Kenaikan PPN menjadi 12 persen yang ditetapkan Presiden Prabowo Subianto mengagetkan publik. Meski dikatakan hanya berlaku untuk barang mewah, namun sampai sekarang belum jelas kriteria barang mewah yang dimaksud.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, sebenarnya Presiden Prabowo Subianto masih bisa membatalkan kenaikan PPN hingga 12% tersebut. Ia menyebut ada beberapa opsi yang memungkinkan pembatalan atau penurunan tarif PPN tersebut, salah satunya melalui penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).
“Salah satu celah yang dapat digunakan pemerintah adalah dengan menjalankan tarif PPN 12 persen pada 1 Januari 2025, kemudian pada 2 Januari 2025, tarif tersebut dapat segera diturunkan menjadi 8-9 persen,” ujar Bhima, dikutip Minggu (22/12/2024).
Menurut Bhima, hal tersebut bisa dilakukan dengan merujuk pada Pasal 7 Ayat 3 UU Harmonisasi Peraturan Pajak (HPP) yang memberikan ruang untuk perubahan tersebut.
“Keluarkan Perppu untuk revisi dulu ayat sebelumnya yang menyebutkan bahwa PPN 12 persen mulai berlaku paling lambat 1 Januari 2025. Artinya pemerintah perlu terbitkan Perpu untuk revisi UU HPP Pasal 7 ayat 1 baru gunakan Ayat 3,” kata Bhima.
Bhima menegaskan, kenaikan PPN menjadi 12% tidak akan meningkatkan penerimaan pajak secara signifikan, terutama karena daya beli masyarakat saat ini masih lemah. Oleh karena itu, pembatalan kenaikan PPN dinilai sebagai langkah yang lebih tepat.
“Jadi PPN 12 persen memang harus dibatalkan dengan berbagai skema,” ujarnya dengan tegas.
Dia menambahkan bahwa selain melalui jalur revisi atau Perpu, pembatalan PPN 12 persen bisa dilakukan lewat gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK) atau judicial review terhadap UU HPP.
“Berbagai regulasi pajak lain seperti memasukkan opsi pajak kekayaan, reformasi pajak warisan sampai pajak progresif lainnya bisa dicantumkan di UU HPP,” pungkasnya. []
© Copyright 2024, All Rights Reserved