Perlunya penataan kembali hubungan antara lembaga negara dengan fungsi yang sama, seperti Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi Yudisial (KY), atau Polri, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Usulan itu disampaikan Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat memberikan kuliah umum berjudul "Sistem Ketatanegaraan RI dan Relasinya dengan Politik Nasional" di Universitas Airlangga Surabaya, Selasa (10/02).
SBY mengatakan, kegaduhan politik bukan berarti politik yang dipilih itu salah. “Demokrasi kita yang semi presidensial atau semi parlementer itu memang gaduh, tapi hal itu jangan membuat kita tergoda kembali pada politik otoritarian," ujar dia.
SBY mengatakan, kalau kita melakukan amendemen UUD 1945, itu karena UUD 1945 itu bukan keramat, tapi harus adaptif terhadap perubahan. “Kita jangan malu dan marah terhadap perubahan, asalkan perubahan itu dilakukan secara aspiratif, sesuai kebutuhan, dan proses perubahannya dengan cara yang benar," ujar SBY dihadapan 534 mahasiswa baru pasca sarjana, profesi, dan spesialis di Unair itu.
Dalam kuliah umum itu, SBY menawarkan 5 hal fundamental untuk mengatasi kegaduhan politik, sehingga bangsa Indonesia bisa melakukan penghematan energi politik dan energi sosial yang mendorong kemajuan dan kejayaan Indonesia. “Kelima hal fundamental itu memerlukan konsensus nasional,” ujar dia.
Fundamental pertama adalah sistem politik, yakni sistem politik yang kita anut sebenarnya sistem presidensial, tapi dalam praktiknya adalah semi presidensial dan semi parlementer, sehingga terjadi kegaduhan.
SBY menilai Bangsa Indonesia bisa saja kembali kepada sistem presidensial, tapi sistem presidensial dalam tatanan yang demokratis, bukan sistem otoritarian.
Fundamental kedua adalah UUD 1945 menyebut Indonesia adalah Negara Kesatuan berbentuk Republik, tapi dalam praktiknya justru menjalankan desentralisasi yang luas dan otonomi daerah.
"Banyak pihak di luar negeri yang mempertanyakan hal itu, sebab otonomi itu lazimnya ada dalam sistem federasi dan bukan sistem kesatuan. Bisa saja sistem desentralisasi dan otonomi itu menjadi pilihan kita, namun sistem distribusi kewenangan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota perlu ditata," katanya.
Fundamental ketiga adalah hubungan negara dan rakyat yang berkaitan dengan kewajiban dan tanggung jawab, karena semua berpendapat bahwa HAM itu penting, namun ada juga yang berpendapat bahwa kewajiban dan tanggung jawab itu harus seimbang.
SBY menyebut, ada 10 pasal tentang HAM dalam Amendemen UUD 1945. “Namun bisa saja kita melakukan penataan sesuai dengan deklarasi oleh InterAction Council of Former Heads of State and Government yang beranggotakan 30 mantan kepala negara. Organisasi itu dalam deklarasinya menilai perlunya hak dan tanggung jawab dilakukan secara seimbang," katanya.
Fundamental keempat adalah sistem 2 kamar antara DPR dan DPD yang dalam praktiknya masih terkesan 1,5 kamar, karena peran dan kewenangan DPD masih sangat kecil. Karena itu perlu segera ditata ulang untuk keseimbangan sistem parlementer yang ada.
Fundamental kelima adalah perlunya penataan hubungan untuk lembaga dengan fungsi yang sama, seperti MA-MK-KY atau Polri-Kejaksaan-KPK, sehingga tidak terjadi perselisihan dan perbedaan pandangan yang menghabiskan energi.
"Jadi, penataan kelima fundamental itu perlu dan mendesak agar energi kita tidak terkuras dan habis untuk mengatasi konflik dan gangguan yang bersifat internal, karena sistem manajemen nasional yang fundamental tidak kita miliki," katanya.
SBY menegaskan bahwa penataan hubungan fundamental itu penting untuk mewujudkan Indonesia 2045 atau Satu Abad Indonesia yang maju, berdaulat, adil, makmur, kuat, unggul, dan sesuai karakter khas Indonesia.
"Bagaimanapun Indonesia itu bukan Amerika, Jepang, atau Malaysia, tapi Indonesia adalah Indonesia. Tentu, Indonesia Emas 2045 itu tidak jatuh dari langit. tapi perlu kebersamaan, persatuan, kerja kerja, dan visi serta strategi yang baik," ujar SBY.
SBY juga angkat bicara soal kisruh politik yang terjadi di dalam negeri. Menurutnya, era transisi dari otoritarianisme menuju tatanan demokrasi memunculkan banyak godaan bagi pemimpin dan penyelenggara negara. Godaan yang utama, adalah dorongan untuk menyalahgunakan kekuasaan.
“Ingat, kekuasaan itu mudah disalah-gunakan. Sering saya sampaikan bahwa godaan untuk menyalah gunakan kekuasan ini bukan hanya tertuju kepada seorang Presiden, tetapi berlaku bagi siapa saja yang tengah memegang kekuasaan.”
SBY memberi masukan sekaligus kritik terhadap pemimpin dan lembaga-lembaga negara. Ia mengatakan, kekuasaan parlemen yang besar bukan untuk membuat eksekutif terus menghadapi perlawanan dan penentangan dari parlemen.
SBY juga mengatakan, lembaga negara seperi Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi harus menggunakan kewenangannya dengan tanggungjawab. MK, ujar dia, memiliki putusan yang bersifat mengikat dan final dan penyidikan KPK tidak akan pernah ada penghentian atau penuntutan.
“Hendaknya kekuasaan itu juga digunakan secara adil, amanah dan penuh rasa tanggung jawab,” ujar SBY.
Selain itu, SBY juga memberi catatan untuk lembaga Kepolisian. Kekuasaan yang dimiliki pihak kepolisian untuk menetapkan seorang menjadi tersangka karena diduga melakukan kejahatan, perlu digunakan secara cermat dan tidak gegabah. "Agar tidak merusak rasa keadilan.”
Purnawirawan jenderal TNI itu berpesan agar kepala daerah tidak menggunakan kekuasaannya sewenang-wenang sehingga berakhir di meja hukum. Ia juga mengamanatkan agar komunitas pers dan media massa mencegah pemberitaan yang tidak akurat, tidak fair, dan tidak berimbang. "Yang dapat merugikan pihak tidak bersalah."
SBY juga meminta agar kekuasaan masyarakat tidak digunakan sewenang-wenang atas nama kebebasan. Dalam menyampaikan pendapat dan berunjuk rasa, masyarakat harus menaati aturan. “Dalam kaitan ini, di berbagai forum sering saya ingatkan, bahwa kebebasan pun sering disalah gunakan,” ujar SBY.
© Copyright 2024, All Rights Reserved