Memasuki Pemilu Presiden 2014, kita menyaksikan proses transisi dan pergantian kepemimpinan nasional yang akan menggantikan pemerintahan SBY yang telah memerintah selama 2 periode berturut-turut.
Selama kepemimpinannya SBY, telah dicapai stabilits ekonomi, keamanan dalam negeri, dan politik kawasan. Selain itu, dalam konstelasi politik regional dan internasional, SBY berhasil mengangkat peran Indonesia dalam percaturan politik global. Baik kepemimpinan pada APEC, ASEAN, G20, dan WCF.
Keberhasilan ini, tidak terlepas dari kepiawaian SBY dalam mengelola Indonesia menjadi keseimbangan baru dalam percaturan politik global, terutama dalam politik kawasan.
Transisi kepemimpinan nasional yang tidak lama lagi akan dilakukan melalui pemilihan presiden pada 9 Juli yang akan datang, tentu memberikan catatan tersendiri bagi siapapun presiden yang terpilih nantinya. Selain mempertahankan kestabilan ekonomi, keamanan dalam negeri, juga membangun dan mengembangan positioning Indonesia dalam konstelasi politik kawasan, baik itu regional maupun global, sebagaimana telah dicapai SBY.
Presiden terpilih nanti, harus memiliki kapasitas dan kemampuan yang setidaknya sama atau bahkan mampu melebihi capaian yang telah dilakukan SBY, 10 tahun terakhir.
Kapasitas Presiden terpilih, akan menjadi simbol kepemimpinan baru Indonesia yang harus diperhitungkan dalam percaturan politik global. Indonesia bukan hanya negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, tapi juga pusat kawasan, dimana negara-negara industri baru tumbuh di kawasan Asia Pasifik.
Positioning ini, menjadikan Indonesia sebagai negara paling strategis di dunia, terutama dalam pengembangan pusat ekonomi dunia yang saat ini sedang bertransformasi.
Tentu, proses transisi kepemimpinan di Indonesia ini akan menjadi perhatian pemain utama politik kawasan Asia Pasifik, seperti halnya Jepang, Tiongkok, Korsel, Singapura, Thailand, Myanmar, Malaysia, dan lainnya. Selain tentu, ada Amerika Serikat dan Australia yang akan mengambil posisi.
Maka dari itu, para calon presiden yang bertarung pada Pilpres 2014, perlu memainkan isu politik kawasan sebagai upaya mempertahankan positioning yang sudah dicapai Indonesia saat ini. Hal ini juga penting untuk membangun isu strategis nasional yang berdampak pada terbangunnya kepercayaan diri bangsa Indonesia yang lebih besar untuk berkontribusi dalam proses pembangunan yang dipimpin pemerintahan baru nantinya.
Ada beberapa isu politik kawasan, khususnya ASEAN mengemuka seiring dengan terjadinya transisi berturut-turut di Asia Pasifik. Para pemimpin baru pun menghadapi tantangan baru. Isu utama di wilayah ini adalah batas waktu penerapan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 yang semakin dekat.
Pemerintahan baru mendatang, harus segera membuat kebijakan-kebijakan strategis untuk menyiapkan diri agar bangsa Indonesia mampu dan siap mengantisipasi dan terlibat seoptimal mungkin dalam MEA. Selain itu, pemerintah juga harus meningkatkan kapasitas dan kemampuan kabinetnya untuk menyiapkan masyarakat Indonesia mampu memasuki “pertarungan baru” di wilayah Asia Tenggara.
Langkah strategis yang akan dijalankan pemerintahan baru nantinya, harus mendorong integrasi dan koordinasi agar terbangunnya komunikasi sesama masyarakat ASEAN. Walaupun tetap mewaspadai perkembangan terkini di kawasan Asia Pasifik, karena hal tersebut akan berpengaruh pada upaya maksud dan tujuan tercapainya MEA 2015.
Isu lain yang perlu diwaspadai pemerintahan mendatang adalah perseteruan di wilayah Laut China Selatan yang telah melibatkan Tiongkok, Taiwan, Vietnam, dan beberapa negara ASEAN lainnya.
Boleh jadi, perseteruan batas wilayah ini, jika tidak dilakukan terobosan yang berarti oleh negara-negara yang bersengketa, diyakini tidak akan mengalami perkembangan penyelesaian yang signifikan dan akan menjadi perseteruan jangka yang panjang.
