Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Ryamizard Ryacudu mengatakan, intelijen militer seharusnya berada di depan dalam melawan terorisme, karena tindak pidana ini menyangkut masalah pertahanan yang mengancam kepentingan nasional. Namun demikian karena tidak mungkin ditangani oleh satu pihak saja, maka penanganannya tetap merupakan tanggung jawab semua komponen bangsa, termasuk di dalamnya Kepolisian, TNI dan Kejaksaan.
"Karenanya harus ada penanganan bersama dalam menangani terorisme supaya kasus seperti peledakan bom tidak terulang kembali," kata Jenderal Ryamizard Ryacudu kepada wartawan seusai membuka Latihan Raiders bagi perwira tinggi TNI AD di Pusat Pendidikan Tempur Khusus Kopassus Bandung, Rabu (20/8).
Menurut Ryamizard, tidak mungkin hanya aparat kepolisian yang menangani masalah terorisme, karena itu harus ada pengaturan yang fleksibel tentang siapa yang bertugas di lini terdepan dan siapa yang mendukungnya dalam melawan terorisme.
Sebagai contoh, dalam penyelidikan kasus bom Hotel JW Marriott awal Agustus lalu, Polri memang bertanggung jawab untuk melakukan penyelidikan, namun tetap membutuhkan bantuan pihak luar. Dalam bagian inilah KSAD berharap akan adanya usaha bersama agar kasus serupa tidak terulang lagi.
Dia menyebutkan, penggunaan kemampuan teritorial TNI AD merupakan langkah efektif guna mengatasi aksi teror. Israel, meski memiliki perlengkapan perang yang canggih, namun tetap menggunakan kekuatan teritorial. Dalam kaitan dengan hal itu, menurut KSAD, satuan anti teror milik Indonesia yang hanya ada di Kopassus, penggunaannya sudah perlu untuk dikoordinasikan.
Dalam rangka meningkatkan kemampuan intelijen TNI AD, saat ini di tingkat Korem telah ada pleton intelijen, sedangkan di tingkat Kodam ada Departemen Intelijen yang jumlahnya sekitar satu batalyon. Intelijen TNI sejak 58 tahun terakhir sebenarnya sudah berjalan bagus karena dapat menemukan hal-hal yang seharusnya ditemukan oleh intelijen.
Sementara itu, berkaitan dengan revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme-khususnya Pasal 26 tentang penyidikan menggunakan laporan intelijen.
Hal itu sama sekali tidak akan memperbesar wewenang intelijen seperti yang dikhawatirkan sejumlah pihak. Yang akan dilakukan lebih pada penajaman pada masalah laporan intelijen.
"Karena masih ada anggapan bahwa selama ini laporan intelijen tidak diperlukan, tetapi setelah terjadi kasus Marriott, maka intelijen dikecam," ujar Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Abdulgani Abdullah, Selasa (19/8), di Jakarta.
Oleh karena itu, kata Abdulgani, dalam revisi UU tersebut akan dipertajam laporan intelijen dengan jalan menambah klausul dalam Pasal 26 Ayat (1), yaitu "Penyidik untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup, ditambah untuk dimulainya penyidikan, dapat menggunakan laporan setiap intelijen". Sebelumnya, dalam pasal tersebut hanya disebutkan, "Untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat menggunakan setiap laporan intelijen".
Ditegaskan oleh Abdulgani, "Jadi klausul itu ditambah, dan tidak menambah kewenangan intelijen untuk melakukan penangkapan yang lain. Tetapi malah menambahkan bahwa laporan intelijen yang dimaksud harus diotentikasi oleh Kepala Polri, setelah itu baru disampaikan ke pengadilan negeri untuk diputuskan apakah bisa menjadi laporan atau tidak," ujarnya.
Abdulgani meminta masyarakat untuk tidak perlu khawatir karena revisi UU tersebut tidak akan bisa memperbesar kewenangan intelijen untuk melakukan hal yang besar seperti penangkapan atau penahanan. "Tidak perlu khawatir, tidak ada kewenangan baru bagi intelijen untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Tidak ada," katanya.
Ia juga mengakui, proses revisi terhadap UU No 15/2003 memakan waktu yang cukup panjan. Namun, ia menyatakan, akhir September 2003 revisi tersebut sudah selesai dan akan diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Pada hari yang sama Koordinator Badan Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Usman Hamid meminta kepada pemerintah agar tidak memperbesar kewenangan intelijen. Yang perlu dilakukan adalah melakukan evaluasi atas kerja intelijen dan kepolisian yang kerap tidak terkoordinasi dengan baik.
"Harus tetap diwaspadai upaya melakukan revisi atas UU No 15/2003 yang tetap membawa esensi penerapan ISA (Internal Security Act) dengan memperbesar kewenangan intelijen, dalam hal ini BIN (Badan Intelijen Negara) menjadi aktor penegak hukum," ujar Usman, kemarin.
Karena kelemahan pelaksanaan UU No 15/2003 itu terletak pada koordinasi aparat intelijen BIN dengan polisi sebagai aparat penegakan hukum, penambahan kewenangan kepada intelijen tidak sedikit pun akan mengurangi potensi ancaman kekerasan melalui aksi terorisme.
"Fungsi yudisial yang dimiliki kepolisian tidak dapat begitu saja diambil alih oleh intelijen karena lemahnya koordinasi di antara kedua lembaga itu," tegasnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved