Ratusan mahasiswa dari Institut Pertanian Bogor (IPB) menggelar aksi demonstrasi di Kantor Kementerian Pertanian (Kementan), Kamis (28/07). Demonstrasi yang dilakukan oleh BEM IPB tersebut memprotes kebijakan impor jeroan sapi yang dilakukan oleh pemerintah.
"Kami menolak impor jeroan yang dilakukan oleh pemerintah, karena tidak sesuai dengan semangat awal yang ingin menjadikan Indonesia untuk swasembada daging sapi," kata Ketua Dewan BEM KM IPB Irwan Setiawan kepada politikindonesia.com di Kantor Kementan, Kamis (27/07).
Irwan menilai, impor jeroan yang dilakukan pemerintah pada saat ini sangat gegabah dan tidak berpihak pada rakyat kecil. Pemerintah mengambil kebijakan instan, meski saat ini impor jeroan belum tentu mampu menjaga keberlangsungan dan ketersediaan daging di Indonesia.
"Dibukanya kembali impor jeroan dan langkah impor daging yang lain hanya bersifat sementara dan tidak menyentuh persoalan daging sapi yang sudah sangat lama. Karena kata Menteri Pertanian, Amran Sulaiman, mahalnya harga daging di Indonesia karena panjangnya rantai pangan kita," ujarnya.
Dia berharap agar pemerintah saat ini tidak menggampangkan impor. Karena adanya impor tersebut sangat menyengsarakan para peternak kecil. Karena sudah pasti peternak lokal yang menjadi korban.
"Peternak lokal jadi korban karena harga daging impor selalu lebih rendah bila dibandingkan dengan daging lokal. Jadi secara otomatis bila impor ini terus dilakukan, para peternak lokal bisa kehilangan mata pencaharian. Padahal mereka berjualan turun temurun," tandasnya.
Penolakan kebijakan pemerintah untuk impor jeroan juga datang dari kalangan DPR. Kebijakan itu dinilai sebagai langkah mundur dalam mengembangkan sektor peternakan, karena sebenarnya impor jeroan itu merugikan peternakan rakyat. Tak hanya itu, juga berdampak negatif terhadap kesehatan serta dapat merendahkan martabat bangsa.
"Karena pada kenyataannya jeroan sapi di luar negeri dikonsumsi sebagai pakan ternak dan hewan peliharaan. Namun di Indonesia mahal di impor untuk konsumsi manusia. Ini sangat tragis. Lucunya lagi, pemerintah kita sendiri yang menutup impor itu, tapi malah dibuka lagi," kata Anggota Komisi IV DPR, Hermanto.
Anggota dari fraksi PKS itu, mengungkapkan, fraksinya siap mendukung rencana pemerintah menekan harga daging hingga Rp80.000 per kilogram, namun bukan dengan cara mengimpor jeroan yang diharapkan menjadi substitusi bagi masyarakat menengah ke bawah yang tidak dapat membeli daging sapi.
"Untuk itu, kami juga menawarkan solusi untuk mengatasi kenaikan harga daging dengan mendorong pemerintah untuk melanjutkan program swasembada daging sapi, pengembangan peternakan rakyat, dan memperbaiki sisi permintaan dari masyarakat," ucapnya.
Menurutnya, kebijakan yang digulirkan harus kompehensif, yaitu tidak hanya sisi pasokannya saja yang dibenahi, tapi permintaannya juga perlu diperhatikan. Misalnya, adanya beragam substitusi daging sapi yang sehat dan bergizi, seperti daging ayam, telur.
"Sedangkan kebijakan lainnya adalah melalui program diversifikasi dengan swasembada protein. Karena sumber protein bukan hanya dari daging sapi, tetapi juga bisa dari ikan atau lainnya," imbuhnya.
Secara terpisah, dosen ahli gizi dari Politeknik Kesehatan Jakarta II, Marzuki, mengungkapkan masuknya jeroan impor membuat konsumsi jeroan masyarakat meningkat. Dampaknya, bisa berpengaruh pada memburuknya kesehatan masyarakat secara umum akibat mengkonsumsi jeroan.
"Dibandingkan dengan negara di luar, jeroan itu banyak dilarang sekali untuk dikonsumsi, makanya dipisahkan. Kalau di Indonesia malah dikonsumsi. Pemerintah tidak memikirkan jeroan itu kolesterolnya jeroan tinggi," terang Marzuki.
Menurutnya, rencana pemerintah mensubstitusi daging sapi dengan jeroan tidaklah tepat. Apalagi demi alasan menurunkan harga daging sapi sampai Rp 80.000/kg. Bukannya memberi kesehatan dan menurunkan harga, jeroan sapi justru bisa memicu kolesterol dan menimbulkan penyakit untuk masyarakat.
"Makanya orang luar negeri dan kita sendiri pantang konsumsi jeroan. Baik itu babat, paru dan jantung. Sate padang yang benar pun dari daging, bukan pakai jeroan seperti lidah. Hal itulalah yang membuat warga negara luar seperti Australia jarang yang mengkonsumsi jeroan seperti halnya di Indonesia. Memang jeroan itu ada kandungan protein, tapi itu kecil," pungkasnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved