Hawa dingin kota Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai, pulau Flores, NTT, nampaknya tak bisa mendinginkan emosi warga, pada Rabu (10/3) pagi Pkl 09.30 Wita. Sekitar 400 massa dari Desa Colol, Kecamatan Poco Ranaka, 16 Km arah timur kota Ruteng, mendatangi Mapolres Manggarai di kawasan pertokoan dengan menumpang 4 truk. Setiba di Mapolres, Kapolres Manggarai AKBP, Boni Tompoi minta massa untuk nego. Maksudnya, massa diwakili beberapa orang untuk berdiskusi dengan Kapolres tentang apa maksud aksi demo tersebut.
Tapi, di luar dugaan, massa berhamburan dari truk sembari menghunuskan parang dan pedang. Mereka merusak pos jaga polisi, kaca ruang Panwaslu dan ruangan Kapolres untuk memantau Operasi Mantan Bharata Pemilu 2004, lalu coba merengsek terus ke arah gudang senjata. Polisi kaget bukan main dan mundur mengamankan gudang senjata.
Kapolres, Boni Tompoi yang saat itu tak membawa senjata ditarik salah seorang bintara agar secepatnya mengambil senjata, karena massa nampak sangat beringas dengan parang dan kelewang terhunus. Lalu, Kapolres mengambil senjata dan melepaskan tembakan peringatan berulang-ulang ke udara dingin kota Ruteng. Tapi, massa bukannya kecut, melainkan makin beringas mendekati gudang senjata. Seorang pendemo yang ditaksir berusia 60 tahun berusaha mendekati Kapolres sembari mengancamnya dengan parang. Tapi, Kapolres tidak menembak. Perwira menengah polisi yang sudah bertugas tiga tahun di daerah tersebut, berusaha menghindar sambil menjatuhkan parang pria berusia 60 tahun itu dengan pukulan popor senjata. Tapi, astaga ! Ketika memukul parang di tangan pria itu, Kapolres kehilangan keseimbangan, lalu jatuh sempoyongan. Pada detik-detik krusial itu, seorang pendemo lainnya berusaha menebas Kapolres, tapi keburu dilumpuhkan seorang bintara, sehingga nyawa Kapolres selamat. “ Kalau tidak ditolong, saya jadi korban pertama insiden ini “, ujar Kapolres.
Di tengah kepanikan tersebut, Kapolres masih sempat berteriak mengimbau massa agar jangan merengsek maju. Tapi, namanya massa, bukannya jadi kecut mendengar tembakan peringatan, melainkan makin gila mengobrak-abrik Mapolres. Akhirnya, Kapolres hanya punya satu pilihan. Yakni, mengomando anak buahnya untuk menembak ke kaki.
Tembakan dar dor der itu menyebapkan tiga pendemo tewas di tempat dan dua lainnya tewas di rumah sakit. Korban tewas adalah: Frans Magur (60), Yosef Tatuk (23), Vitalis Jarut (23) , Domi Amput (40) dan Maximus Toi (45). Sedangkan empat polisi luka berat kena sabetan parang dan lemparan batu, yakni: Bripda Simson Bang, Brigpol Arifin Revo, Bripda Adrianus Jakar dan siswa (polisi) Ristu Benu.
Mengetahui ada korban jatuh dan polisi menembak betulan, akhirnya massa mundur dan situasi keamanan bisa dikendalikan Pkl.10.00 Wita, sebelum datang bantuan 50 personil TNI dari Kodim Ruteng. Bupati Manggarai, Drs. Anthony Bagul Dagur sedang mengikuti misah arwah mengenang almarhum Pastor Bernardus Djabun, ketika insiden pecah. Bupati tiba di Mapolres Pkl.12.25 Wita, lalu disusul Kapolda NTT, Brigjen Polisi Edward Aritonang Pkl. 16.15, menumpang helikopter Polri dari Kupang.
Menurut Kapolres, insiden tersebut tak terduga sebelumnya. Pasalnya, pada Pkl.08.00 Wita, Rabu (10/3), ia diinfo staf bahwa ada permintaan demo dari warga Kecamatan Poco Ranaka. Kapolres sempat menolak, karena polisi dalam posisi Siaga I pengamanan Pemilu. Apa lagi, keesokan harinya, Kamis (11) berlangsung pawai pembukaan kampanye Pemilu 2004. Tapi,setelah berkonsultasi via telpon dengan Kapolda NTT, Brigjen Polisi, Edward Aritonang, Kapolres akhirnya memberi izin demo. “ Katanya mau demo damai. Masalahnya apa, tidak dijelaskan “, tutur Kapolres. Tapi, yang terjadi, justru massa berlompatan dari truk sembari menghunus parang dan kelewang dan menyerang Mapolres.
Menurut Kapolres, ia siap bertanggung jawab dalam insiden ini. “ Saya siap dipecat dan diadili. Itu resiko pimpinan “, tandasnya. Ia juga menegaskan, polisi sudah bertindak secara prosedural untuk menghalau massa. Tapi, lantaran massa terus merengsek maju dan membahayakan keselamatan polisi, ya, tak ada pilihan lain, kecuali ditembak di kaki.
Pandangan senada dilontarkan Kapolda NTT, Brigjen Polisi Edward Aritonang. “ Kita tak bisa biarkan tindakan anarkis. Apa lagi jelang Pemilu “, paparnya. Ia mengatakan polisi bertindak prosedural menghalau massa, dengan meminta nego , tembakan peringatan dan tembak di kaki. Tapi, massa terus merengsek maju. “ Jadi, ada yang kena. Tembaknya ke kaki, tapi bisa saja ada yang meleset ke tubuh “, ujar Kapolda.
