Antiklimaks. Megawati Soekarnoputri akhirnya tetap menjadi Ketua Umum PDI-P. Mega terpilih secara aklamasi dalam Kongres-II di Denpasar, Bali. Tak ada voting-votingan. Kubu Gerakan Pembaruan (GP) PDI-P yang sempat menggelar “kongres” tandingan ditekuk dalam floor dengan agenda utama pemilihan ketua umum.
Kedepan, Megawati tentu akan bekerja lebih keras lagi. Sebab, gerakan-gerakan politik Kubu Pembaruan tentu tidak akan usai setelah kongres selesai. Perseteruan di tubuh partai moncong putih ini tetap akan memanas. Beragam amunisi, diantara kedua kubu ini tentunya akan ditembakkan.
Gejala perseteruan akan diawali dari Pengadilan Negeri Denpasar. Tim Pembela Demokrasi, sebagai pemegang kuasa dari beberapa DPC-DPD PDI-P telah mendaftarkan gugatannya terkait dengan keabsahan kongres ke-2 PDIP yang kembali memberikan kursi ketua umum partai kepada Megawati Soekarnoputri.
Koordinator GP PDI-P, Didik Supriyanto mengatakan, salah satu pemicu kongres tandingan adalah adanya ketentuan "voting block" dalam Pasal 7 Tata Tertib Kongres, yang menentukan setiap DPC hanya mendapat satu suara dalam kongres, padahal sesuai Pasal 21 Anggaran Rumah Tangga, setiap utusan mendapat satu suara.
Berhubung setiap DPC mengirim empat utusan maka setiap DPC seharusnya mendapat empat suara.
Ketua DPP PDI-P Roy BB Janis yang juga panitia kongres sempat mengatakan, bahwa kalau kongres diteruskan maka akan cacat hukum.
Karean itu, GP PDI-P dan eksponen pendukungnya menempuh jalur hukum dengan mengadukan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, DPP PDIP, dan Panitia Kongres ke Pengadilan Negeri (PN) Denpasar atas tuduhan melakukan perbuatan melawan hukum.
Pendaftaran gugatan dilakukan koordinator Tim Pembela Demokrasi, RO Tambunan dengan nomor gugatan: 97/PDT/G/PN DPS, tertanggal 30 Maret 2005.
Kader PDIP yang juga salah satu tokoh GP PDI-P Laksamana Sukardi mengatakan, banyak cara atau sistem untuk memilih ketua umum, antara lain dengan cara wibawa, transparan dan demokratis. Jangan memilih pemimpin sudah di plot orangnya dulu, baru kemudian menghalalkan secara cara.
Menurut Laks, hasil kongres hari pertama (Senin, 28/3) khususnya menyangkut pengesahan tata tertib (Tatib) yang sempat diwarnai "walk out" oleh sebagian anggota, menyiratkan bahwa AD/ART partai telah dilanggar.
Sedangkan Calon ketua umum PDIP yang juga adik kandung Megawati Soekarnoputri, Guruh Soekarno Putra, mengemukakan kekhawatirannya, bila pelecehan demokrasi dan aturan main di PDIP itu dibiarkan, maka di masa mendatang PDIP akan semakin kerdil.
Dia mengaku dirugikan dengan ketentuan kongres yang mengharuskan "voting block" karena jumlah dukungannya mengecil hingga tinggal sekitar 100 suara.
Bibit pertikaian kedua akan muncul dari Megawati Soekarnoputri. Pasalnya, Ketua Umum PDI-P ini mendapat tekanan dari internal partainya untuk berani memberikan sanksi kepada para kader dan pengurus DPC, DPD dan DPP yang telah mbalelo.
Setidaknya ada kader dari sepuluh propinsi, antara lain Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Selatan, Sulawesi Tenggara, Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat, Jambi dan Kalimantan Timur yang melakukan mbalelo.
Sementara itu, salah seorang fungsionaris PDIP, Jacob Nuwawea, yang juga mantan menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabinet Gotong Royong sependapat kader "belelo" diberi sanksi. Tetapi mereka yang keluar dari kongres dan membentuk GP PDIP, kalau mau kembali sebaiknya terima saja.
Namun, sanksi harus diberikan kepada mereka antara lain tidak mendapat jabatan selama waktu tertentu, baik di DPP, DPP maupun DPC. "Mereka yang menghianati PDIP, khususnya Megawati, perlu diberikan hukuman," ujar Jacob Nuwawea.
Akan seperti apa kiat-kiat kedua kubu mencapai tujuannya?
© Copyright 2024, All Rights Reserved