Pemerintah menaikkan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BPJS). Kenaikan itu berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan. Kalangan DPR keberatan dengan kebijakan itu.
Anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Irma Suryani, mengatakan, pemerintah menempuh kebijakan tersebut tanpa membicarakannya lebih dulu dengan DPR.
“Sebenarnya sampai saat ini, belum ada usulan kenaikan secara resmi ke Komisi IX DPR,” ujar politisi perempuan dari Partai Nasional Demokrat itu kepada politikindonesia.com, beberapa waktu lalu.
Ade menilai, isi Perpres Nomor 19/2016 itu justru bertolak belakang dengan instruksi Presiden Jokowi. “Misalnya, Dirut BPJS Kesehatan Fachmi Idris memastikan, pihaknya tidak akan menaikkan besaran iuran JKN sebelum publik merasakan manfaat yang lebih nyata. Tapi mengapa arahan presiden berbeda," ujar dia.
Dikatakan lrma, sebelumnya pihak BPJS Kesehatan juga sudah meminta tambahan peserta penerima bantuan iuran (PBI) sebanyak 11,3 juta orang untuk tahun ini. Bila dikabulkan, rencana ini akan diikutkan dalam APBN Perubahan 2016. Namun, Komisi IX DPR tidak menyetujui usulan tersebut. Karena data mengenai PBI untuk tahun 2015 saja masih belum jelas.
“Hingga kini jumlah peserta PBI di tiap provinsi, apalagi kecamatan, masih belum bisa dipastikan oleh pihak BPJS maupun kementerian atau pemda-pemda terkait. Jadi kami tidak bisa menyetujui anggaran tanpa data yang jelas. Saya sudah minta BPJS dan Mensos maupun Menkes agar kami diberi data lengkap tentang distribusi kartu PBI," ungkapnya.
Kepada Elva Setyaningrum, perempuan kelahiran Metro Lampung, 6 Oktober 1965 ini menjelaskan alasannya menolak kenaikan iuran BPJS tersebut. Berikut wawancaranya.
Apa alasan Komisi IX DPR menolak Perpres kenaikan BPJS tersebut?
Karena pemerintah tidak bisa menjelaskan secara rinci dan detail alasan atas kenaikan iuran tersebut. Sepertinya pemerintah tidak bisa mempertanggung jawabkanya. Oleh karenanya, kami di Komisi IX DPR meminta kenaikan tersebut ditunda.
Ada 4 poin rekomendasi IX DPR yang mestinya dilaksanakan BPJS Kesehatan sebelum menaikkan iuran. Keempat poin itu adalah, pelayanan kesehatan yang belum memuaskan, kinerja BPJS terkait peningkatan kepesertaan Mandiri, audit investigasi terkait transparansi laporan keuangan/penggunaan anggaran dan tentang laporan pendistribusian kartu Penerima Bantuan Iuran (PBI).
Keempat poin itu adalah pertanggungjawaban kepada publik atas anggaran yang telah disetujui DPR untuk pengelolaan program jaminan kesehatan tersebut.
Sebelum 4 poin tersebut dilakukan dan diselesaikan BPJS Kesehatan, maka kami tetap tidak akan menyetujui kenaikan tarif tersebut dan memintanya ditunda.
Apa argumen anda mengatakan, kenaikan iuran BPJS belum perlu?
Karena selama ini masyarakat masih banyak yang mengeluhkan pelayanan rumah sakit. Mereka yang menggunakan BPJS masih banyak yang dikesampingkan, alias dinomorduakan atau bahkan diabaikan dengan alasan tidak ada kamar kosong.
Selain itu, hingga kini pelayanan rumah sakit juga belum maksimal, karena tarifnya tidak mencukupi untuk meng-cover secara berkeadilan bagi rumah sakit dan dokter, biaya tindakan masih terlalu rendah sehingga tidak menutup biaya operasional.
