Hingga kini, Film Indonesia belum menunjukkan kebangkitan yang berarti. Buktinya, film-film impor masih mendominasi layar sinema Tanah Air. Masih banyak persoalan yang membelit film nasional yang harus segera dibenahi.
Anggota Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Venna Melinda mengatakan, ia bertekad untuk memperjuangkan film nasional agar kembali berjaya di negeri sendiri.
“Film Indonesia harus bangkit. Saya janji akan faith, berjuang melawan pelanggaran hak cipta film dalam 5 tahun ke depan,” ujar politisi perempuan dari Partai Demokrat itu, kepada politikindonesia.com, usai bertemu para praktisi dan produser film nasional di Gedung DPR, Jakarta, pekan lalu.
Politisi dari daerah pemilihan Jawa Timur itu mengatakan, banyak sekali persoalan yang membelit dunia perfilman Indonesia saat ini. Salah satunya, pelanggaran hak cipta atau pembajakan film. “Persoalan ini pun menunggu penangganannya dengan segera. Kalau tidak sekarang, kapan kita akan memiliki film seperti Korea dan India,” kata putri Indonesia tahun 1994 ini.
Venna mengatakan, pihaknya akan memperjuangkan pembentukan panitia kerja (Panja) Film Nasional di DPR untuk membenahi perfilman di Tanah Air. Melalui panja ini, keluhan yang disampaikan para insan film dapat dikelola dengan baik. Misalnya, soal jam tayang film impor yang jauh lebih lama beredar di bioskop-bioskop nasional.
“Pemerintah perlu mengatur tata edar film-film nasional agar bisa beredar lebih lama di bioskop-bioskop nasional. Selain itu, saya juga meminta pemerintah untuk segera membuat aturan main yang memihak kepada film Indonesia," ujar sarjana ekonomi Universitas Trisakti ini.
Kepada Elva Setyaningrum, perempuan kelahiran Surabaya, Jawa Timur, 20 Juli 1972 ini mengungkapkan harapannya terhadap perfilman Indonesia serta langkah apa yang dilakukan fraksinya di DPR untuk berjuang untuk memajukan perfilman Indonesia.
Fraksi Demokrat mengundang praktisi dan produser film ini, apa tujuannya?
Kami ingin menginisiasi terbentuknya kaukus film nasional sekaligus memimpin kaum muda kreatif untuk melahirkan film-film nasional yang berkualitas.
Saya terakhir main film pada tahun 1987 dan setelah menjadi Anggota DPR, saya ingin fokus memperjuangkan film nasional. Pertemuan ini, karena saya ingin menyerap lebih banyak lagi aspirasi para insan film Indonesia.
Contohnya, di industri musik sudah ada Anang Hermansyah yang berjuang, di film, saya ingin berada di garda terdepan. Saatnya kita meraih kembali momentum kebangkitan film Indonesia yang berkualitas.
Menurut Anda, bagaimana perkembangan film nasional saat ini?
Ada dilema dalam perkembangan industri film belakangan ini. Pada satu sisi, kita mengharapkan perkembangan yang pesat, tapi di sisi lain, banyak produser yang menggarap film-film dengan muatan yang tidak baik untuk menarik perhatian penonton.
Bahkan, beberapa film yang muncul kebanyakan menggunakan judul yang menggoda dan berbau esek-esek. Padahal masyarakat penikmat film nasional bukan hanya orang dewasa, tapi juga ada anak-anak. Sehingga hal ini justru malah menimbulkan masalah sosial yang baru. Semua mengetahui, film memiliki kekuatan yang efektif dimana pesan-pesannya mudah diterima. Kalau anak-anak yang menonton, ini malah berbahaya.
Terhadap fenomena ini, apa saran anda?
Kita harus mendorong para produser untuk kreatif membuat film dengan pesan-pesan yang mendidik, seperti pesan nasionalisme. Selain itu kita juga harus mendorong, agar ada penerapan kualifikasi yang ketat, hingga anak-anak di bawah umur tak bisa menonton film yang bukan untuk mereka.
Apa hal utama yang akan Anda perjuangkan untuk memajukan dunia perfilman?
Hal utama yang paling penting adalah membangun karakter nasional melalui film. Kita harus menjadikan film sebagai salah satu alat membangun karakter bangsa ini.
Pesan-pesan nasionalisme harus terus digaungkan lewat film. Selain itu, para produser juga harus tersentuh, untuk membuat karya-karya yang berguna untuk masyarakat.
Dulu, ketika Usmar Ismail membuat film diawali dengan doa. Kalau tidak salah, "Darah dan Doa". Judul film itu menjadi tonggak perfilman nasional. Tapi saat ini yang ada malah film esek-esek. Bahkan, saat ini saya melihat sejumlah produser malas membangun karakter bangsa. Mereka hanya mementingkan faktor ekonomi saja.
Padahal ada solusi antara kepentingan ekonomi dan pembangunan karakter bangsa, seperti yang dilakukan pada beberapa film. Membangun karakter bangsa bukan pekerjaan instan, perlu waktu dan tenaga yang tidak pernah surut. Semua pihak bertanggung jawab. Jadi kalau kita melihat kondisi film seperti ini, ini adalah tanggung jawab bersama.
Langkah selanjutnya, apa yang Anda lakukan?
Saya berencana akan menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di Komisi X DPR. Sebelumnya saya akan mengajak peran serta para pelaku industri film. Karena nantinya, kasus pembajakan film ini akan kita bawa ke Kapolri. Setelah itu, kami juga akan membawa permasalahan ini ke Presiden Jokowi. Karena beberapa waktu lalu, Pak Jokowi sudah menerima kunjungan teman-teman dari musik.
Dalam hal ini, saya pun siap menjadi satgas terdepan karena ini adalah salah satu bentuk pengawasan dari anggota DPR untuk industri perfilman kita. Oleh sebab itu, saya pun siap menampung aspirasi seluruh pekerja film di Indonesia, terutama dalam hal pembajakan hak cipta. Memberantas pembajakan adalah salah satu upaya untuk memajukan perfilman Indonesia. Saya pun ingin semua ini bisa diatasi dan berdampak baik untuk perfilman kita. Saya tidak sendiri, di Komisi X, saya juga ditemani rekan-rekan seprofesi dahulu. Ada Eko Patrio, Rachel Maryam, Krisna Mukti dan Lucky Hakim.
© Copyright 2024, All Rights Reserved