Zainal Arifin Hoesein, mantan panitera Mahkamah Konstitusi (MK) yang ditetapkan Polri sebagai tersangka kasus surat palsu MK, mengakui mengubah redaksional dalam nota dinas yang dibuat bersama Pan Muhammad Fais. Dia melakukan perubahan itu atas arahan mantan Hakim Konstitusi, Arsyad Sanusi.
Pengakuan itu disampaikan Zainal, melalui rilis yang diberikan kepada pers, Selasa (23/08), melalui pengacaranya, Andi M Asrun. Rilis itu diberikan Andi di sela-sela mendampingi kliennya menjalani pemeriksaan.
Menurut rilis tersebut, Zainal menjelaskan, awalnya Masyhuri Hasan (waktu itu juru panggil MK) menyerahkan surat dari Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang dikirimkan melalui faksimile dengan nomor milik Andi Nurpati (waktu itu anggota KPU).
Surat itu berisi permohonan penjelasan mengenai amar putusan MK nomor 84 tentang sengketa pemilu di Daerah Pemilihan Sulawesi Selatan I yang meliputi Gowa, Takalar, dan Jeneponto. Putusan itu atas gugatan Partai Hanura.
Menurut Zainal, ia lalu menghubungi Nurpati dan mengatakan, putusan sudah jelas. Namun, Nurpati tetap meminta penjelasan sebagai bahan dalam rapat pleno. "Surat itu sifatnya mendesak. Saya jawab, jika mendesak, saya akan lapor dulu kepada Bapak Ketua MK," kata Zainal.
Setelah itu, Zainal mengaku menyusun draf awal yang sesuai dengan amar putusan MK. Penyusunan itu dibantu Hasan. Draf itu belum diberi nomor, tanggal, dan tanda tangan.
Zaenal menceritakan, saat penyusunan draft tersebut, dirinya mendapat telepon dari Arsyad Sanusi yang menanyakan apakah putusan itu soal penambahan suara. “Saya jawab, Bukan, Pak! Tetapi, Pak Arsyad menyatakan bahwa itu mestinya penambahan suara karena permohonan pemohon (Hanura) dikabulkan sehingga berdampak pada perolehan kursi. Saya menanyakan kepada beliau apakah sudah menghubungi Pak Ketua. Pak Arsyad menjawab sudah," papar dia.
Zainal lalu membuat nota dinas untuk Ketua MK agar menjawab surat dari KPU. "Dalam nota dinas itu memang saya sampaikan pendapat awal dengan mengadopsi pendapat Pak Arsyad. Pendapat awal ini sekaligus mengkonfirmasi pendapat Pak Arsyad soal penambahan suara kepada Pak Ketua MK," kata Zainal.
Nota dinas itu, sambung Zainal, tidak pernah dikirim kepada Mahfud lantaran ia langsung berkonsultasi kepada Mahfud. Atas arahan Mahfud, MK lalu mengirimkan surat bernomor 112 tertanggal 17 Agustus 2009 dengan substansi "perolehan suara pemohon" di setiap kabupaten.
Adapun substansi surat palsu bernomor 112 tertanggal 14 Agustus 2009 adalah "jumlah penambahan suara". Surat palsu itu yang dipakai dalam rapat pleno KPU. Akibatnya, KPU menambah suara Partai Hanura di tiga kabupaten itu. Akhirnya, Dewie Yasin Limpo ditetapkan sebagai calon anggota legislatif terpilih dari Dapil Sulsel I.
Seperti diketahui, putusan KPU tersebut lalu dibatalkan setelah MK mengirimkan surat kepada KPU bahwa MK tidak pernah mengeluarkan surat tertanggal 14 Agustus 2009.
© Copyright 2024, All Rights Reserved