Masalah keterwakilan perempuan dalam politik yang nyaris setiap pemilu tak pernah mencapai 30% ternyata tak semata problem dalam internal partai politik. Permasalahan ini tak berdiri sendiri karena ternyata ada masalah di dalam internal parpol yang belum teratasi.
Semangat reformasi yang ingin membuat segala proses menjadi transparan dan terbuka membuat sistem politik di Indonesia juga berubah drastis. Proses perubahan ini juga menjadi faktor eksternal yang membawa perubahan besar dalam partai politik, konstituen dan model pemilihan di Indonesia.
Kaukus Perempuan Politik Indonesia yang beranggotakan aktivis perempuan dari berbagai partai politik menyoroti berbagai problem politik di Indonesia, termasuk bahwa hari ini proses demokrasi di internal partai juga tidak berjalan.
Endah Lismartini dari politikindonesia.id mewawancarai Kanti W Janis, politisi perempuan dari PDIP yang juga menjabat sebagai Ketua Presidium Kaukus Perempuan Politik Indonesia. Berikut wawancaranya:
Sebenarnya apa problem yang terjadi sehingga setiap 5 tahun soal jumlah keterwakilan perempuan selalu jadi isu?
Pertama, karena sistem pemilunya harus suara terbanyak. Karena suara terbanyak berarti dia harus populer. Konsekuensi untuk populer, maka dia harus punya alat-alat propaganda yang banyak. Itu sudah mahal. Supaya populer berarti sebagai caleg harus konsolidasi sampai ke daerah-daerah.
Kedua, sistem pemilihan yang terbuka. Sistem ini membuat mesin-mesin partai tidak bisa diberdayakan. Karena setiap orang maju atas nama pribadi. Kalau dulu zaman sistem tertutup kan mesin partai bergerak, karena yang dicoblos adalah lambang partai.
Kalau kita bandingkan dengan negara lain seperti Malaysia dan Thailand, yang bergerak di sana itu adalah mesin partai, bukan yang lain. Jadi enggak ada yang namanya tim pemenangan. Sebagai calegpun timnya adalah orang-orang partai, sampai level ranting. Mesin partai itu kan bergerak dari provinsi sampai ranting. Artinya banyak banget yang bisa digerakkan. Bisa sampai jutaan. Pengurus parpol saja sudah bisa sejuta. Artinya ada satu juta orang yang siap bergerak memenangkan parpol.
Artinya untuk partai sebenarnya lebih menguntungkan sistem tertutup?
Sistem tertutup untuk Pileg. Kalau sistem terbuka untuk eksekutif. Kalau eksekutif jelas dipilih langsung. Seperti di Amerika. Kalau legislatif tidak ada pemilihan langsung. Kalau eksekutif karena yang akan mengambil keputusan dia, jadi kita memilih seseorang, terutama sosoknya. Tapi kalau legislatif enggak begitu.
Menurut saya sistem terbuka ini tidak menguntungkan juga. Karena nanti kalau sudah duduk di parlemen, para anggota legislatif ini tidak bisa bersuara atas nama aspirasi mereka sendiri. Hasil keputusan mereka adalah hasil berunding dengan partai. Dan selalu seperti itu. Ini kan konyol. Dia tidak punya kewenangan dia sendiri. Jadi sudah mahal, bikin kita ricuh dan enggak fokus, jadi sibuk bertempur di dalam urusan pemilu saja, dan akhirnya urusan yang lebih urgen terabaikan.
Saat ini kita sudah krisis pangan, krisis air, banyak konflik keamanan terjadi di mana-mana. Di Papua, di daerah perbatasan, dan itu semua tidak terpegang. Jadi apapun keputusan politik itu hanya diambil setiap lima tahun sekali. Kemarin ada food estate, lalu ada IKN, lalu ada bagi-bagi bansos, itu hanya untuk kepentingan lima tahun sekali. Bukan jangka panjang. Pokoknya harus menang untuk saat ini. Urusan 50 tahun ke depan, 100 tahun ke depan, itu urusan nanti. Yang penting saat ini gue menang. Jadi sekarang udah kayak begitu.
Beberapa waktu lalu kan sempat ada usulan lagi untuk pemilihan caleg kembali ke sistem pemilihan tertutup. Tapi ternyata resistensinya tinggi. Itu bagaimana?
Nah itu resistensi tinggi karena banyak yang enggak jujur saja. Karena saya kan di Kaukus Perempuan Politik Indonesia ini semua anggotanya kan anggota parpol. Ada pengurus parpol, aktivis parpol, dan kami semua lebih setuju sistem pemilihan tertutup. Sekarang dengan sistem pemilihan terbuka efeknya apa? Toh mereka nanti juga tidak bisa bicara untuk diri sendiri. Karena memang kalau sudah duduk di parlemen tidak bisa bicara untuk kepentingan sendiri. Karena kan mereka memang perwakilan. Jadi hanya membawa badan, membawa mulut, tapi ketika bicara tidak bisa bicara aspirasi sendiri. Mereka harus menyerap aspirasi dari bawah, lalu dikonsultasikan dengan partai, baru setelah itu bisa bicara di parlemen.
Benarkah sistem pemilihan terbuka ini juga yang membuat partai jadi lebih pragmatis karena memilih orang-orang yang sudah terkenal supaya caleg mereka bisa banyak terpilih?
Iya. Itu semua kan berubah gara-gara dulu zaman reformasi, kemudian ada amandemen UUD 45. Waktu itu kan yang mau dituju adalah masa jabatan presiden hanya boleh dua periode, titik. Tidak boleh lebih dari dua kali. Tapi akhirnya bablas semua. Pasal-pasal lain ikut terbawa untuk pemilihan langsung dan terbuka. Jadi itu memang ekses-ekses dari reformasi 98, karena saat itu semua eforia. Kita semua bisa atur, dari rakyat untuk rakyat, tanpa berpikir jangka panjang.
Hal itu memang ada yang mendesain. Ada kelompok-kelompok pelobi dari luar negeri yang memang ingin ikut mengubah itu. dan itu semua ada kok sejarahnya.
Jadi sekarang sudah seperti lingkaran setan ya? Tidak jelas dari mana awalnya dan bagaimana mengakhiri ini?
Makanya kita memang harus cepat-cepat bangun, harus cepat-cepat sadar untuk bisa segera memperbaiki masalah kita yang sudah ribet ini, rusaknya sudah puluhan tahun dan mengobatinya juga butuh waktu. Jadi mengobatinya juga enggak bisa instan. Butuh pendidikan dan pendidikan terus.
Parpol enggak punya sistem yang bisa memberikan edukasi langsung ke publik?
Parpol sendiri juga sudah, apa ya? Singkatnya, demokrasi di dalam partai politik sendiri sudah tidak berjalan. Banyak keputusan hanya ditentukan oleh segelintir orang saja yang merasa mereka adalah pemilik parpol. Dan ini terjadi di seluruh partai politik.[]
© Copyright 2024, All Rights Reserved