Mutiara adalah salah satu komoditas unggulan dari sektor kelautan dan perikann yang bernilai ekonomis tinggi. Selain itu, bisa menjadi prospek pengembangan usaha di masa depan. Sebab, permintaan perhiasan dari mutiara dan harganya terus mengalami peningkatan. Sehingga usaha budidaya mutiara mampu memberikan economy benefit yang luas bagi masyarakat. Namun begitu, hingga kini industri mutiara dalam negeri masih mengalami tekanan yang berat. Hal ini lantaran masuknya mutiara asal Tiongkok dengan jenis Fresh Water yang kualitasnya yang rendah.
Direktur Pengembangan Produk Non-Konsumsi Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Kelautan dan Perikanan (KKP) Maman Hermawan mengatakan, pada periode 1980-an, mutiara asal Indonesia yang berjenis South Sea Pearl (SSP) dipatok dengan harga US$120 per gram. Tapi, sejak masuknya mutiara asal Tiongkok ini, harga mutiara Indonesia turun drastis. Saat ini di pasar dunia harga mutiara jenis SSP hanya dipatok antara US$17-US$18 per gram.
"Buruknya lagi, peredaran mutiara Fresh Water di Indonesia justru merusak citra mutiara SSP yang memang dihasilkan di Indonesia dan memiliki kualitas jauh lebih bagus. Banyak pembeli yang tertipu saat membeli mutiara di Indonesia. Jadi seolah-oleh mereka membeli mutiara asli SSP dari Indonesia dan harganya sangat murah. Ternyata sampai negaranya, itu mutiara Fresh Water dari Tiongkok. Kehadiran mutiara Tiongkok ini pun mampu merusak citra mutiara asli dari Indonesia," katanya kepada politikindonesia.com, di Jakarta, Jumat (07/08).
Menurutnya, mutiara-mutiara asal Tiongkok itu juga sudah masuk ke kantong-kantor produksi di dalam negeri, khususnya kawasan timur, seperti NTB dan Pulau Komodo. Tak heran, kalau banyak masyarakat yang menggunakan mutiara Fresh Water hanya karena ketidaktahuan masyarakat dan harganya pun lebih murah dari mutiara asli asal Indonesia. Sebab, saat ini mutiara SSP dipatok dengan harga antara USD18-USD19 dolar per gram. Sedangkan mutiara Tiongkok itu bisa hanya 0,0 sekian dolar per gram.
"Mahalmya harga mutiara. SSP Indonesia karena memiliki keunikan berupa warna dan kilauannya mempesona serta abadi sepanjang masa. Sehingga jenis ini sangat digemari di pasar internasional. Karena biasanya mutiara jenis ini diperdagangkan dalam bentuk perhiasan. Dari segi volume, kita merupakan produsen SSP terbesar di dunia. Bahkan, kita mampu memasok 43 persen kebutuhan dunia," ungkapnya.
Dijelaskan, Indonesia memang merupakan negara penghasil SSP yang berasal dari tiram Pinctada maxima. Sentra pengembangan Pinctada maxima di Indonesia tersebar di beberapa daerah, yaitu Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, Sumatera Barat, Lampung dan Papua Barat.
"Di beberapa sentra penghasil mutiara, sisa hasil pemanfaatan budidaya mutiara tidak dibuang begitu saja. Sisa limbahnya kembali dimanfaatkan dan dikembangkan seperti usaha kerajinan kulit kerang mutiara untuk aneka asesoris, usaha serbuk mutiara untuk kosmetik dari sisa hasil penggergajian kulit tiram mutiara, bahan untuk cat kendaraan dan lainnya," tukas Maman.
Saat ini, katanya, Indonesia masih menempati urutan ke-9 dunia di bawah India, Jepang, Tiongkok, Australia, Tahiti, Swiss, Amerika dan Inggris. Adapu nilai ekspornya sebesar USD25,8 juta atau 2,04 persen dari total nilai ekspor seluruh jenis mutiara di dunia yang mencapai USD1,2 miliar. Untuk negara tujuan ekspor mutiara Indonesia adalah Hongkong, Australia, Jepang, Thailand, Korea Selatan.
"Pada tahun 2015 ini, kami nilai ekspor mutiara asal Indonesia sebesar USD30 juta. Angka tersebut mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya yang hanya sebesar USD25,8 juta. Selama ini harga pasar mutiara dunia masih menurun akibat krisis global pada 2008. Namun saat ini harga mutiara mulai membaik terutama Mutiara Akoya dan SSP. Hal ini disebabkan permintaan pasar Tiongkok dan Amerika yang tinggi sehingga secara perlahan memulihkan harga mutiara di dunia," pungkasnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved