Sudah jatuh tertimpa tangga. Begitulah nasib tragis yang menimpa Irwanto, Ketua Lembaga Penelitian Atmajaya itu. Maksud hati mengobati penyakit, malah lumpuh yang didapatnya. Kondisi yang dialaminya itu bermula dari penanganan kesehatan yang dilakukan Rumah Sakit Internasional Bintaro (RSIB). Ia menduga ada malpraktik dalam pengobatan yang dilakukan RSIB. Ditemui PILARS dalam kondisi tergolek lemah di kamarnya, peneliti pada sederet organisasi ini menceritakan kembali musibah itu.
Malam itu, tepatnya 27 Juli 2003 lalu, Irwanto terbangun karena rasa sakit pada dada sebelah kiri. Rasa sakit ini memang sudah beberapa kali dirasakannya. Tetapi, kali ini terasa lebih hebat. “Rasanya sakit sekali seperti urat tubuh belakang saja ditarik-tarik,” katanya mengenang kejadian itu.
Karena tidak tahan akan rasa sakit yang dideritanya, malam itu juga bapak dua anak ini mengajak sang istri Irene Roman ke rumah sakit. “Saya minta bantuan sopir tetangga untuk mengantarkan ke RS Internasional Bintaro,” kata lelaki kelahiran Yogyakarta tahun 1957 itu.
Kebetulan rumah Irwanto yang terletak di Jalan Mandar XII, Blok DD.2/76 RT.05/RW.10, Bintaro Jaya, Tangerang, itu sangat dekat dengan Rumah Sakit Internasional Bintaro (RSIB).
Sesampai di RSIB, Irwanto langsung ditangani oleh dokter jaga. Tak berapa lama, penanganannya diambil alih oleh dokter jantung Chandramin Chandradir. Dokter lulusan Universitas Kristen Indonesia (UKI) ini mengambil sampel cairan dari tubuhnya dan diperiksakan ke laboratorium. Dari hasil pemeriksaan, sang dokter menyarankan ia harus masuk ICCU (Intensive Cardiac Care Unit). Selain itu, ia juga diperiksa dengan alat elektro kardiografi (EKG) – alat untuk memeriksa kesehatan jantung.
Sang dokter mengatakan, Irwanto kemungkinan menderita penyakit jantung. Ia juga dikasih berbagai jenis obat. Namun, sampai jam 10 pagi keesokan harinya (29/7/03), rasa sakit itu tidak kunjung hilang.
Pagi itu, dr. Chandra kembali memeriksa Irwanto. Ia berkesimpulan bahwa lelaki yang sehari-hari menjadi dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia itu (UI) mengalami penyumbatan di jantung kiri depan. “Namanya Microcardinal Infraction,” kata Irwanto.
Pada pukul 11 siang, dokter Chandra bertemu dengan isteri Irwanto, Irene Roman. Sang dokter mengatakan Irwanto akan diberikan obat Streptokinase untuk pengencer darah. Maksudnya, darah Irwanto akan diencerkan sehingga penyumbatan-penyumbatan itu bisa didorong. “Harganya obatnya Rp4,8 juta,” kata Irwanto yang juga menjadi konsultan di UNICEF dan WHO itu. Obat itu diinfuskan juga ke Irwanto pukul 13.30 siang.
Nah, dari sinilah petaka itu berawal. Sekitar pukul 15.00 WIB sore itu, Irwanto kembali mengerang karena rasa sakit di bagian tengkuknya. Beberapa bagian tubuhnya, mengeluarkan darah. Parahnya lagi, Irwanto tidak bisa merasakan apa-apa. Bagian tubuh sebelah kanannya, dari dada hingga kaki tidak bisa digerakkan. “Saya khawatir karena saya pikir suami saya terserang stroke,” ungkap Irene.
Irene kemudian berusaha menghubungi dr. Chandra, yang menangani suaminya dari awal. Anehnya, yang datang justru bukan dr Chandra, tapi seorang dokter dari bagian neurolog. “Saya lupa namanya,” kata Irene. Dokter tersebut melakukan CT Scan. Hasilnya, ternyata tidak menunjukkan adanya stroke seperti yang diduga oleh isterinya.
Besoknya, Rabu (29/7/03) pagi, RSIB membawa Irwanto ke RS Glen Eagels Karawaci untuk pemeriksaan MRI. Dari hasil pemeriksaan, ada sesuatu gumpalan massa yang menekan di leher belakang Irwanto (Cervikal). Pihak rumah sakit itu menyarankan Irene agar suaminya segera dioperasi untuk mengambil massa tersebut. Tapi, pihak Glen Eagles belum bisa memastikan massa seperti apa yang menekan leher Irwanto itu. “Kalau ternyata itu tumor, kami harus membuka beberapa ruas untuk mencabut tumor tersebut,” kata Irene mengikuti perkataan dokter tersebut.
Berubah-ubahnya diagnosis tentang sakit suaminya, membuat Irene curiga. “Pertama divonis sakit jantung tiba-tiba berubah jadi cervikal. Saya bingung mana yang benar,” katanya. Semula ia keberatan suaminya dioperasi. Apalagi, ini termasuk operasi serius, empat jam lamanya. Tapi, karena awam, ia mengikuti saja saran dr Chandra itu.
Malam sebelum operasi, Irwanto kedatangan tamu seorang wartawan media cetak bernama Irwan Yulianto. Sang wartawan mengatakan bahwa pembedahan pada tengkuk adalah pembedahan serius. “Kok main operasi saja” tegasnya. Dengan bantuan Yulianto, hasil MRI Irwanto itu dikonsultasikan dengan Prof. Dr Padmosantjojo –ahli syaraf yang pernah memisahkan bayi kembar siam Yuliana-Yuliani tahun 1980-an. “Pak Padmo justru mengatakan tidak ada kelainan pada tengkuk suami saya,” kata Irene. Atas saran Prof Dr. Padmo itu, operasi pun dibatalkan. “Kebetulan dokter yang akan mengoperasi adalah anak murid Prof. Dr Padmo,” tambahnya.
Tanpa berkas rekam medis (berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang keadaan pasien-red), Irwanto pindah ke Rumah Sakit Metropolitan Medical Center (MMC), Kuningan, Jakarta Selatan. Dengan data seadanya itu, pihak MMC kembali melakukan diagnosis. Hasilnya penyakit Irwanto disebabkan adalah CMV (Cyto Megalo Virus) atau inveksi yang disebabkan virus.
Vonis ini justru membuat Irwanto dan isterinya tambah bingung. Pasalnya, sudah ada tiga macam jenis penyakit yang dikatakan dokter. Pertama, jantung, lalu cervikal, dan terakhir adalah CMV. “Saya bingung kok penyakit saya bisa sebanyak ini,” katanya.
Selama dirawat di RS MMC, Irwanto tetap mengkonsumsi obat jantung dari RSIB ditambah obat virus dari MMC. Organ pencernaannya tidak berfungsi. Hingga makanan yang masuk lambung tidak dapat dicerna oleh usus. Sehingga, terpaksa dilakukan penyedotan melalui dubur.
Dua minggu tidak membuahkan hasil, atas desakan isterinya, akhirnya Irwanto pindah ke RS Tan Tock Seng, Singapura. Di sini dilakukan pemeriksaan menyeluruh. Jantung Irwanto diperiksa secara teliti. Hasilnya, RS Tan Tock Seng justru menyatakan jantungnya normal tanpa ada gangguan. Malahan, dari pemeriksaan dokter neurolog Singapura, kelumpuhan yang dideritanya disebabkan komplikasi penggunaan obat streptokinase. Jadi, intinya kelumpuhan itu disebabkan obat jantung yang diberikan padanya, padahal ia sama sekali tidak mengalami sakit jantung.
Pulang dari Singapura dengan kondisi lumpuh, banyak teman-temannya dari kalangan LSM, Lawyer, yang datang menunjukkan simpati. Bahkan, atas usul teman-temannya itu, kasus ini kemudian dibawa ke meja hijau. Semua biaya-biaya untuk peradilan ini yang ditanggung oleh teman-temannya. Kasus malpraktik ini sekarang tengah berjalan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan memasuki tahap pemeriksaan saksi-saksi.
“Ada banyak kejanggalan-kejanggalan yang terjadi dalam penanganan klien kami oleh RSIB,” kata Gunawan Tjahjadi, SH, salah satu kuasa hukum Irwanto. Salah satunya adalah tidak disertakannya rekam medis Irwanto oleh RSIB saat Irwanto pindah ke RS MMC.
Padahal, tambahnya, menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 749a/MENKES/PER/XII/1989 tentang rekam medik, setiap pencatatan ke dalam rekam medik harus dibubuhi tanda tangan petugas yang memberikan pelayanan atau tindakan.
“Dr. Chandra jelas melanggar peraturan itu karena menurut catatan harian dan instruksi dokter sejak tertanggal 28 Juli 2003 terlihat dengan jelas siapa nama dokter dan petugas yang memberikan pelayanan,” katanya lagi.
Masih banyak lagi, tindakan pengobatan yang dipermasalahkan Gunawan. Seperti pemberian obat jantung serta pencatatan administrasi RSIB yang menurunya sangat ceroboh.
Dimintai komentar tentang kasus ini, pihak RSIB tidak bersedia memberi keterangan. “Semua sudah diserahkan pada kuasa hukum kami,” kata drg. Nailufar yang juga Manajer Humas RSIB.
Kini, sehari-harinya, Irwanto terbaring lemah di kamar tidur. Lelaki yang sering melakukan penelitian tentang anak, remaja dan narkoba itu tidak lagi bisa melakukan aktivitasnya. “Saya sebenarnya tidak terlalu bernafsu untuk menggugat dokter Chandra itu. Saya hanya ingin agar kasus seperti ini tidak terjadi lagi pada orang lain,” akunya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved