{Klop} lah sudah kemenangan F-PDIP mempecundangi fraksi-fraksi di DPR RI. Konsistensi sikap mengambangkan persoalan, yang bisa jadi akan melahirkan lebih banyak lagi amunisi guna menekan lawan politik, tampaknya kian berhasil dilakukan partainya Megawati Soekarnoputri. Proses berbelit-belit dan berkilah-kilah yang dibungkus melalui aktifitas hujan interupsi dan argumentasi telah ditunjukkan kader-kader PDIP pada Rapat Paripurna, Senin (18/03) guna menunda dibentuknya Pansus {Buloggate} II. Mengapa F-PDIP tak mau Pansus terbentuk?
Menafsirkan situasi keberhasilan F-PDIP itu, dalam bahasa Ketua F-KB Ali Masykur Musa agenda dan arahan Rapat Paripurna DPR telah diatur oleh Fraksi PDIP melalui Wakil Ketua DPR Soetardjo Soerjogoeritno yang menjadi pimpinan rapat. Ini tergambar dari sikap pimpinan sidang yang selalu memberikan peluang kepada anggota F-PDIP untuk berbicara sekaligus menentukan alternatif yang akan diambil.
“Dari awal saya sudah melihat adanya {setting} oleh Soetardjo selaku pimpinan sidang. Tentu saja itu atas instruksi PDIP,” ungkap Ali Masykur jengkel. Padahal, ungkap Ketua F-KB ini, agenda rapat paripurna itu hanya satu, yakni disetujui atau ditolaknya pembentukan Pansus Buloggate II yang kemudian berubah dalam beragam opsi. Sehingga Rapat menjalir {molor} selama 12 jam. Hal senada juga dikeluhkan Alvin Lie, anggota Fraksi Reformasi.
Ada niat apa sehingga F-PDIP begitu getol menunda terbentuknya Pansus {Buloggate} II yang akan “memeriksa” keterlibatan Ketua DPR Akbar Tanjung? Padahal F-PDIP, awalnya adalah fraksi yang begitu {ngotot}, selain F-KB untuk membentuk Pansus ini.
Dalam bahasa yang santun, bisa jadi dengan tertunda pembentukan Pansus ini, F-PDIP akan mendapatkan waktu lebih banyak untuk menekan proses hukum yang akan dilakukan di PN Jakarta Pusat. Tentu bila tidak sesuai dengan apa yang diinginkan kelompok partai politik yang sedang berkuasa ini.
Sebut saja, bila proses hukum di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, ternyata Akbar dinyatakan tidak bersalah, maka kartu untuk menyidangkan Akbar secara politik masih begitu terbuka. Bahkan bisa ditumpangi melalui rekayasa isu bahwa system peradilan masih berbau Orde Baru. Maka Pansus perlu dibentuk.
Sementara bila Akbar dinyatakan bersalah, maka F-PDIP dengan tersenyum akan mengatakan, bahwa partainya memang sejak awal ingin memperjuangkan supremasi hukum, bukan supremasi politik. Hukum harus menjadi panglima dalam mengatur pemerintahan. Untuk itu, Pansus tidak diperlukan lagi.
Nah, kedua langkah politik yang demikian, tidaklah begitu sulit dibaca para politisi diluar PDIP. Namun, satu hal, diluar kedua opsi tersebut yang tentu dipahami seluruh elit politik dan elit partai adalah, bahwa dari kedua momen Rapat Paripurna yang sudah digelar dewan, hasilnya adalah memenjarakan rakyat banyak kedalam jurang ketidakpastian. Buntutnya, citra partai menjadi terpuruk dimata konstituennya.
Kembali kesoal manfaat F-PDIP dari penundaan terbentuknya Pansus Buloggate II. Selama proses hukum terhadap Akbar Tanjung berjalan, maka ini merupakan kesempatan yang cukup panjang yang bisa dipergunakan untuk membunuh karakter Akbar secara pribadi dan Golkar secara organisasi. Lihat saja parade masyarakat yang pro dan kontra terhadap Pansus yang dipertontonkan di luar gedung DPR RI. Aksi-aksi sepihak yang mengatasnamakan beragam elemen masyarakat merupakan jembatan untuk menistakan lawan-lawan politik. Tergantung partai mana yang akan memanfaatkan.
