Penunjukan mantan Panglima Komando Daerah Militer (Kodam) Jakarta Raya tahun (1997-1998) Mayor Jenderal Sjafrie Sjamsoeddin sebagai Kepala Pusat Penerangan (Puspen) Tentara Nasional Indonesia (TNI)-yang berarti menjadi juru bicara (jubir) militer-sangat mengejutkan, di tengah upaya TNI memperbaiki citranya.
Seperti dilansir Kompas, Senin (18/02/2002), pandangan itu disampaikan Direktur Eksekutif {Research Institute for Democracy and Peace} (Ridep) M Riefqi Muna dan anggota Komisi I DPR Djoko Susilo. Keduanya tidak meragukan kemampuan Sjafrie sebagai juru bicara TNI, namun penunjukan Sjafrie akan dipertanyakan banyak orang.
"Banyak pihak terkejut dengan penunjukan Pak Sjafrie ini karena posisi juru bicara militer itu penting. Kenapa, kok, orang yang menjadi sorotan justru menduduki jabatan yang berhadapan dengan publik," kata Riefqi.
Anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Djoko Susilo (Fraksi Reformasi) berpendapat senada. "Saya tidak meragukan kapabilitas Pak Sjafrie dalam jabatan itu, tetapi juru bicara yang merupakan jabatan strategis itu kan seperti wajah dari institusi yang diwakilinya. Kalau Pak Sjafrie diduga terkait dengan kerusuhan Mei yang masih belum tuntas, bagaimana ia harus menjadi juru bicara dari TNI? Saya kecewa," ujar Djoko.
Menurut catatan Kompas, ketika Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin menjabat Panglima Kodam Jaya, terjadi dua kasus besar, yaitu kerusuhan Mei 1998 dan kasus Trisakti. Untuk kasus Trisakti saat ini sedang ditangani Komisi Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi Manusia (KPP HAM), di mana sedang terjadi tarik-menarik antara KPP HAM dan Mabes TNI soal pemanggilan jenderal-jenderal, termasuk Sjafrie Sjamsoeddin. Pada tahun lalu, Sjafrie juga pernah memberi keterangan kepada Panitia Khusus (Pansus) DPR tentang kasus Trisakti dan Semanggi I-II, tanggal 13 Februari 2001.
Riefqi khawatir, penunjukan pejabat militer yang bermasalah ini akan membawa dampak dan menyudutkan Indonesia pada tataran yang lebih luas di dunia internasional. "Pertama, nanti pertanyaannya, bagaimana ke-seriusan pemerintah sekarang melakukan reformasi. Kedua, orang menjadi bingung apakah Indonesia akan melakukan demokrasi atau tidak. Ketiga, bagaimana penegakan hukum yang berkaitan dengan garis komando, seperti kasus Trisakti, Semanggi I-II, dan kerusuhan Mei. Orang akan melihat bagaimana penegakan hak asasi manusia di Indonesia," katanya.
Djoko Susilo mengungkapkan dua alasan mengapa ia kecewa dengan mutasi TNI kali ini. Pertama, TNI tidak transparan dalam pelaksanaan mutasi tersebut. Padahal, dalam rapat kerja Panglima TNI dengan Komisi I hari Senin pekan lalu, hal tersebut sudah ditanyakan.
"Kenapa kok tidak minta dukungan dari Komisi I, katakanlah dukungan politik bahwa akan dilaksanakan mutasi yang signifikan. Padahal, jumlah 118 orang tidak main-main walaupun belum sampai pada level Panglima TNI dan kepala staf. Memang itu hak Panglima, tetapi paling tidak ada klarifikasi dengan Komisi I, karena nanti perwira tinggi yang dimutasi akan terus berhubungan dengan Komisi I," ujar Djoko.
Kedua, Djoko mempertanyakan ditunjuknya figur "bermasalah" seperti Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin sebagai juru bicara, karena jabatan Kepala Puspen TNI adalah jabatan publik dan Sjafrie akan menjadi public figure. "Pak Sjafrie belum tentu salah, tetapi selama dibelit dengan masalah yang lalu, hal itu akan mengganggu tugas-tugasnya sebagai juru bicara. Mestinya Mabes TNI memberi penjelasan yang terkait dengan penunjukan Pak Sjafrie ini. Kenapa orang yang ditunjuk jadi juru bicara Mabes TNI orang yang jadi sorotan? Juru bicara adalah wajah dan wakil institusi. Kalau dia masih coreng-moreng, orang menganggap TNI tidak serius dan komitmennya terhadap HAM," tambah Djoko.
Sjafrie yang menjabat Koordinator Staf Ahli (Korsahli) Panglima TNI adalah salah satu dari 118 perwira menengah/perwira tinggi yang dimutasi pekan lalu. Mutasi ini merupakan keputusan hasil sidang Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tinggi (Wanjakti) tanggal 12 Februari 2002. Totalnya terdapat 118 perwira menengah/perwira tinggi yang dimutasi. Secara rinci, dari Markas Besar TNI 40 orang, TNI Angkatan Darat 37 orang, TNI Angkatan Udara 21 orang, dan TNI Angkatan Laut 20 orang.
Dua orang Panglima Kodam termasuk yang diganti, yaitu Panglima Kodam I/Bukit Barisan Mayjen I Gde Purnawa diganti oleh Brigjen Idris Gassing, dan Panglima Kodam IV/Dipo-negoro Mayjen Sumarsono diganti oleh Brigjen Cornel Simbolon.
Sejumlah juru bicara juga diganti, yaitu Kepala Dinas Pene-rangan (Dispen) TNI AD Brigjen Ismet Herdy diganti Kolonel Ratyono dan Kepala Dispen TNI AL Laksamana Pertama Franky Kayhatu diganti oleh Laksamana Pertama Sugeng Walujo Ronoharjo. Franky Kayhatu selanjutnya menjadi anggota Fraksi TNI/Polri MPR/DPR.
Komandan Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI Mayjen Djasri Marin-yang kini sedang menangani kasus Theys Hiyo Eluay-diganti oleh Brigjen Sulaiman AB yang sebelumnya adalah widyaiswara Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas). Mayjen Djasri Marin selanjutnya akan menjadi anggota Fraksi TNI/Polri MPR/DPR.
© Copyright 2024, All Rights Reserved