Berdasarkan berbagai indikator ekonomi, Indonesia dikategorikan dalam tren menuju resesi. Kondisi resesi tidak harus ditunjukkan dengan pertumbuhan ekonomi yang selalu negatif dalam dua kuartal berturut-turut.
Pendapat itu disampaikan ekonom Indonesia Green Investment Collectives (IGIco) Martin Panggabean di Jakarta, Selasa (16/06).
“Indikator resesi juga bisa dilihat dari berbagai indikator lain, seperti pelemahan nilai tukar, perkembangan suku bunga, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), harga komoditas, jumlah cadangan devisa, kondisi likuiditas, dan nilai properti,” ujar dia.
Menurut Martin, neraca dagang yang surplus serta kondisi inflasi yang relatif rendah bukan alasan bagi pemerintah untuk bersikap santai. Sebab, kedua indikator tersebut hanya sebagian kecil hal yang menunjukkan kondisi ekonomi Indonesia yang sebenarnya.
Martin menyebut saham sektor properti misalnya, saat ini industri ini sedang turun. Indikator-indikator itu menunjukkan, kalau dalam satu tahun terakhir suku bunga pinjaman relatif naik, nilai tukar melemah, bursa saham melemah, pertumbuhan kredit turun, begitupun harga komoditas menurun.
"Pelambatan ini sudah terindentifikasi sejak empat kuartal lalu," ujar Martin.
Martin menyimpulkan, berdasarkan indikator-indikatior tadi Indonesia harus segera keluar dari zona resesi. Upaya untuk keluar dari tren resesi ini bukan hanya kewenangan pemerintah di sektor fiskal dan Bank Indonesia di sisi moneter saja.
Namun kementerian terkait yang berkontribusi dalam perkembangan sektor riil dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam menjaga kondisi pasar keuangan. Tertekannya saham di sektor perbankan adalah dampak dari indikator ekonomi yang tertekan.
“Kondisi ini tidak lantas membuat investor harus panik. Sebab, saat ini pasar finansial tetap menarik, meski investor dituntut mempunyai strategi sektoral yang tepat,” pungkas Martin.
© Copyright 2024, All Rights Reserved