Selain itu, jika ingin menaikan iuran tak boleh buru-buru dinaikkan sebelum pelayanan membaik. Dan pelayanan membaik itu bisa terjadi setidaknya dengan memastikan 4 poin rekomendasi tersebut dilaksanakan. Kami juga memahami konsep BPJS berazaskan gotong royong.
Adakah solusi dari permasalahan bagi pengguna BPJS yang Anda sebutkan tadi?
Saya menawarkan dua solusi. Pertama, dengan menaikkan tarif PBI yang menjadi tanggung jawab negara. Jadi pemerintah harus menaikan tarif PBI dan memperbaiki pelayanan atau maksimalkan service pada pasien.
Solusi kedua, pemerintah harus menganggarkan biaya kesehatan masyarakat dari APBN sebesar 15 persen atau sekitar Rp109 triliun. Artinya, biaya kesehatan masyarakat tidak semua diambil dari iuran BPJS.
Jika pemerintah menyesuaikan tarif PBI dari Rp23 ribu menjadi Rp30 ribu per orang, maka untuk 92,4 juta jiwa anggaran PBI butuh sekitar Rp33,26 tirliun dari sekitar Rp109 triliun anggaran kesehatan. Sehingga masih ada dana sebesar Rp66,74 tirliun yang dapat digunakan oleh Kementerian Kesehatan untuk menjalankan seluruh program nusantara sehat, sumber daya manusia, alat kesehatan dan obat-obatan.
Berapa nilai kenaikan yang harus dibayar peserta BPJS Kesahatan?
Dalam keterangannya, Perpres yang ditetapkan pada 29 Februari 2016, disebutkan kenaikan iuran per bulan Jamkesda atau PBl yang didaftarkan pemda dari sebelumnya sebesar Rp19.225 menjadi Rp23.000. Sedangkan untuk peserta mandiri, semua kelasnya pun mengalami kenaikan besaran iuran per bulan. Untuk peserta JKN kelas I, iuran yang sebelumnya sebesar Rp59.500 menjadi Rp80.000. Untuk iuran per bulan peserta JKN yang memilih fasilitas kelas II, yang semula sebesar Rp42.500 kini menjadi Rp51.000. Adapun iuran per bulan untuk peserta JKN kelas III, sebelumnya sebesar Rp25.500 menjadi Rp30.000
Kabarnya kenaikan iuran itu karena BPJS mengalami defisit?
Kalau tidak terjadi defisit, maka sebaiknya memang kepesertaan mandiri dimaksimalkan. Untuk itu, manajemen BPJS harus bekerja maksimal dan ekstra keras.
Di sisi lain, untuk mengurangi orang sakit, program promotive preventive oleh Kemenkes harus berjalan optimal. Misalnya, pemerintah bisa menjadikan program imunisasi kanker serviks sebagai program nasional.
Saat ini, untuk pengobatan kanker serviks, waktu tunggunya mencapai 6 bulan. Di masa tunggu yang sangat lama itu, banyak pasien yang tidak tertolong.
Kegiatan lainnya, agar penerima Kartu PBI tepat sasaran, maka BPS melalui Kemensos harus bekerjasama dengan aparat desa dalam menentukan siapa yang benar-benar layak menerima kartu tersebut.
Memang harus diakui inefisiensi juga terjadi karena banyaknya kartu ganda, salah nama. Bahkan, orang yang sudah meninggal masih jadi peserta, atau masyarakat yang dulu miskin namun sudah mampu tetap menjadi peserta. Apabila kondisi demikian sudah dibenahi, maka iuran kesehatan bisa disesuaikan. Namun, manajemen RS harus transparan kepada para dokter soal berapa sebenarnya paket yang diterima dari BPJS. Hal itu akan menjamin para dokter tidak merasa dirugikan dan menjadi ogah-ogahan melayani pasien BPJS.
© Copyright 2024, All Rights Reserved