Sejumlah tokoh eks Timor Timur rencananya Minggu 17 Juli akan mengadakan ‘misa requiem’ (misa arwah) di Atambua, Kabupaten Belu, NTT. Namun rencana tersebut ditolak pihak Polri dan TNI, alasannya Kabupaten Balu belum kondusif dan dapat menimbulkan kerusuhan. Polri hanya mengijinkan acara tersebut bila berlangsung di Kupang, Ibukota Provinsi NTT.
Walau acara tersebut dikemas dalam ‘misa requiem’ namun pihak keamanan berkeyakinan bahwa acara tersebut merupakan silaturahmi nasional tokoh-tokoh eks Timor Timur. Karena tokoh yang akan hadir antara lain, mantan Gubernur Timor Timur Abilio Jose Osorio Soares, Armindo Mariano Soares dan Eurico Guterres.
Penolakan acara silaturahmi nasional di Atambua datang langsung dari Kapolda Nusa Tenggara Timur (NTT), Brigjen Pol Edward Aritonang dan Pangdamg IX/Udayana Mayjen TNI Herry Tjahjana. "Atambua, ibukota Kabupaten Belu tidak kondusif bagi pelaksanaan silaturahmi nasional. Jika hanya misa requiem (misa arwah), kami minta agar pelaksanaannya di Kupang saja, karena pemerintahan Bupati Belu Joachim Lopez juga menolak acara tersebut berlangsung di wilayahnya," kata Brigjen Aritonang.
Sedangkan, Mayjen TNI Herry Tjahjana kepada wartawan membenarkan bahwa dirinya pernah didatangi oleh Eurico Gueterres untuk mendukung silaturahmi tersebut. Namun Herry menolak acara yang sarat politis itu dan menyatakan bahwa wewenang untuk memberikan izin tersebut ada di Polri.
"Saya tidak memiliki kapasitas untuk mengizinkan pertemuan berkedok misa requiem itu, karena hal itu merupakan kewenangan Polri. Dan saya pada prinsipnya menolak pertemuan yang sarat muatan politis itu," tegas Herry.
Acara ‘misa requiem’ di Atambua tanggal 17 Juli itu bukan berarti tidak menggunakan prosedur untuk memperoleh izin. Surat permohonan untuk acara tersebut sudah dikirim panitia ke Kapolda NTT. Namun, permohonan tersebut disarankan tidak diadakan di Atambua tapi di Kupang saja agar keamanan lebih terjamin.
"Saya akan mengeluarkan izin jika pelaksanaan misa requiem dialihkan ke Kupang. Situasi Atambua belum terlalu kondusif untuk penyelenggaraan kegiatan semacam itu," saran Brigjen Aritonang kepada panitia acara.
Bahkan Pangdam Udayana minta agar Kapolda NTT bertindak tegas terhadap siapa pun yang tetap melaksanakan acara tersebut. "Kami tidak mau hubungan persahabatan antara Indonesia dan Timor Timur terganggu hanya karena ulah satu dua orang yang mencari popularitas pribadi melalui silaturahmi berkedok misa requiem itu," tegas Pangdam.
Penolakan secara tegas juga datang dari Komandan Kodim Belu, Letkol Inf. Yulius Wijayanto, yang berjanji bahwa pihaknya tidak akan mentolerir siapa pun yang nekat melaksanakan kegiatan itu pada 17 Juli mendatang. "Mayoritas tokoh eks Timor Timur yang ada di Indonesia seperti Joao da Silva Tavares (mantan Panglima PPI Timtim) menentang keras pertemuan itu, karena hanya memuat kepentingan politik segelintir orang saja," ungkap Yulius.
Kerasnya penolakan acara tersebut oleh pihak keamanan Indonesia karena beberapa alasan. Pertama, sudah sering terjadi kerusuhan baik sekala sedang maupun kecil yang terjadi di Atambua yang dilakukan oleh pengungsi eks Timor Timur. Kedua, maraknya lintas batas antar negara (Indonesia-Timor Leste) yang sebagian besar karena faktor ekonomi yaitu penyelundupan.
Ketiga, seringnya terjadi ketegangan antara pihak keamanan di perbatasan, terutama TNI dengan tentara Timor Leste karena belum jelasnya batas kedua negara. Ketegangan terakhir yang terjadi adalah gugurnya seorang TNI di perbatasan karena ditembak oleh tentara Timor Leste.
Keempat, menyangkut penolakan Pemerintah RI terhadap Komisi HAM Internasional untuk membuka kembali kejahatan HAM pada saat referendum di Timor Timur. Pihak keamanan Indonesia tidak mau acara ‘misa requiem’ tersebut menambah persoalan baru terhadap hubungan Indonesia-Timor Leste. Seperti sudah diketahui bahwa hubungan Indonesia-Timor Leste saat ini dalam kondisi yang cukup baik karena saling pengertian antara kedua negara.
© Copyright 2024, All Rights Reserved