Status Kantor DPP Partai Golkar (PG) dan DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) harus diungkap secara tuntas karena kedua bangunan itu diduga berdiri di atas lahan milik negara.
Hal itu perlu supaya tidak ada diskriminasi dari negara terhadap partai politik (parpol) tertentu.
Demikian pandangan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Hidayat Nurwahid dan Wakil Direktur Centre for Electoral Reform (Cetro) Hadar Gumay, secara terpisah di Jakarta, Jumat (1/8) pagi.
Menurut Hidayat, pengungkapan status kantor tersebut tidak hanya untuk Kantor DPP, tetapi juga Kantor DPD di ibukota provinsi dan kantor sekretariat di tingkat kabupaten/kota.
"Bahkan mungkin tidak hanya Golkar dan PPP, tetapi untuk Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) juga perlu diteliti dan diungkap. Karena bisa saja yang di daerah, kantor PDI yang lama yang mungkin bantuan pemerintah, kini berubah menjadi Sekretariat PDI-P," ujarnya.
Dikatakan, UU 31/2002 tentang Parpol memang hanya menyatakan bahwa parpol disyaratkan memiliki kantor tetap, entah milik sendiri ataupun menyewa.
"Tetapi dalam kaitan verifikasi parpol oleh Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusi (Depkeh dan HAM), tim verifikasi harus tegas mengungkapkan bagaimana status kantor sekretariat PG, PPP baik yang di pusat maupun di daerah," tandasnya.
Sebagai informasi, untuk PG dan PPP telah dinyatakan lolos verifikasi untuk tingkat pusat.
Menurutnya, pengungkapan status Kantor DPP PG di kawasan Slipi dan Kantor DPP PPP di Jalan Diponegoro mengandung konsekuensi yang tidak ringan. Apabila statusnya dinyatakan hibah dari negara, maka parpol lain berhak menuntut perlakuan yang sama dari negara.
"Sebab sesuai UU 31/2002, pada Pasal 8 ditegaskan bahwa parpol berhak memperoleh perlakuan yang sama, sederajat, dan adil dari negara. Kalau pemerintah menghibahkan lahan negara hanya kepada PG dan PPP, artinya pemerintah melanggar UU," tandasnya mengingatkan.
Apabila status lahan kantor itu telah menjadi hak milik PG dan PPP, maka Sekretariat Negara (Setneg) harus mampu menunjukkan bagaimana proses alih kepemilikan, kapan transaksi jual beli itu berlangsung, dan mengungkapkan berapa nilainya. "Demikian juga apabila status kantornya menyewa, juga harus diusut. Setneg harus mampu menunjukkan bukti sewa-menyewa, sejak kapan dan berapa nilainya," ujarnya.
Dengan demikian, lanjutnya, perlu ada keberanian dari semua pihak untuk secara jujur mengungkap kepada publik mengenai status kantor tersebut. "Dalam hal ini, Setneg, Tim Verifikasi Depkeh dan HAM serta parpol yang bersangkutan harus jujur," tandasnya.
Hidayat berpendapat, ada dua pilihan bagi Setneg untuk menyikapi status kantor tersebut, yakni menarik kembali atau meminta PG dan PPP membelinya. "Mungkin yang lebih memungkinkan PG dan PPP harus membelinya. Tetapi itupun harus dilakukan transparan," ujarnya.
Senada dengan Hidayat Nurwahid, Wakil Direktur Cetro Hadar Gumay mengatakan, masih berkantornya DPP PG dan PPP di lahan milik negara, merupakan bentuk subsidi dari pemerintah. "Dari sisi keadilan, jelas itu bentuk diskriminasi terhadap parpol tertentu dari pemerintah," tandasnya.
Menurutnya, sebagai parpol yang lahir dan tumbuh semasa Orde Baru (Orba), PG dan PPP jelas diuntungkan dengan memiliki kantor sekretariat bantuan rezim Orba. "Karena yang namanya sekretariat merupakan motor dari semua urusan parpol," katanya.
Hadar berpendapat, pemerintah hendaknya bersikap tegas terhadap status kantor pusat kedua parpol itu. Hal itu bisa dilakukan dengan menghitung kembali nilai asetnya, untuk kemudian diperhitungkan dengan dana bantuan parpol dari pemerintah yang menjadi hak PG dan PPP.
"Sesuai UU 31/2002, parpol akan memperoleh bantuan dari pemerintah yang nilainya proporsional dengan jumlah kursi di DPR. Dalam hal ini pemerintah bisa saja memperhitungkan nilai aset yang kini ditempati PG dan PPP, dengan dana bantuan yang menjadi hak kedua parpol itu," jelasnya. Seperti dikutip Suara Pembaruan.
© Copyright 2024, All Rights Reserved