Kasus hukum yang menjerat Ketua dan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nonaktif Abraham Samad dan Bambang Widjojanto (BW), sebaiknya diusut tuntas hingga pengadilan. Jangan sampai, kasus yang telah menyebabkan Samad dan BW nonaktif dari KPK itu, berakhir dengan deponeering (pengesampingan perkara).
Setidaknya, demikian pendapat yang dikemukakan mantan Penasehat KPK Abdullah Hehamahua, kepada pers, Senin (25/05). Dalam pandangannya, wacana deponeering hanya akan kian mempertegas bahwa perkara yang dijeratkan kepada keduanya tidak lebih dari akal-akalan yang dibuat-buat.
“Jika deponeering atas instruksi Presiden yang dijadikan pilihan, jelas bahwa kasus Pak BW dan AS hanyalah rekayasa untuk mengobok-obok KPK," ujar Abdullah.
Dikatakan Abdulah lebih jauh, sejak kasus BW mencuat dan kemudian disusul kasus Samad, telah memantik perdebatan di tingkat lembaga hukum negeri dan pemerintahan.
Abdullah mengatakan, saat kasus ini mencuat, ia telah menyarankan penerbitan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) jika alat bukti yang dikantongi penyidik kepolisian masih lemah. Akan tetapi, apabila Presiden Joko Widodo meyakini alat bukti yang dipunyai kepolisian sangat kuat, tak ada jalan lain, Presiden perlu segera menerbitkan Perppu penunjukkan pelaksana tugas pimpinanan KPK.
“Nyatanya, Presiden memilih menerbitkan Perppu Plt Pimpinan KPK. Maknanya, Presiden yakin, alat bukti yang dipunyai kepolisian, signifikan," ujar Abdullah.
Atas dasar itu, Abdullah mengharapkan penanganan kasus BW dan Samad tersebut dapat diusut tuntas hingga persidangan. Hal itu penting dilakukan untuk mencari kepastian hukum dan penegakan keadilan. “Maka kasus ini harus sampai ke pengadilan. Masyarakat dapat mengetahui, apakah kasus pak BW dan pak AS, benar-benar persoalan hukum atau persoalan politik dengan tujuan kriminalisasi KPK untuk kepentingan rezim penguasa," tandas Abdullah.
© Copyright 2024, All Rights Reserved