Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) diminta belajar dari Malaysia dan Vietnam dalam menyusun regulasi perikanan, khususnya budidaya kerapu. Kedua negara tersebut dianggap sudah berhasil mengembangkan budidaya kerapu dengan kapasitas yang lebih besar dari Indonesia. Regulasi yang dibuat pemerintah menjadikan usaha budidaya lebih kondusif.
Pendapat itu disampaikan Sekjen Asosiasi Budidaya Ikan Laut Indonesia (ABILINDO) Wajan Sudja kepada politikindonesia.com di Jakarta, Rabu (11/05).
“Malaysia dan Vietnam tidak membatasi akses kapal buyers ikan kerapu hidup dari Hong Kong, tidak juga mewajibkan memiliki Surat Izin Kapal Penangkapan Ikan (SIKPI)," ujar dia.
Kapal buyers ikan kerapu hidup di Malaysia dan Vietnam justru diberi kemudahan pelayanan dokumen-dokumen ekspor dan diperlakukan seperti halnya kapal cargo yang tunduk pada UU pelayaran. Selain itu, tidak diperlakukan sebagai kapal ikan karena tidak dilengkapi dengan alat tangkap ikan.
Bahkan, kedua negara itu memberikan intensif berupa tax holiday (bebas pajak) dan bantuan fasilitas prasarana pembenihan, perizinan dan proteksi terhadap warganya yang membudidayakan ikan.
“Tak heran, kalau usaha budidaya ikan kerapu di sana berkembang pesat. Kapasitas produksinya 30 kali lebih besar dari budidaya ikan kerapu di Indonesia.”
Bukan itu saja, harga beli ikan kerapu hidup di negara tersebut lebih mahal hingga 25 persen dari di Indonesia. “Hal itu karena biaya yang menjadi beban kapal buyers jauh lebih rendah dari di Indonesia," ujarnya.
Wajan berpandangan, kurang berkembangnya budidaya kerapu di Indonesia karena sejumlah kebijakan yang dikeluarkan KKP bertentangan dengan janji Presiden Joko Widodo yang akan memperjuangkan kesejahteraan nelayan dan keluarganya di seluruh Indonesia. Salah satunya, keberadaan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 15/ PERMEN-KP/2016 tentang Kapal Pengangkut Ikan Hidup.
“Beleid anyar ini sangat menghambat ekspor ikan kerapu. Jika kebijakan itu masih terus dilanjutkan, maka pasar ikan kerapu di Indonesia akan hilang dan devisa akan mengalir ke Malaysia dan Vietnam yang selama ini menjadi pesaing kita. Padahal bibit kerapu yang mereka dapat hingga saat ini masih dari Indonesia," ujarnya.
Wajan meyakini, kerapu mampu menjadi komoditas unggulan yang sukses dibudidayakan di Indonesia. Daerah penangkapan, pengumpulan dan budidaya kerapu di antaranya berada di wilayah Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Sumatera Barat, Lampung, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Timur, Sulawesi hingga Papua Barat.
"Jenis kerapu yang dibudidaya adalah kerapu bebek, macan dan sunu. Budidaya kerapu telah menghidupi 100.000 kepala keluarga (KK) di berbagai daerah di Indonesia, terutama di pesisir Bali. Hampir 95 persen budidaya kerapu Indonesia diekspor ke Hongkong dan Tiongkok. Semua kegiatan produksi hingga transaksi dilakukan dengan mata yang rupiah. Sehingga devisa yang bisa diraup mencapai US$70 juta," tegasnya.
Sementara itu, Dirjen Perikanan Budidaya KKP, Slamet Soebjakto menambahkan, dalam Permen KP Nomor 15/2016, pihaknya memang resmi melarang kapal-kapal asing tanpa izin masuk dan singgah di perairan Indonesia. Kapal-kapal tersebut hanya boleh berlabuh di satu tempat dan dilarang berpindah-pindah. Pihaknya hanya memperbolehkan kapal-kapal Indonesia yang menjelajah perairan Indonesia.
"Kalau kapal asing itu masuk di Kendari, tidak boleh berlayar kemana-mana lagi. Kapal asing itu juga harus keluar dari Kendari. Sedangkan kapal lokal akan bertugas mengalihkan angkutan ke kapal-kapal asing yang sedang bersandar di 160 titik check point area yang tersebar di Lampung, Belitung dan Belawan untuk wilayah barat. Untuk timur ada di Ambon, Tual dan Kendari. Di luar wilayah itu, kami masih melakukan kompromi," ucapnya.
Saat ini, ujar Slamet, Indonesia memiliki 28 kapal pengangkut ikan. Sebanyak 12 kapal di antaranya berbendera asing yang SIKPI-nya sudah dibekukan per 1 Februari 2015. Karena sebanyak 16 kapal pengangkut berbendera Indonesia belum mumpuni.
"Seharusnya, kita sudah mampu membuat kapal 30 GT yang dapat mengangkut ikan hasil budidaya hingga 6 ton. Hanya saja, kapasitasnya memang masih kalah dengan kapal berbedera Hongkong 300 GT yang mampun mengangkut ikan hasil budidaya hingga 20 ton. Bahkan bisa langsung melakukan ekspor," pungkasnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved