GELOMBANG protes, petisi dan deklarasi yang disuarakan oleh para guru besar, akademisi maupun mahasiswa di Indonesia akhir-akhir ini merupakan suatu gerakan moral yang spontan, menyuarakan hati nurani rakyat. Diawali dengan kampus UGM, almamater Jokowi, dilanjutkan oleh kampus UI, Unpad, Unhas, Unand, UII, UMY, UIN Syarif Hidayatullah, dan seterusnya.
Benteng Terdepan Demokrasi
Gerakan ini mencerminkan kegelisahan dari kalangan kampus, yang merupakan benteng terdepan dari demokrasi, sehingga mereka terpanggil untuk melakukan koreksi terhadap berbagai penyimpangan dan penyelewengan terhadap konstitusi 1945, yang dipraktikan oleh Jokowi, pimpinan eksekutif, penguasa negara ini.
Ada beberapa masalah pokok yang disuarakan. Pertama, berbagai penyimpangan dan penyelewengan yang terjadi di depan mata rakyat Indonesia, yang merupakan tindakan tidak mengindahkan aturan konstitusional yang berlaku.
Kedua, ungkapan yang disuarakan merupakan sikap murni dari kalangan cendekiawan, yang mewakili kelompok yang bertanggung jawab dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, seperti diamanatkan oleh konstitusi.
Ketiga, sikap tersebut sekaligus mencerminkan suara dari akar rumput yang selama ini terkesan diam, namun memiliki kekuatan karena menyuarakan hati nurani rakyat.
Bangkitnya gerakan moral ini adalah juga sebagai dampak tidak berfungsinya lembaga legislatif, seperti DPR/MPR. Menurut konstitusi 1945, sang legislatif sejatinya harus mengimbangi peran eksekutif. Agar terwujud check and balances, yang mencerminkan sistem demokrasi yang sehat.
Berbagai produk penting untuk kepentingan rakyat dan negara dengan mudah disahkan oleh legislatif, seperti UU Omnibus Law, UU IKN, UU Cipta Karya, UU Minerba, dan lain-lain. Adalah tanggung jawab konstitusional bagi penguasa untuk melaksanakan butir-butir yang menjadi tuntutan dari para guru besar dan akademisi dari berbagai kampus di seluruh Indonesia tersebut.
Di sisi lain, gerakan kampus ini juga ditujukan kepada MK dan KPU, akibat kurang profesionalnya kedua lembaga penting tersebut dalam memutuskan kasus seorang warganegara bernama Gibran, putra sulung presiden. Sehingga dengan suatu perlakuan istimewa, telah meloloskannya sebagai cawapres untuk Pemilu 2024.
Keputusan secara tergesa-gesa ini serta merta telah merusak kehidupan berbangsa, bernegara dan berpemerintahan yang selama ini berusaha untuk dipertahankan. Hingga ditengarai tindakan ini adalah upaya untuk membangun dinasti politik, yang menciderai Indonesia sebagai negara hukum dan demokrasi.
Kesinambungan Generasi 1966, 1998, dan 2024
Bangkitnya generasi 2024 ini mengingatkan kita kepada kebangkitan generasi 1966 dan generasi 1998. Kedua generasi sebelumnya tersebut juga digerakkan dan disuarakan oleh kampus-kampus.
Generasi 1966 melakukan koreksi terhadap rezim Sukarno. Generasi 1966 memperjuangkan Tritura (Turunkan Harga, Rombak Kabinet, Bubarkan PKI), sehingga berakhir dengan pergantian pemerintahan dari Soekarno ke Soeharto serta mencapai klimaksnya dengan dibubarkannya Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 11 Maret 1966.
Adapun Generasi 1998 melakukan koreksi terhadap rezim Soeharto, akibat krisis ekonomi, praktik KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) serta upaya memaksakan presiden seumur hidup. Suharto, akhirnya lengser pada 21 Mei 1998.
Bagaimana dengan Generasi 2024? Berbeda dengan generasi 1966 dan generasi 1998, maka generasi 2024 ini dihadapkan dengan situasi yang unik. Di satu sisi, mereka menghadapi berbagai penyimpangan terhadap konstitusi 1945, yang dilakukan oleh penguasa berikut aparatnya.
Didukung penuh oleh kalangan pengusaha, kelompok yang banyak diuntungkan oleh kebijakan ekonomi oligarki yang jelas menyimpang dari prinsip-prinsip yang digariskan oleh Pasal 33 UUD 1945.
Di sisi lain, negara saat ini dalam situasi yang hangat dan genting, mengingat hanya seminggu lagi (14 Februari 2024) akan berlangsung pemilu, termasuk pilpres. Kelangsungan Indonesia sebagai negara hukum dan demokrasi dipertaruhkan.
Apakah penguasa akan melakukan koreksi dengan berbagai penyimpangan tersebut? Atau tetap memaksakan berlangsungnya pemilu, termasuk pilpres, yang melibatkan ketiga calon, yaitu paslon 1 (Anies-Muhaimin), paslon 2 (Prabowo-Gibran) serta paslon 3 (Ganjar-Mahfud).
Apabila koreksi yang dituntut oleh kampus-kampus ini tidak diindahkan, dikhawatirkan hasil pilpres akan cacat dan tidak legitimate. Adalah merupakan harapan dari rakyat Indonesia agar pemilu ini berlangsung secara Luber (langsung, umum, bebas dan rahasia) serta Jurdil (jujur dan adil). Luber tampaknya mudah dilaksanakan, namun apakah akan berlangsung Jurdil (jujur dan adil)?
Wallahu'alam bissawab.
Dr Nazar Nasution
Penulis merupakan Akademisi, Eksponen Angkatan 1966
© Copyright 2024, All Rights Reserved