Pembentukan daerah otonomi baru (DOB) tak selalu berujung pada peningkatan pembangunan serta kesejahteraan rakyat di daerah tersebut. Bahkan, 80 persen dari pemekaran daerah tak sesuai dengan tujuannya, dan malah menjadi beban, karena hanya mengandalkan sumber pendanaan dari pemerintah pusat.
“Pak Jokowi meminta saya untuk setop otonomi daerah. Hampir 80 persen tidak sesuai dengan tujuan karena sedikit-sedikit mengandalkan pusat,” ujar Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo dalam dalam siaran persnya, Senin (25/07).
Mendagri menyatakan, yang melatarbelakangi masalah pembentukan daerah otonomi baru karena semangat pembentukan yang tidak matang. Ada pun sejumlah hal yang menjadi motif suatu daerah membentuk otonomi baru adalah karena pertimbangan etnis, historis kedaerahan, rentang kendali, luasnya cakupan geografis, elite daerah dan alasan karena merasa kurang mendapat perhatian dari pemerintah daerah setempat.
Atas dasar itu, tambah dia, sebelum sebuah daerah ditetapkan menjadi daerah otonom baru, sebaiknya menjadi daerah persiapan terlebih dahulu selama 3 tahun. Selain itu, pemerintah juga akan bisa mengeluarkan peraturan agar pemekaran lebih selektif.
“Misal ada persyaratan seperti luas wilayah, jumlah penduduk, batas wilayah, cangkupan wilayah, batas usia minimal provinsi, kabupaten/kota serta kecamatan," kata Tjahjo.
Poitisi PDI Perjuangan itu menambahkan, pada tahun 1999 lalu, jumlah kabupaten-kota tidak sampai 300-an. Saat ini jumlahnya sudah lebih dari 500-an. "Belum lagi, ada 122 daerah yang antre untuk dimekarkan, termasuk ingin menjadi provinsi," ujar dia.
Dampak dari daerah otonomi baru yang tidak matang berimbas pada banyak sektor. Di antaranya sampai sekarang ini ada 163 Polsek di daerah yang kekurangan kantor. “Belum lagi, masih ada 58 persen camat di Indonesia tidak paham untuk mengelola pemerintahan. Makanya selain kesiapan daerah, saya juga ingin ada sumber daya manusia yang memadai dalam pemekaran," tandas Tjahjo.
© Copyright 2024, All Rights Reserved