Ketua Dewan Syuro Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Izha Mahendra menilai keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemilu serentak 2019 sarat permainan politik.
Menurut Yusril, keputusan MK dengan menerapkan pemilu serentak pada tahun 2019 adalah keputusan inkonstitusional. Yusril menuding MK telah dimanfaatkan oleh kepentingan politik.
“Putusan MK ini banyak sekali yang tidak jelas. Selama ini, saya dituduh memanfaatkan Hamdan Zoelva (Ketua MK, mantan politisi PBB). Sekarang siapa yang memanfaatkan? Siapa yang buat MK jadi membuat keputusan seperti itu?” kata Yusril di Jakarta, Jumat (24/01).
Yusril mengatakan, ketidakjelasan keputusan MK terlihat dari penetapan pelaksanaan pemilu serentak yang baru dilakukan pada 2019. Keputusan ini dinilai keliru lantaran keputusan pengadilan seharusnya langsung diterapkan saat itu dan tidak ada istilah penundaan.
Menurut Yusril, seharusnya sidang gugatan yang dilakukan Effendi dan kawan-kawan sudah bisa diputuskan pada Maret 2013. Dengan begitu, dia tidak lagi perlu melayangkan gugatan serupa.
“Tapi begitu saya putuskan melayangkan gugatan dan mendapatkan sorotan media hingga negara-negara lain, akhirnya baru langsung diputus. Ini sangat politis sekali,” kata bakal calon Presiden dari PBB itu.
Yusril menilai, gugatan yang dilayangkan Effendi sebenarnya tidak terlalu berimplikasi dahsyat. Berbeda halnya dengan gugatan yang diajukan Yusril dapat lebih berdampak besar dibandingkan yang diajukan Effendi.
“Permohonan yang diajukan Effendi dan kawan-kawan tidak meminta secara langsung maksud Pasal 6A Ayat (2) dan Pasal 22E UUD 1945. Sedangkan saya meminta MK menafsirkan secara langsung maksud Pasal 6A Ayat (2) dan Pasal 22E UUD 1945 dalam gugatannya,” kata Yusril.
Ada pun Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 menyebutkan bahwa, pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.
Ada pun Pasal 22E UUD 1945 berbunyi, pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Menurut Yusril, jika MK menafsirkan maksud Pasal 6A Ayat (2) bahwa parpol peserta pemilu mencalonkan pasangan capres sebelum Pileg, maka tak perlu lagi ada undang-undang untuk melaksanakannya.
"Kalau MK tafsirkan Pasal 22E Ayat (1) bahwa pemilu dilaksanakan sekali dalam lima tahun berarti Pileg dan Pilpres disatukan, tak perlu mengubah UU untuk melaksanakannya. Maka, penyatuan Pileg dan Pilpres dapat dilaksanakan pada 2014 ini juga," urai Yusril.
© Copyright 2024, All Rights Reserved