Dalam hal ini, presiden terpilih Indonesia perlu memiliki kemampuan dan kapasitas untuk mengantisipasi agar Indonesia mampu mengambil peran dalam mengupayakan penyelesaian sengketa teritorial itu.
Indonesia perlu mengambil inisiatif. Upaya ini diperlukan untuk mengantisipasi dan melindungi agar tujuan MEA tidak terganggu oleh konflik Laut China Selatan itu.
Di sisi lain, kita harus mewaspadai peran Australia yang menjadi jangkar utama AS di kawasan Asia Pasifik. Sebagaimana diketahui AS menjadikan Asia Pasifik sebagai poros baru kebijakan politik luar negeri mereka. Kehadiran pangkalan AS di Darwin menunjukkan betapa Australia memegang peranan penting dalam politik kawasan Asia Pasifik bagi AS.
Konstelasi dan pergerakan pasukan AS di kawasan Asia Pasifik, tentu tidak terlepas dari kepentingan politik jangka panjangnya.
Tidak terkecuali dalam pilpres dan transisi kepemimpinan nasional Indonesia, 9 Juli mendatang. Presiden terpilih perlu sejak dini mempersiapkan strategi politik luar negeri bebas aktif seperti apa yang dapat mengantisipasi konstelasi politik kawasan Asia Pasifik.
Selain itu, posisi Tiongkok yang mulai merasa terganggu atas keberadaannya AS perlu dimanfaatkan dalam kerangka membangun strategi politik luar negeri kita. Walaupun tampaknya sejauh ini kedua negara tersebut tidak menunjukkan sikap reaksioner -paling tidak di permukaan - kita tahu dalam hubungan internasional, reaksi dan intensi seringkali sama-sama samar dan tak bisa ditebaknya. Namun percayalah, Tiongkok tentu melakukan langkah-langkah strategis untuk mengambil posisioning politik kawasan Asia Pasifik.
Pada akhirnya, dinamika politik berbagai negara yang berkepentingan di kawasan Asia Pasifik, ada satu hal yang bisa dipastikan memiliki kepentingan yang sama, yakni stabilitas. Hal ini berangkat dari kebutuhan negara-negara tersebut untuk menghindari perkembangan situasi yang bisa mengganggu upaya mereka mendorong poros baru pusat pertumbuhan ekonomi global, kawasan Asia Pasifik.
Kawasan Asia Pasifik telah menjadi pusat pertumbuhan baru ekonomi global. Kestabilan politik kawasan Asia Pasifik, sama hal dengan keberhasilan pengembangan ekonomi baru global. Oleh karenanya, meski sepanjang sejarahnya penuh dengan perseteruan dan pertarungan ideologi ini, pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia Pasifik akan menjadi pemersatu.
Persoalan lainnya adalah sejauh manakah para calon presiden yang bertarung pada pilpres 2014 memiliki kemampuan memimpin untuk meningkatkan peran penting Indonesia dalam kestabilan politik dan keamanan kawasan Asia Pasifik?
Program quick-win seperti apa dalam mempersiapkan keunggulan-keunggulan dalam negeri untuk bertarung dalam MEA dan memenangkan persaingan ekonomi di kawasan Asia Pasifik?
Dalam hal ini tentu, kita membutuhkan Presiden yang tidak sekedar memiliki kemampuan lapangan, namun juga memiliki wawasan bernegara dan pemahaman geopolitik yang mumpuni. Selain tentunya memiliki kesetiaan dan berpegang teguh pada janjinya, serta teruji sebagai pembela rakyat dan negara Indonesia.
Di sinilah, betapa peran penting masyarakat dalam pilpres ini akan menentukan Presiden yang akan memimpin 250 juta penduduk ini. Diperlukan kecerdasan dan objektifitas masyarakat dalam memilih.
Kita meyakini, bahwa Presiden terpilih nanti, adalah satu-satunya pemimpin yang mampu membawa Indonesia bangkit menjadi satu negara kepulauan terbesar yang mensejahterakan rakyat, tangguh, berwibawa, dan disegani dalam percaturan politik global.
Erick Ridzky, Pengamat, IA-GAMAIS ITB
© Copyright 2024, All Rights Reserved