Dewan Perwakilan Rakyat bersama pemerintah akhirnya menyetujui Rancangan Undang-undang Mahkamah Konstitusi. Hal itu setelah DPR menyetujui rumusan pasal 16 ayat (1) huruf b mengenai persyaratan calon hakim konstitusi dan pasal 49a mengenai pembatasan undang-undang yang dapat diuji seperti usulan pemerintah.
Hal ini dicapai dalam rapat paripurna luar biasa DPR yang dipimpin Wakil Ketua DPR Soetardjo di gedung MPR, Rabu (6/8) pukul 23.15 Berdasarkan daftar absensi pada awal rapat, tercatat hanya 278 dari 497 anggota DPR hadir dengan sembilan fraksi di DPR terwakili.
Seperti ditulis Kompas, sebelum dicapai persetujuan itu, pimpinan DPR dengan para pimpinan fraksi mengadakan lobi internal sekitar tujuh menit. Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza mahendra dan Jaksa Agung MA Rachman selaku wakil pemerintah tidak mengikuti lobi tersebut. Setelah tercapai kesepakatan internal, Soetardjo mengumumkan bahwa pimpinan fraksi sepakat mengenai pasal usulan pemerintah.
Dengan demikian, syarat calon hakim konstitusi disepakati harus berpendidikan sarjana hukum. Selain itu, undang-undang yang dapat dimohonkan untuk diuji kepada Mahkamah Konstitusi adalah undang-undang yang diundangkan setelah amandemen UUD 1945.
Ketika Soetardjo akan meminta persetujuan kepada para anggota DPR, anggota F-PDIP Didi Supriyanto menginterupsi menyampaikan nota keberatan (minderheitsnota) atas hasil lobi tersebut. "Kami anggap jika pasal 49a itu seperti usulan pemerintah maka justru akan terjadi diskriminasi. Menurut saya, obyek pertama yang akan diuji adalah pasal itu sendiri," kata Didi.
Meskipun demikian, seluruh anggota DPR setuju dengan rumusan yang diajukan pemerintah. Yusril Ihza Mahendra selaku wakil pemerintah akhirnya setuju dengan RUU tersebut. Menurut catatan Kompas ini merupakan preseden pertama sebuah RUU disetujui secara bersama-sama antara DPR dengan pemerintah. Biasanya, RUU dianggap sudah sah jika disetujui oleh DPR.
Pada awal rapat paripurna luar biasa ini, pandangan akhir yang disampaikan wakil sembilan fraksi DPR belum mengerucutkan kesepakatan atas keseluruhan materi RUU MK, terutama atas pasal 16 ayat (1) huruf b dan pasal 49a. Juru bicara Fraksi Reformasi Zulkifli Halim secara eksplisit memilih bertahan pada usulan bahwa syarat seorang hakim konstitusi tidak mesti seorang sarjana hukum karena pembatasan seperti itu justru mereduksi ketentuan yang disebutkan konstitusi.
Sementara, Fraksi PDI Perjuangan yang sejak awal mempersoalkan tidak perlunya pembatasan undang-undang yang bisa diuji mendapatkan dukungan dari Fraksi Kesatuan Kebangsaan Indonesia F-KKI). Juru bicara F-KKI Tjetje Hidayat Padmadinata menegaskan, pembatasan undang-undang yang dapat di-judicial review tidak diperlukan.
Yusril lebih lanjut mengatakan, setelah RUU ini ditandatangani Presiden Megawati Soekarnoputri untuk diundangkan, pemerintah segera melaksanakan rekruitmen tiga hakim konstitusi dari presiden. Dengan demikian, sebelum 17 Agustus 2003 sudah ada tiga hakim konstitusi dari presiden dan diharapkan hal sama dilakukan oleh DPR dan Mahkamah Agung.
Secara terpisah Ketua Komisi II DPR Agustin Teras Narang mengemukakan bahwa pada Kamis (7/8) ini, Komisi II akan langsung mengadakan rapat intern membahas mekanisme dan tata tertib rekruitmen hakim konstitusi dari DPR. Dijadwalkan pada tanggal 13-14 Agustus dilaksanakan fit and proper test terhadap para calon hakim konstitusi. "Dengan demikian, pada 15 Agustus, tiga hakim konstitusi dari DPR sudah dapat disahkan di rapat paripurna DPR," kata Teras Narang.
Sebelumnya Rabu siang, Menkeh HAM Yusril Ihza Mahendra dan Jaksa Agung MA Rachman menemui Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Soetardjo Soerjogoeritno di Gedung MPR/DPR. Yusril menyampaikan surat perihal pengambilan keputusan atas RUU MK yang memungkinkan tidak sinkronnya ketentuan UUD 1945 dengan Peraturan Tata Tertib DPR
© Copyright 2024, All Rights Reserved