Meski usianya tidak terbilang muda lagi, gaya bicaranya tetap saja lugas. Terkadang sangat lantang malah. Apalagi jika itu menyangkut aspirasi masyarakat dari daerah pemilihannya, Papua. Kalau sudah begitu, kadang ia bisa bersuara tegas. Tak peduli siapa lawan bicaranya, pasti diajak berdebat. Itulah kiprah sehari-hari Etha Bulo di Komisi V Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Kehadiran ibu empat anak di komisi yang membidangi sektor perhubungan, telekomunikasi, pekerjaan umum, perumahan rakyat, pembangunan pedesaan dan kawasan tertinggal tersebut seakan memberi warna tersendiri dalam rapat-rapat komisi. Mantan anggota Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi ini dari Partai Pelopor yang kini telah menjadi kader Partai Demokrat ini terkenal sebagai wakil rakyat yang rajin. Dalam rapat-rapat komisi, wanita yang akrab disapa Bunda Etha itu tak pernah absen.
Bunda Etha bukanlah kelahiran Papua. Dia lahir di Kolaka, Sulawesi Tenggara, 21 April 1950. Sebuah kebetulan tanggal dan bulan lahirnya sama dengan pahlawan nasional, Kartini. Meski bukan asli Papua, istri dari Alex Mapalay dikenal sangat sebagai tokoh yang sangat gigih memperjuangkan kepentingan masyarakat Papua.
Tak ada maksud menghianati tanah leluhurnya, Tana Toraja. Kecintaannya terhadap Papua, semata-mata lebih didasarkan pada keterpanggilan dalam menolong sesamanya yang jauh lebih menderita akibat masih timpangnya pelaksanaan pembangunan. Padahal daerah di ujung Timur Nusantara ini dikenal sebagai daerah yang kaya akan hasil tambang. Sungguh ironis, mayoritas masyarakatnya masih hidup secara tradisional.
Tak jarang, Bunda Etha meneteskan air mata ketika ketidakadilan, kesewenang-wenangan dan ketidakpedulian menerpa masyarakat Papua. Itulah yang mendasari tekadnya untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat Papua. Kegigihannya patut diancungkan jempol. Tak mudah, mencari figur politikus wanita yang mau naik turun gunung, menuruni lembah pedalaman dengan pesawat carter tua yang rawan mengalami kecelakaan untuk mengunjungi konstituennya.
Bunda Etha meyakini, baktinya kepada negeri dan Tuhan membebaskannya dari rasa takut. Tak heran pula jika masyarakat suku Dani di Lembah Baliem, menggelarinya sebagai Puteri Baliem. Itu jauh sebelum ia terjun ke kancah politik. Penobatannya dilakukan secara adat resmi, dihadiri para kepala suku dan tetua adat setempat.
Di sebuah sudut ruangan di lantai 21 Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta pada Jumat (05/02), 'Kartini dari Papua'i ni bercerita panjang lebar tentang motivasi dan cita-cita perjuangannya terjun ke kancah politik. Kepada Sapto Adiwiloso dari politikindonesia.com ia membeberkannya. Berikut petikannya:
Apa motivasi anda menjadi anggota parlemen?
Saya mewakili daerah pemilihan Papua. Karena itu motivasi utamanya adalah bagaimana mengangkat ketertinggalan masyarakat Papua. Kehadiran saya parlemen juga untuk menyalurkan aspirasi masyarakat Papua, khususnya Papua Tengah.
Anda bukan asli Papua, mengapa berjuang untuk Papua?
Saya memang bukan orang Papua. Tetapi sejak lama saya telah memendam keprihatinan terhadap masyarakat Papua. Jujur, saya mulanya juga tak punya keinginan terjun ke politik. Bisnis saya dulu adalah ekspor-impor. Tetapi setelah berumur 54 tahun, anak-anak sudah kerja dan mandiri, muncul keinginan saya untuk pergi ke Papua.
Disana saya mengajar masyarakat yang masih buta huruf. Itu tahun 2003, pertama kalinya saya datang ke Papua. Saya datangi rumah camat, mengumpulkan masyarakat sekitar dan mengajar mereka yang buta huruf. Masyarakat Papua lah yang mendorong saya untuk masuk ke DPR RI. Mereka beralasan jika saya duduk di DPR RI aspirasi mereka akan terwakili. Ajakan itu pun saya penuhi. Saya sadar, mengubah masyarakat Papua, tak cukup hanya dengan mengabdikan diri di sana tetapi juga harus terlibat dalam membuat kebijakan-kebijakan politik di tingkat pusat. Untuk itu, saya masuk ke parlemen.
Bagaimana kiatnya anda bisa bertahan dalam dua periode di parlemen?
Sederhana. Saya meyakini ajaran yang mengatakan dimana engkau menabur, maka di situlah engkau akan menuai. Jadi kita bekerja dan menunjukkan kinerja. Mereka yang menilai. Dalam periode kedua ini konstituen kembali memberikan kepercayaan, maka kami meyakini bahwa apa yang telah kami tabur, telah tiba saatnya pula kami tuai.
Peluang dan kesempatan perempuan terjun ke politik makin terbuka, mengapa jumlahnya sedikit? Bagaimana prospek ke depannya?
Tergantung individu masing-masing. Saya termasuk orang yang tidak setuju jika ada diskriminasi dalam kesempatan berpolitik. Artinya, untuk duduk di parlemen, di tingkat pusat, provinsi maupun kabupaten/kota, caleg perempuan harus bekerja keras. Sama halnya dengan caleg laki-laki. Jangan karena dia caleg perempuan lantas dipermudah atau diberi prioritas tertentu.
Akibatnya nanti cengeng. Jadi harus tetap proporsional. Siapa yang mendapatkan suara terbanyak, maka dia harus mendapatkan kursi di parlemen. Dengan sistem proporsional semacam itu maka perempuan tidak boleh manja atau bermalas-malasan. Kita berkompetisi secara fair. Siapa yang mendapatkan suara terbanyak, maka dialah yang masuk.
Apa yang anda perjuangkan di parlemen?
Motivasi awal saya, bagaimana memajukan masyarakat Papua. Begitu saya dilantik, yang terbayang dalam benak saya adalah bagaimana agar kebijakan-kebijakan pemerintah itu mulai mengarah ke wilayah-wilayah yang tertinggal, termasuk kabupaten-kabupaten yang ada di dapil saya. Ironisnya, ketertinggalan itu ada di semua lini. Sementara potensi yang kami miliki, luar biasa. Tetapi mengapa mereka masih juga mengalami ketertinggalan seperti itu? Inilah yang memprihatinkan saya. Menurut hemat saya, Papua tidak hanya membutuhkan pembangunan infrastruktur tetapi juga bimbingan langsung bagi masyarakatnya.
Dalam kunjungan kerja saya di daerah pemilihan, saya datangi para kepala suku. Saya bilang, mengapa di Pulau Jawa lebih maju dibanding Papua? Ya karena SDM (Sumber Daya Manusia-red)nya bagus. Untuk bisa seperti itu harus berpendidikan. Harus bersekolah. Memang para bupati, khususnya di wilayah pegunungan Papua telah membangun banyak sekolah di tingkat kecamatan. Persoalannya, tidak ada guru yang mau datang. Karena itu, saya mengusulkan untuk mendirikan sekolah di ibukota kabupaten dimana para siswanya diasramakan.
Di antara sekian banyak prioritas pembangunan di sana, mana yang menurut anda harus diprioritaskan?
Ada dua hal. Yakni prioritas pembangunan di daerah pesisir dan pegunungan. Hambatan utama pembangunan di wilayah pegunungan yakni belum adanya akses jalan darat. Satu-satunya transportasi, lewat udara. Akibatnya, semua menjadi begitu mahal. Untuk mendatangkan aspal, semen dan material bangunan yang lain harus melalui pesawat. Berbeda dengan wilayah pesisir, disamping melalui laut, ada akses jalan darat.
Jika demikian, berarti hambatannya karena faktor alamnya?
Benar. Medan geografisnya sangat berat. Meski demikian, saya bersama teman-teman di Komisi V tengah mengupayakan membuka akses jalan darat di Kabupaten Jayawijaya. Nantinya akan menghubungkan sembilan kabupaten di sana. Untuk sementara tak perlu membangun jalan yang bagus, karena mahalnya mendatangkan bahan material tersebut. Poin pentingnya, akses antarkabupaten akan terbuka dan mereka dapat saling bersosialisasi.
Sejauhmana peran Kementrian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal (Meneg PDT) dalam merealisasikan program-program pembangunan di sana?
Dulu orang Jawa, Sumatera, atau Sulawesi tidak mau dibilang orang miskin. Sekarang semua justru mau menyebut dirinya miskin. Kenapa? Ada anggaran di situ. Di antara wilayah Indonesia Timur, kamilah yang paling tertinggal. Setelah itu, Maluku Utara, NTT. Kalau dibandingkan Jawa dan Sumatera kan jauh. Harusnya ini yang diprioritaskan. Tetapi Kementrian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal kan juga masih mengurus daerah lain di Jawa dan Sumatera.
Apakah dalam pelaksanaannya, program-program Meneg PDT tidak berbenturan dengan pelaksanaan otonomi daerah?