Kini, polisi masih berupaya menginvestigasi motif unjuk rasa berdarah itu. Kuat dugaan, massa marah karena, sehari sebelumnya, Selasa (9/3) polisi menahan 7 warga desa Pangleleng--- 4 wanita dan 3 pria--- yang tertangkap menebang kayu di hutan lindung Banggarangga. Ke-7 warga itu ditangkap polisi Jagawana ( Polisi Khusus kehutanan), lalu diserahkan ke polisi untuk diproses. “ Rencananya ke- 7 tersangka diperiksa Rabu (10/3), tapi ada kerusuhan, batal “, tutur Kapolres.
Kapolres menganalisis, bisa saja ada motif lain yang menyulut demo massa, selain kasus penahanan ke-7 warga. Pasalnya, ke-7 warga itu berasal dari Desa Pangleleng, sedangkan yang berdemo adalah warga Desa Colol. “ Ini bikin saya bingung. Yang ditahan warga desa lain, tapi yang demo warga desa lain “, ujarnya.
Dugaan sementara, aksi demo berujung maut itu disebapkan rasa tak puas warga atas kebijakan Pemerintah Kabupaten Manggarai yang membabat tanaman kopi milik warga dalam kawasan hutan lindung. Tanaman kopi tersebut dikelola warga secara turun-temurun berpuluh tahun lamanya, tapi sudah dibabat Pemerintah Kabupaten Manggarai, sejak medio 2003 silam.
Warga yang paling dirugikan dalam aksi pembabatan kopi itu, ya, warga Desa Colol. Itulah sebapnya, mereka menunggu momen yang pas untuk beraksi, ketika 7 warga Desa Pangleleng ditangkap polisi Jagawana dan ditahan polisi, mereka menyerang Mapolres. Targetnya, ya, agar ke-7 tersangka dibebaskan dan sebagai pelampiasan amarah atas kebijakan Pemerintah Kabupaten Manggarai yang membabat tanaman kopi mereka.
Kebijakan Pemerintah Kabupaten Manggarai membabat tanaman kopi rakyat dalam kawasan hutan lindung, diakui Bupati Manggarai, Drs. Anthony Bagul Dagur, sebagai upaya mengamankan UU no.41/Tahun 1999 tentang kehutanan. Kebijakan itu ditentang secara luas yang memicu demo tak hanya di Ruteng, ibu kota Manggarai, tapi juga oleh mahasiswa asal Manggarai di kota Kupang. Tak hanya itu, warga Colol juga kini sedang menggugat Pemerintah Kabupaten Manggarai di PTUN Cabang Kupang.
Keterangan yang dihimpun, menyebutkan, daya tolak warga terhadap kebijakan Pemerintah Kabupaten Manggarai yang membabat tanaman kopi rakyat dalam kawasan hutan lindung, sedikit atau banyak ikut memicu demo yang berujung pertumpahan darah tersebut. Daya tolak warga tersebut, pada pekan-pekan terakhir ini, antara lain ditandai dengan gelar Musyawarah Besar Serikat Petani Manggarai pada pekan terakhir Pebruari silam. Mubes itu menghasilkan seruan yang berisikan penolakan terhadap pencaplokan tanah rakyat, pemanfaatan hutan secara sepihak dan pemanfaatan personil TNI dan Polri sebagai preman bayaran. Sekedar diingat, TNI dan Polri dilibatkan Pemerintah Kabupaten Manggarai dalam operasi pembabatan tanaman kopi petani di kawasan hutan lindung, medio 2003 silam.
Meski sampai kini diduga aksi demo tersebut dipicu kasus pembabatan kopi petani dan penahanan 7 warga yang merambah kawasan hutan, namun baik Kapolres Manggarai dan Kapolda NTT, belum bisa memastikan apa motif sesungguhnya dari kasus berdarah tersebut. “ Kita akan turunkan tim untuk investigasi kasus ini “, papar Kapolda.
Sampai Jumat (12/3) situasi kota Ruteng, relatif aman. Aktivitas kantor, sekolah sudah berlangsung normal. Sedangkan, aktivitas pasar dan pertokoan belum sepenuhnya bergeliat. Pawai pembukaan kampanye Pemilu pada Kamis (12/3) juga berlangsung aman. Sementara, mayat korban kerusuhan sudah diserahkan kepada pihak keluarga oleh personil TNI. Pihak Pemerintah Kabupaten Manggarai berjanji memberikan duit duka kepada keluarga korban. Sedangkan, Polres Manggarai menjatahkan uang duka masing-masing korban senilai Rp.500.000.
Aksi kerusuhan di kota Ruteng itu memantik rasa kecewa Bupati Manggarai, Drs. Anthony Bagul Dagur. “ Itu tindakan makar. Tiba-tiba saja rakyat menyerang. Saya heran, mengapa rakyat jadikan pemerintah sebagai musuh “, ujarnya. Sedangkan Uskup Ruteng, Mgr. Eduardus Sangsun, SVD, mengimbau umat Katolik setempat agar menahan diri di tengah masa puasa.
Sampai kini, polisi belum menangani kasus kerusuhan ini. “ Kita sembuhkan dulu korban yang sakit. Baru kita periksa saksi – saksi yang terkait kasus ini “, kata Kapolres Manggarai. Betul Pak Kapolres. Tapi, yang lebih prinsip adalah mencari tahu dan menyembuhkan luka yang memicu aksi demo tersebut.
© Copyright 2024, All Rights Reserved