Daya saing industri elektronik Indonesia hingga saat ini masih belum siap menghadapi perdagangan bebas ASEAN yang akan dimulai 2015 nanti. Pembenahan industri kurang mendapat perhatian, karena Indonesia disibukkan dengan urusan politik dalam negeri dalam setahun terakhir.
Begitulah dikatakan, Presiden Komisaris PT. Panasonic Gobel Indonesia, Rahmat Gobel kepada politikindonesia.com, di Jakarta, Senin (13/10).
Menurut Rahmat, pihaknya melihat banyak masalah dan tantangan yang dihadapi oleh dunia usaha. Apalagi, setahun ini, pemerintah hanya disibukan dengan masalah politik, di antaranya Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden. Akibatnya, kesiapan Indonesia untuk menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 menjadi kurang perhatian.
"Supaya pengusaha lokal bisa siap untuk menghadapi pasar bebas ASEAN, ada beberapa hal yang dilakukan pemerintah. Di sektor keuangan, pemerintah seharusnya menerapkan penghapusan PPnBM (pajak penjualan barang mewah), memberlakukan penerapan SNI dengan tegas dan mengontrol barang di lapangan. Itu yang seharusnya dilakukan pemerintah selanjutnya," katanya.
Dijelaskan, dengan perkembang industri elektronik dalam negeri, pemerintah seakan tidak perhatian. Hal ini dapat dilihat dari komponen elektronik yang cenderung diimpor, bahkan, ilegal. Karena komponen yang ada dan diproduksi di dalam negeri lebih mahal. Selain itu, di Indonesia juga masih marak beredarnya merk-merk elektronik impor yang tidak jelas. Sehingga industri elekronik Indonesia makin terpuruk.
"Oleh sebab itu, kami sebagai salah satu produsen Indonesia sangat membutuhkan aturan yang mengekang untuk mengontrol peredaran merk barang elektronik impor yang tidak jelas. Karena sebenarnya, pasar elektronik Indonesia sangat besar. Namun, kurangnya perhatian dari pemerintah sehingga pengusaha lokal tidak siap berdaya saing," ujarnya.
Rahmat mengakui, industri lokal merasa kesulitan melakukan pengawasan terhadap produk impor. Ditambah lagi, dengan pemain yang punya standar nasional Indonesia (SNI) palsu. Sehingga pengusaha lokal sulit bersaing. Dirinya juga tak bisa menyalahkan Direktrorat Jendral Bea Cukai lantaran derasnya barang ilegal.
"SNI kita sudah bolong. Pengusaha lokal agak sulit mengontrol produk. Belum lagi, ada produk SNI yang palsu. Karena ini negara kepulauan, maka kami tidak bisa menyalahkan bea cukai yang memiliki pintu peredaran produk banyak sekali, belum lagi memberikan insentif kepada penghapusan PPMD," paparnya.
Dikatakan, Indonesia seharusnya bisa memanfaatkan peluang yang besar dari pelaksanaan MEA 2015. Karena, Indonesia memiliki pasar yang besar. Namun, hingga saat ini, pemerintah belum memiliki rancangan yang nyata. Terbukti, pemerintah dalam menarik investasi juga masih setengah hati. Hal itu, terlihat karena pemerintah tidak mengetahui apa yang diinginkannya.
"Mengapa industri otomotif di Thailand bisa besar. Meski, penjualan otomotif kita bisa menyamai Thailand?, tapi dari sisi kekuatan industri, kita harus akui jauh tertinggal. Awalnya, pemerintah Thailand menyadari industri otomotif di Amerika Serikat (AS) mengalami kesulitan. Mereka lalu berinisiatif ingin menjadi Detroitnya Asia. Semua kebijakan yang diterbitkan kemudian mengarah ke sana, untuk mendukung mereka menjadi negara dengan industri otomotif terkuat di Asean. Investasi di komponen otomotifnya juga kuat," tuturnya.
Hal itu, lanjutnya, berbeda dengan cara pandang pemerintah Indonesia, di sini. Padahal pasarnya besar, tapi kekuatan industrinya ada di luar. Tidak ada kebijakan yang mendukung untuk menjadi Indonesia sebagai negara industri yang kuat dan maju.
"Sehingga perkembangan industri Indonesia sepertinya menjadi salah kaprah. Pemerintah ingin kita menjadi negara yang maju dan tak bergantung pada impor, tapi kenyataanya mereka tak mau merubah pola pikir dan cara pandang. Lalu, bagaimana kita mau bersaing di bidang industri dengan negara lain," tandasnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved