajian dan Aktivisme Feminisme Indonesia di Tengah Politik Oligarki Nasional dan Fasisme Global.” Tema ini dipilih dengan mempertimbangkan situasi sosial-politik, baik lokal, nasional, hingga global yang tidak selalu mendukung, bahkan bertentangan dengan, agenda-agenda feminisme.
Krisis kemanusiaan di Palestina, Ukraina, Rohingya, Uighur, Afghanistan, dengan korban terbanyak kelompok yang direntankan, seperti perempuan, anak, people with disability (warga disabilitas), minoritas gender dan seksual, dan kelas sosial-ekonomi bawah, menegaskan agenda feminisme untuk keadilan dan HAM yang tak pernah usai.
Di sisi lain, “politik feminisme” kontemporer menyebabkan gerakan feminisme bukan saja semakin memiliki banyak rupa, tapi memunculkan kontestasi dan konflik atas nama ideologi, sejarah, dan kepentingan politik, di kalangan feminisme sendiri. Akibatnya, untuk tragedi kemanusiaan paling tragis seperti Palestina, feminisme belum menampakkan satu visi dan misi yang solid, untuk melawan kolonialisme, rasisme, dan genosida.
Saat ini, apa yang menjadi isu besar bagi teman-teman pegiat isu feminisme?
Kita menyaksikan dan mengalami menguatnya oligarki nasional dan fasisme global yang menjadi ancaman kontemporer bagi kemanusiaan, keadilan, dan kebebasan. Perkembangan politik tersebut tidak mengarah pada tercapainya atau menguatnya tujuan yang diinginkan gerakan feminisme, seperti keadilan gender, kebebasan mengekspresikan identitas gender dan mengartikulasikan seksualitas, dan memperjuangkan ide-ide feminism.
Agenda-agenda “tradisional” feminisme, seperti hak asasi manusia, keadilan gender, inklusivitas pada keragaman gender, keragaman seksual, dan queer, keadilan reproduksi, keadilan iklim, jika tidak mendapatkan resistansi dan tantangan, tidak menjadi agenda populer bahkan sekadar menjadi subjek yang “nyaman” untuk disuarakan tanpa khawatir dibully (mengalami perundungan). Konservatisme agama dan budaya, ekstremisme politik, hinga depolitisasi digital politics menjadi sumber-sumber baru fenomena sosial-politik yang kontraproduktif dengan agenda feminisme.
Dalam politik global, atas nama gerakan anti-Woke, kelompok politik ekstrem Sayap Kanan (Right-Wing) dan Kanan Jauh (Far-Right) melakukan propaganda anti-transgender dan bahkan anti-gender.
Sepertinya ada kegelisahan tentang ruang politik yang sempit buat perempuan dan isu-isu feminism?
Pada Pemilu 2024 lalu, HAM, keadilan gender, keadilan reproduksi, keadilan iklim, dan agenda feminis lainnya sama sekali tidak menjadi faktor krusial dan determinan untuk memengaruhi proses pemilu agar menjadi proyek membangun ulang negara-bangsa yang lebih menghormati HAM dan memiliki political will kuat pada agenda-agenda feminisme. Sebaliknya, HAM dan agenda-agenda feminisme justru menjadi faktor marginal bahkan “menyusutkan” elektabilitas.
Jadi kami berkeinginan mengajak kita semua untuk berkontribusi membangun dunia yang lebih waras (sane), yang menekankan pada empati dan solidaritas. Politik elitisme berbasis oligarki dan fasisme menjadi ancaman gerakan feminisme dalam memperjuangkan keadilan di segala aspek kehidupan. Ketika para oligarkh, fasis, dan elit-feodal yang anti-feminisme go low dengan berbagai aksi diskriminatif, opresif, ofensif, rasis, seksis, homofobik, transfobik, queerfobik, misoginis, kita berusaha terus untuk go high dengan menebarkan empati, toleransi, inklusivitas, solidaritas, dan anti-kekerasan.
Di tengah situasi politik yang tak stabil, KCIF ini terus berjalan. Apa yang menjadi spirit untuk terus kuat?
KCIF 2024 dilaksanakan di tengah banyaknya kontradiksi, baik di Indonesia maupun di dunia internasional. Di Indonesia, Pemilu 2024 penuh nepotisme, implementasi UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dan aturan turunannya yang jalan di tempat, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) 20 tahun tak juga disahkan, dan Koalisi Penyiaran Indonesia (KPI) mengatur media penyiaran dan digital dan memberangus pers dan mendiskriminasi kelompok minoritas. Di dunia internasional, Israel menjarah tanah-tanah di Palestina.
Apakah kita akan kalah? Berhenti di tengah, atau menyerah? Kita pilih terus berjalan. Tapi, bagaimana tidak putus asa, jika ketika sedang berjuang untuk stop perubahan iklim, namun banyak manusia meninggal karena penguasa menjarah tanah-tanah, kontradiksi-kontradiksi ini berlangsung saat ini.
Apa saja yang ditawarkan dalam acara KCIF ini?
Dalam KCIF 2024 akan dipresentasikan berbagai hasil kajian, pengalaman advokasi dan pemberdayaan, dan refleksi personal feminisme dari akademisi, aktivis, jurnalis, peneliti, dan penyintas kekerasan berbasis gender. Para pembicara dan presenter akan memaparkan berbagai kajian feminisme melalui 45 topik diskusi, seperti penguatan sinergi feminisme antara akademisi dan aktivis, everyday feminism (feminisme keseharian) dan penguatan feminisme akar rumput, maskulinitas baru, migrasi perempuan dan perubahan relasi gender, care work, feminisme, etnisitas dan agama, hingga feminisme dan media di era digital, juga artificial intelligent (AI), dan lainnya.
Ada sederet pakar dan ahli dari dalam dan luar negeri yang kami undang untuk menjadi pembicara di acara ini. Ada Profesor dari Ohio University, Southern Utah University, New York University, Macquire Unicersity, juga Mahidol University dan Chulalongkorn University, Thailand. Direktur SEA Junction yang akan menjadi pembicara kunci. Dari Indonesia juga kami hadirkan pembicara dan peneliti dari berbagai kampus besar.
Dalam KCIF 2024 ini, juga akan ada diskusi buku hasil KCIF 2023 yang berjudul “Transformasi Feminisme Indonesia: Pluralitas, Inklusivitas, dan Interseksionalitas” hasil kerja sama LETSS Talk, Konde.co, Pusat Kajian Literasi Kesehatan dan Gender, London School of Public Relations (LSPR), dan LSPR Publishing. Sejak diluncurkan pada April 2024 lalu, buku setebal 506 halaman tersebut mendapat sambutan hangat dari berbagai kalangan.
Berapa jumlah peserta yang diharapkan hadir?
Sebanyak kurang lebih 1.500 orang kita harapkan akan mengikuti KCIF 2024 ini. Karena acaranya daring, jadi pesertanya tidak hanya berasal dari Indonesia, tapi juga dari beberapa negara lain, seperti Australia, Amerika, Inggris, Jerman, Bahrain, Belanda, Malaysia, Singapura, Korea Selatan, dan dari negara-negara lain.
Apa yang menjadi harapan aktivis feminisme dengan penyelenggaraan acara ini?
Kami berharap KCIF akan menginspirasi konektivitas lebih kuat antara kajian, penelitian, advokasi, dan pemberdayaan sebagai agenda feminisme Indonesia yang integratif. Kami juga berharap, beragam pengetahuan yang disirkulasi dan hasil-hasil penelitian dan kajian feminisme yang dipresentasikan dalam KCIF mendorong upaya-upaya advokasi dan pemberdayaan dalam masyarakat, termasuk di level lokal.
Sebaliknya, KCIF juga mendorong produksi pengetahuan berbasis advokasi dan pemberdayaan, yang banyak dilakukan organisasi-organisasi feminis di Indonesia. Salah satu ekspektasi kami dalam penyelenggaraan KCIF adalah kehadiran agenda berpengetahuan feminisme yang tidak eksklusif, tapi terbuka bagi semua elemen dan entitas feminisme Indonesia.
Kami juga berharap KCIF ini akan menekankan semangat volunterisme, kolaboratif, kolektif, inklusif, dan interseksional, yang aware pada pluralitas, marginalitas, “vulnerabilitas,” disabilitas, dan “invisibilitas.” Melalui KCIF ini kita berharap gagasan, ide, dan agenda feminisme semakin familiar dan populer, bukan dianggap asing apalagi menakutkan, termasuk di kalangan masyarakat umum. []
© Copyright 2024, All Rights Reserved