Jadi, langkah politik Fraksi PDIP dan fraksi lainnya yang menggantung terbentuknya Pansus {Buloggate} II, benar-benar sebuah langkah politik yang jitu untuk membunuh karakter Golkar dan Akbar Tanjung. {Out put} dari langkah ini, benar-benar bisa menghancurkan citra Golkar sebagai sebuah partai. Sebab, dengan adanya pembunuhan karakter tersebut, dalam tubuh Golkar yang katanya {solid}, bisa segera menjadi cair. Salah satunya implikasi dari kondisi yang seperti ini adalah Partai Golkar akan meninggalkan sang Ketua Umum Akbar Tanjung. Lantas Akbar pun akan ditinggalkan kongsi-kongsinya di DPR RI.
Bila sudah demikian, tentu lawan politik di tahun 2004 akan semakin lemah. Sebab, untuk melakukan konsolidasi bagi sebuah Partai sebesar Golkar bukanlah pekerjaan yang mudah.
Langkah (taktis? ) yang dilakukan F-PDIP dengan menggantung terbentuknya Pansus Buloggate benar-benar menemukan muaranya. Melalui penunggangan terhadap tema penegakan supremasi hukum—seperti yang dicanangkan Partai Golkar, fraksi partai banteng gemuk dalam lingkaran bulat ini melepaskan bola panas kepada Kejaksaan Agung dan sudah bermuara di PN Jakarta Pusat. Seperti yang memang diharapkan.
Dengan memutar jurus menunda terbentuknya Pansus, maka bola panas PDIP itu membuat politisi Golkar {dongkol}. “ Langkah PDIP ini merupakan langkah memenjarakan Golkar secara psikologis untuk kepentingan PDIP. Mereka (PDIP) sengaja memainkan emosi massa untuk kepentingan politik strategis 2004,” ungkap Akil Mochtar, anggota F-PG DPR RI.
Nah, diluar implikasi memenjarakan Golkar dan Akbar, tentu ada alasan lain yang bisa di{telisik}, kenapa F-PDIP begitu ngotot dan memainkan beragam cara agar Pansus Bulaggate II dalam dua kesempatan Rapat Paripurna tidak terbentuk?
Ini yang menarik dan bisa jadi sengaja diselimuti oleh beragam pihak (diluar Golkar dan PKB). Bila Pansus {Buloggate} II terbentuk, itu sama artinya membuka tutup kotak {Pandora}. Pansus akan segera membahas seluruh tali temali yang dilakukan elit-elit partai dalam konteks dana non-bujeter Bulog lainnya. Dan ini akan mencemari seluruh tokoh partai yang ada.
Peluru untuk itu sudah ada. Bisa dibayangkan, bagaimana seorang K.H Abdurrahman Wahid akan membeberkan seluruh pengetahuannya ketika dipanggil Pansus Buloggate tentang keterlibatan partai-partai lainnya dalam memanfaatkan dana Bulog yang kerannya dibuka B.J Habibie melalui Kabulog Rahardi Ramelan. Dan Gus Dur yang mantan presiden itu sudah berucap, bahwa ia memiliki bukti tertulis tentang hal tersebut.
Setelah Gus Dur yang dijatuhkan dari kursi kepersidenan oleh Pansus {Buloggate} I didengar keterangannya, tentu untuk mengklarifikasi keterangan itu, Pansus akan memanggil Hamzah Haz, Megawati Soekarnoputri, Taufik Kiemas, Matori Abdul Djalil, Yusril Ihza Mahendra, Amien Rais, tentu dalam kapasitas mereka sebagai fungsionaris partai politik.
Nah, bisa dibayangkan, bila semua ini terjadi, republik ini akan terpenjara oleh elit politik dan elit partai. Dan tentunya, bola liar yang bisa tercipta dari hadirnya Pansus Buloggate II inilah yang ditakutkan oleh PDIP. Bila Pansus tidak ditahan oleh F-PDIP, maka negara ini akan menjadi republik tersangka, bila tidak secara hukum, tentu terminologinya akan secara politik. Dan inilah sebuah skenario bermain politik. Menunggangi kelemahan lawan, guna menutupi kelemahan diri sendiri.
Yang pasti, ke depan, rakyat yang kebanyakan dan berperan menjadikan para elit politik dan elit pemerintahan di negara tercinta saat ini, akan kian menuai badai ketidakpastian dalam menapaki sebuah kehidupan. {Konyol} kan jadi rakyat?
© Copyright 2024, All Rights Reserved