Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (22/3) membatalkan empat pasal dan satu penjelasan pasal pada UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (Pemda). Beragam reaksi dan kesibukan muncul setelah itu. Wajar. Sebab Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung akan dimulai pada Juni 2005.
Sebuah keputusan, siapapun yang memutuskan, selalu saja melahirkan kegembiraan dan kekecewaan. Judicial Review terhadap UU No. 32 Tahun 2004 yang diajukan beberapa organisasi non-pemerintah dan beberapa Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD), tuntutannya memang sebagian dipenuhi oleh MK. Dari empat pasal yang disetujui, tiga di antaranya berkaitan dengan pertanggungjawaban KPUD kepada DPRD.
Simaknya saja pasal 57 ayat (1) berbunyi: "Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah diselenggarakan KPUD bertanggung jawab kepada DPRD". Melalui ketukan palu Ketua Mejelis, Jimly Asshiddiqie dinayatakan KPUD tidak bertanggungjawab kepada DPRD, karena DPRD merupakan lembaga perwakilan rakyat dan terdiri atas unsur-unsur parpol pelaku kompetisi.
Begitu juga pasal 66 ayat (3) huruf e berbunyi: "tugas dan wewenang DPRD dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah meminta pertanggung jawaban pelaksanaan tugas KPUD". MK memutuskan KPUD tidak bertanggungjawab kepada DPRD tetapi KPUD bertanggungjawab kepada publik, sedangkan kepada DPRD, KPUD hanya menyampaikan laporan pelaksanaan tugasnya.
Pada pasal 67 ayat (1) Huruf e tentang Kewajiban KPUD menyatakan bahwa KPUD mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran kepada DPRD. MK memutuskan KPUD tidak mempertanggungjawabkan penggunaan dana Pilkada kepada DPRD, karena dana bukan berasal dari APBD tetapi APBN.
Sementara pasal 82 ayat (2) berbunyi, "pasangan calon dan/atau tim kampanye yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pembatalan sebagai calon oleh DPRD". MK memutuskan, DPRD tidak bisa menjatuhkan sanksi pembatalan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Yang menarik, untuk butir putusan MK soal Pilkada yang berpendapat Pilkada langsung bukan merupakan Pemilihan Umum mendapat decenting opinion dari tiga anggota majelis. Yakni M. Laica Marzuki, Mukthie Fadjar dan Maruarar Siahaan. Ketiganya berpendapat bahwa pemilihan kepala daerah seharusnya digolongkan dalam Pemilu.
Menurut Mukthie Fadjar, MK seharusnya memberikan pencerahan dalam membangun sistem ketatanegaraan dan sistem demokrasi. MK juga seharusnya berada pada dua alternatif yang ekstrim, yakni menerima seluruh atau menolak seluruh permohonan pemohon. Sedangkan putusan MK yang hanya mengabulkan sebagian permohonan justru merusak bangunan sistem pilkada langsung.
Sementara pada perkara Judicial Review yang diajukan oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Provinsi Sulawesi Utara mengenai UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya menyangkut penjelasan pasal 59 ayat (1) yang berbunyi "partai politik atau gabungan partai politik dalam ketentuan ini adalah partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki kursi di DPRD".
Menurut pemohon, pasal ini menghambat atau membatasi kepada partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki kursi di DPRD yang berhak mengusulkan pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Sehingga membatasi parpol atau gabungan parpol yang tidak memiliki suara sah 15 persen atau 15 persen jumlah kursi di DPRD.
Dan MK menyetujui Judicial Review tersebut berdasarkan beberapa pertimbangan, antara lain pembentuk UU No. 32 Tahun 2004 ternyata telah mengabaikan dalam merumuskan Penjelasan pasal 59 ayat (1) dengan secara nyata telah membuat norma baru yang berbeda maknanya dengan norma yang terkandung dalam pasal 59 ayat (1) dan (2).
Konsekuensi dari putusan MK tersebut, parpol atau gabungan parpol yang tidak memiliki kursi di DPRD, tetapi memiliki suara 15 persen dari akumulasi suara sah dalam Pemilu DPRD, bisa mengajukan pasangan calon Kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Dengan demikian, secara de jure suara rakyat itu adalah sah, walaupun dia tak sampai menjadi wakil rakyat, tetapi tetap sah dan perlu diperhitungkan. Perolehan suara sah partai itu tidak mungkin seluruhnya ada dengan kursi partai di DPRD sehingga pasti akan ada gabungan antara partai yang tak punya wakil (yang tak cukup 15 persen suaranya) dengan partai yang berkursi.
Artinya, suara rakyat ditempatkan dalam bingkai penghargaan proses demokratisasi. Jangan hanya memberi kesempatan pada parpol yang punya kursi saja, tapi partai yang tidak punya kursi juga harus dihargai.
Konsekwensi berikutnya adalah pemerintah perlu segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perpu) agar KPUD bisa melaksanakan tahapan-tahapan proses pilkada. Bila tidak segera dikeluarkan, sama artinya bahwa LPUD tidak mendapat “Modal Kerja”. Dan ini berarti keputusan MK tidak bisa dijalankan dengan baik. Dengan demikian, proses pelaksanaan Pilkada akan berjalan tertatih-tatih. Buntutnya, nasib kepemimpinan di daerah menjadi tidak jelas.
© Copyright 2024, All Rights Reserved