Tidak. Justru saling melengkapi. Seyogyanya begitu. Menurut saya, yang harus memegang peran utama di Papua adalah Kementrian Sosial, karena kemiskinan yang ada. Kementrian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal memberikan masukan ke Kementrian Sosial tentang kantong-kantong kemiskinan tadi. Tapi saya lihat belum saling bersinergi.
Bagaimana dengan kementrian lain?
Kalau di tingkat pusat sudah bagus. Tetapi dalam pelaksanaan di daerah, masih perlu pengawasan dan bimbingan. Pejabat di sana, ketika sudah berada di level puncak, biasanya lupa rakyat. Kanapa? Ada perubahan budaya yang mendadak dari jaman batu ke jaman komputer. Tidak ada tahap-tahapan yang semestinya. Jadi ada kekagetan budaya di sana.
Lantas apa yang dilakukan untuk meminimalisirnya?
Di Komisi V terbatas hanya membahas infrastuktur. Padahal kenyataan di sana telah menyebar virus penyakit yang membahayakan. Hal ini diakibatkan belum adanya kesadaran tinggi terhadap pola hidup sehat. Karena memang masyarakatnya masih tradisional.
Bagaimana tentang pembangunan perumahan di Papua?
Sebenarnya hampir semua orang mempunyai rumah. Tetapi kalau dilihat dalam kaca mata layak atau tidak layak, akan berbeda. Di Papua, mereka pada hakikatnya memiliki rumah yang dinamakan 'honey'. Atap dan alasnya terbuat dari ilalang dan bertiang kayu hutan. Sedang dindingnya terbuat dari kulit kayu. Tidak ada ventilasi dan terkesan kumuh.
Honey-honey itu rawan kebakaran, terutama di musim dingin. Bayangkan, jika alasnya ilalang, lalu mereka memasang api unggun di dalam rumah, begitu tidur, tersandung kaki, dan terbakar. Kejadian seperti itu sudah sering terjadi. Dan saya kalau kunjungan ke sana sering menyadarkan mereka tentang hal itu. Pemda setempat sebenarnya telah berupaya membangun perumahan sederhana dan layak huni, tetapi mereka justru tidak mau menempati rumah tersebut. Alasannya, itu model rumah Jawa.
Jadi pengaruh budayanya lebih kuat?
Iya, makanya polanya harus diubah. Rumah yang dibangun harus mampu disesuaikan dengan adat budaya setempat. Kalau arsitekturnya dibuat seperti model-model rumah di Pulau Jawa, maka mereka akan merasa terasing dan tidak mau tinggal.
Apakah sekarang arsitekturnya sudah disesuaikan dengan budaya setempat?
Sudah. Atapnya diganti pakai seng. Dindingnya semen. Tetapi lagi-lagi kendalanya, masih belum adanya sarana transportasi darat yang murah. Bayangkan jika semua material bangunan diangkut dengan pesawat, maka akan sangat berpengaruh terhadap daya beli masyarakat. Karena harga rumah akan menjadi sangat mahal.
Apa pandangan anda terkait rencana revisi UU No.4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman?
Konsep pembangunan perumahan kita sudah harus vertikal. Tidak lagi horizontal. Karena apa? Lahan itu tidak bertambah luasnya, bahkan cenderung semakin menyempit. Apalagi di Pulau Jawa. Karena itu, harus dibangun pola perumahan vertikal. Dan dibangun di atas tanah yang tidak produktif.
Bagaimana anda memperjuangkan infrastruktur perhubungan di Papua?
Sejak tahun 1983 sudah ada program transmigrasi di Papua, Jayapura dan Wamena dan Merauke. Tetapi proyek pembangunan jalan sampai sekarang belum selesai. Sambil menunggu itu, saya dan teman-teman di Komisi V melakukan pendekatan dengan departemen terkait (PU) untuk membuka akses jalan. Cukup dengan pengerasan yang penting mobil bisa masuk. Kalau menunggu untuk diaspal, biayanya mahal sekali.
Apakah sudah bisa difungsikan?
Lumayan. Misalnya dari Wamena ? Tiom sudah bisa dilalui bus. Jika akses antara ibukota kabupaten dengan kecamatan sudah bisa dibuka, maka arus lalu lintas orang dan barang akan makin lancar.
Ke depan, konsep seperti apa yang harus diterapkan untuk mengejar ketertinggalan pembangunan, khususnya di Papua?
Pelaksanaannya harus diawasi dengan ketat. Rakyat selama ini hanya menerima, tetapi kurang dilibatkan dalam pembangunan. Paradigma lama semacam ini harus diubah. Masyarakat harus dilibatkan secara nyata dengan tetap mengacu pada adat budaya setempat.
Bagaimana peran akademisi untuk menjembatani kesenjangan pembangunan di sana?
Peran universitas dalam mempercepat laju pembangunan, masih sangat diperlukan. Baik melalui karya-karya ilmiah, penelitian maupun pendampingan langsung di lapangan. Sayangnya, niat baik ini seringkali dinodai ulah beberapa oknum mahasiswa yang berkuliah di Pulau Jawa. Mereka mabuk-mabukan saat berlibur atau pulang ke kampung halamannya. Dan berpengaruh terhadap mahasiswa lainnya. Pertanyaan saya, apa yang bisa dihasilkan dari pikiran yang sudah diracuni minuman? Saya dapat pastikan, orang mabuk, tidak bisa berpikir sehat.
Mengapa anda menaruh perhatian begitu besar terhadap hal itu?
Mabuk-mabukan itu kan cara Kolonial Belanda jaman dulu untuk meninabobokan pemikiran rakyat Indonesia. Mereka sengaja dibuat mabuk agar tidak memberontak. Lho masak budaya seperti itu masih dipertahankan? Jangan dong. Kasihan generasi mudanya. Tapi memang mengubah kebiasaan semacam itu, juga harus ada keteladanan dari para pemimpinnya. Seperti yang dilakukan Bupati Yahokimo.
Dari sekian banyak wilayah di Papua, mana yang paling tertinggal?
Kabupaten Mapi, masih sangat tertinggal. Kalau Yahukimo sudah bagus. Bahkan di Yahukimo sudah ada universitas. Kabupaten Puncak Jaya dengan tingkat kesulitannya, namun tekad bupati untuk memajukan daerahnya sangat besar. Memang semua berupaya berlomba-lomba untuk membuat daerahnya bagus. Dan tekad seperti itu sangat bagus.
Bicara PT Freeport, seberapa besar sumbangsihnya dalam mengejar ketertinggalan pembangunan di Papua?
Itu juga mengherankan saya. Mengapa Freeport menjadi begitu mewah, bahkan boleh dibilang sebagai kampung termewah di dunia. Sementara kampung di sebelahnya, masih sangat terbelakang. Saya terenyuh melihatnya. Mengapa hal itu terjadi?
Ya karena ketidakpedulian itu tadi. Anehnya lagi, pemerintah seakan tutup mata. Saya pernah ke Afrika Selatan, dana bagi hasilnya 40:60 persen. Tetapi di Papua, Freeport hanya memberi royalti 1% saja. Itu pun tidak tahu berapa nilai ekspornya. Karena memang tidak pernah ada keterbukaan. Kenapa pemerintah diam? Itu kan sebuah pertanyaan besar.
Apa itu yang menyebabkan sering ada gejolak sosial di sana?
Iya. Sebetulnya mereka tidak ada maksud mengangkat senjata dan mau keluar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Mereka berbuat seperti itu, hanya ingin menarik perhatian dunia. Ini lho kami masih ada yang masih hidup susah, masih sengsara.
Maksud anda, semangat mereka untuk bergabung di NKRI tetap eksis?
Masih. Saya pikir, hanya di Papua yang semua masyarakatnya bisa berbahasa Indonesia, meski buta huruf sekalipun. Bayangkan dengan 200 suku lebih, mereka masih tetap menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar. Ingat kata pepatah, bahasa itu menunjukkan bangsa. Peran para misionaris dalam menyatukan mereka di dalam wadah NKRI, tidaklah kecil.
Apa obsesi anda terhadap perjuangan di Papua?
Saya ingin melihat orang Papua mampu berdiri sejajar dengan masyarakat di daerah lain. Mereka harus mendapatkan pelayanan pendidikan yang sama, pelayananan kesehatan yang sama. Karena itu kan dijamin oleh UUD 45. Selama saya masih dipercaya konstituen saya untuk duduk di dewan, maka saya akan mencurahkan perhatian untuk Papua. Saya tidak mau ke lain-lain. Ada yang menawari saya untuk menjadi bupati di Tanah Toraja, tetapi saya masih ingin memperjuangkan mereka di sini (di DPR RI-red).*
BIODATA:
Nama: Etha Bulo
Kelamin: Perempuan
Tmp/Tgl Lahir: Kolaka, 21 April 1950
Agama: Kristen Protestan
Suami: Alex Mapaley
Anak: 4 (empat) Orang
Jabatan: Anggota Komisi V DPR RI
Fraksi: Partai Demokrat
Daerah Asal Pemilihan: Papua
© Copyright 2024, All Rights Reserved